Usai 16


Salma tersenyum puas menatap pantulan cermin. Kami berdua berdiri menghadap cermin yang sama. Hanya bedanya, aku kini telah terlihat tidak seperti sebelumnya.

Benar kata Salma, tempat ini bisa menyulap penampilan dalam sekejap.

"Setelah apa yang dia lakukan kepadamu, sekarang kamu berhak bahagia. Kamu harus bisa tegas dan mengambil sikap atas semuanya sekarang!" ucapnya mendekat lalu memegang bahuku.

Aku mengangguk masih menatap di titik yang sama di cermin. Gaun biru muda yang kukenakan ini begitu pas dengan riasan wajah dan tatanan rambutku. Semuanya terlihat saling melengkapi, tetapi mungkin hanya mataku yang tak bisa berbohong. Ada segudang luka yang jelas tergambar di sana.

Namun, aku tahu tidak boleh menunjukkan kesedihan itu nanti, bukan? Akan kubuat dan kutunjukkan diriku bisa lebih bahagia dengan keadaan saat ini. Meski mungkin semua itu tidak mudah, bersandiwara padahal hatiku luka.

"Jam berapa nanti dia datang? Kalian ketemuan di mana?"

"Entah."

"Entah? Ck! Ayolah, kamu harus menentukan tempatnya."

Sejenak kami saling diam.

"Ikut aku! Aku tahu tempat yang baik untuk kalian berdua!" Salma memberi isyarat agar aku mengikutinya.

Kami berdua meninggalkan tempat itu setelah membayar semuanya. Entah apa yang terjadi jika tidak ada Salma. Ternyata seorang sahabat sejati itu ada, dan Salma memang dikirim Tuhan untukku agar aku bisa menghadapi kemelut ini.

Salma membawaku ke sebuah restoran yang sepertinya dia sudah begitu paham tempat ini. Rumah makan yang asri dengan taman luas dan arsitektur Jawa yang kental membuat siapa pun yang mencari kenyamanan akan betah di tempat ini.

Di sudut ruangan terdapat seperangkat gamelan yang selalu dimainkan bergantian oleh beberapa orang. Sementara jika berjalan agak ke dalam, kita disuguhi pemandangan air terjun buatan yang berukuran kecil, tetapi sangat melengkapi keindahan restoran yang mengusung tema tradisional tersebut.

"Bilang ke Bagas, kalau kalian ketemu di restoran ini. Kasi dia titik lokasinya," titah Salma.

Tak menyahut, mau hanya mengangguk dan melakukan apa yang dia katakan.

"Nanti kalau dia sudah datang, aku akan duduk di sebelah sana," tuturnya seraya menunjuk ke arah tengah. "Kamu dan Bagas lebih baik di sini aja duduknya. Karena ini tempat paling startegis untuk membicarakan masalah rumah tangga kalian," sambungnya.

"Thank you, Salma. Sekali lagi, thank you!"

Sahabatku itu mengedikkan bahu lalu tersenyum.

"Kamu dulu pernah begitu banyak menolongku, Hana. Termasuk saat aku pernah hampir mati karena kehilangan bayiku, dan sekarang aku bisa kembali bahagia ... jadi aku pikir, kamu berhak juga mendapat kebahagiaan dengan caramu."

"Sudahlah! Sekarang kita menunggu kabar Bagas di sini aja sambil minum. Oh iya, gimana tadi kata dokter soal kandunganmu?" Salma meraih minuman jahe hangat di depannya.

Kutarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. "Alhamdulilah, semuanya baik, Sal. Hanya saja sepertinya dokter tahu kalau aku sedang ada masalah."

Mengedikkan bahu, Salma meletakkan gelasnya di meja. "Itu bukan dokter juga tahu kalau kamu sedaang punya masalah, Hana. Matamu nggak bisa bohong!"

Kubasahi tenggorokan dengan meneguk lemon tea hangat. Luka memang tak memiliki suara, sebab air mata jatuh tanpa bicara, dan aku benar-benar seperti meluncur jauh di jurang tanpa dasar yang hingga kini masih jatuh turun tanpa tahu kapan mendarat.

"Sudahlah, Hana. Kalau memang sedih memang otubhal wajar dan kamu nggak perlu menutupi, hanya saja jangan buat kesedihan itu menjadikan kamu tak bisa memutuskan apa yang terbaik dalam hidupmu. Aku percaya kamu akan menemukan hal yang lebih baik pada saatnya nanti!"

Salma memang sangat lihai memberikan suntikan semangat, dan aku bersyukur untuk itu. Karena meski ada orang tua, tetap saja aku membutuhkan orang lain yang bisa diajak bicara.

Ponselku berdering dan sudah bisa ditebak, kami berdua saling menatap.

"Dia telepon?" tanyanya dengan mata membulat.

Aku mengangguk kemudian menggeser tombol hijau menerima teleponnya.

"Sayang, aku sudah ...."

"Aku di restoran Dewi Sri. Kita ketemu di sini aja!" Tak kuberi dia kesempatan untuk bicara. Bahkan saat dia menyapa dengan kata sayang ... entah kenapa ingin berteriak memekik meminta supaya dia berhenti membuatku merasa masih dicintai.

**

Bab ini mmg cuma seuprit ya, Guys 😘😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top