Usai 15

Menarik napas dalam-dalam, kucoba menahan gelombang tangis yang siap-siap meledak. Kali ini aku benar-benar tak ingin terlihat lemah. Meski sebenarnya Mas Bagas tentu tahu seperti apa aku.

Melangkah ke kursi taman yang terletak di bawah pohon di halaman depan praktik Dokter Aisyah. Sengaja aku tak mengawali menyapa, karena memilih dia menunggu bersuara.

"Hana ... apa kabar?" Suara yang kurindukan, suara yang selalu membuatku merasa dicintai oleh sapa hangatnya.

"Aku baik."

"Hana maafkan aku. Aku benar-benar menyesali apa yang telah kulakukan padamu. Semuanya karena aku cemburu. Sungguh ucapan kala itu sama sekali tidak benar-benar keluar dari hatiku, tetapi murni karena aku cemburu. Aku ...."

"Mas nggak perlu meralat atau meminta maaf." Aku menyela, karena tak ingin hati yang masih begitu tergantung padanya menjadi luluh.

"Nggak, Hana. Aku benar-benar menyesal."

Aku bergeming. Menyesal dan meminta maaf, akankah ada jaminan jika dia tidak mengulangi perbuatannya? Sementara berulangkali hatiku dibuat remuk.

Mungkin dengan begini aku bisa membuat Mas Bagas tidak lagi berat sebelah. Setidaknya di dunia dia bisa bernapas lega karena tidak harus mondar-mandir mengatur jadwal denganku dan dengan Kalila.

"Aku ingin kita seperti dulu, Hana."

Seperti dulu? Bukankah aku sudah berusaha membuat semuanya seperti dulu? Justru dialah yang membuat semua berubah? Aku masih tetap mencintainya meski dia telah membagi rasa itu. Aku tetap bersabar atas apa yang terjadi, meski dia tak pernah menganggap usahaku. Lalu jika dia tetap meminta seperti dulu itu seperti apa?

"Hana. Kamu masih di sana, kan? Kamu mendengar aku, kan?"

Kubasahi tenggorokan kemudian kembali menarik napas dalam-dalam.

"Iya."

"Kita bisa kembali seperti dulu, kan? Jangan memintaku untuk melepasmu. Aku nggak bisa."

"Mas harus bisa. Bukankah Mas sudah mulai belajar untuk itu?"

"Nggak, Hana. Aku nggak bisa."

"Bisa, Mas. Ada Kalila yang akan membuat Mas bisa melepasku. Bukankah dia perempuan yang Mas cintai?"

Kembali sunyi. Tak tahu seperti apa perasaannya saat mendengar jawabanku. Kupikir tidak ada jawaban lain yang harus dikemukakan untuk hatiku yang sudah berantakan.

"Hana, tapi kamu sedang mengandung buah hati kita. Itu anakku, Hana. Aku mencintaimu, sama sekali tidak pernah berubah!"

Kuusap perut yang masih rata. Meski melalui drama yang tidak bisa dibilang mudah, akhirnya Mas Bagas mengakui anaknya walaupun bagiku itu sudah tidak lagi penting.

"Hana aku nggak akan pernah melepaskanmu sampai kapan pun."

"Tapi aku nggak mau hidup dalam ikatan pernikahan yang sama sekali jauh dari harapan."

"Jauh dari harapan? Bukankah aku menikahi Kalila atas permintaanmu? Kamu lupa?"

"Aku nggak lupa, Mas. Aku ingat! Bahkan sangat mengingatnya. Mas tahu kenapa aku meminta agar Mas melakukan hal itu?"

Tak kudengar jawaban darinya.

"Aku meminta hal itu karena tak ingin Mas terperosok zina hati. Mas tahu gimana rasanya berbulan-bulan aku harus menelan kecewa saat berulang-ulang Mas bercerita tentang Kalila? Tentang bagaimana pribadinya, tentang bagaimana hubungan kalian kala itu, tentang seperti apa pintarnya Kalila di akademik waktu kalian sekolah? Apa Mas pernah memikirkan perasaanku saat itu?"

Kutahan suaraku sedemikian rupa agar tak terdengar bergetar di telinganya. Napasku naik turun menahan isak yang hampir meledak.

"Semua yang kulakukan hanya supaya Mas bahagia. Supaya Mas memiliki apa yang selama ini gak bisa kuberi! Tapi apa yang kudapat? Mas sama sekali tidak pernah menghargai itu. Mas egois dengan mengatakan aku telah berbuat hal yang tidak sepantasnya kulakukan. Mas sama sekali seperti orang asing yang tidak tahu bagaimana aku, istrimu!"

"Hana ... Hana maafkan aku. Dengar! Aku sekarang di bandara, dan sebentar lagi masuk pesawat. Kita ketemu sore nanti ya."

"Aku nggak bisa janji, Mas. Sudah ya. Aku mau pulang."

"Pulang? Kamu dari mana?"

"Mas nggak perlu tahu aku dari mana. Assalamualaikum!"

Kuakhiri obrolan tanpa menunggu dia menjawab. Lega! Meski sebenarnya masih banyak yang ingin kuungkapkan kepadanya. Akan tetapi, setidaknya aku bisa bersikap tegas dan berharap dia bisa menerima apa pun keputusanku. Walaupun aku tahu, anak di dalam rahimku ini butuh sosok ayah.

**

Salma bertepuk tangan mendengar ceritaku. Dia sengaja menjemputku dari dokter. Sahabatku itu terlihat sangat gembira dengan apa yang sudah kukatakan ke Bagas.

"Kamu harus jalan-jalan, Hana!" Demikian jawabnya ketika kutanya. "Kamu itu cantik, Hana. Bukan hanya paras, tapi attitude kamu juga cantik."

"Kamu sedang memuji?" Kutoleh perempuan yang tengah mengemudi itu dengan senyum.

"Nggaklah! Memuji untuk apa? Memang seperti kenyataan yang ada padamu!" jawabnya.

"Serius, Hana. Kamu terlalu baik dan polos untuk disakiti. Sudah waktunya kamu bersikap. Berhenti seolah kamu kuat. Setiap perasaan itu ada limitnya! Kamu bukan malaikat!"

Kubiarkan dia berkata dan mengeluarkan apa yang ada di kepala. Salma memang tidak salah, bahkan sejak awal aku memutuskan untuk dimadu, dia sudah menunjukkan ketidaksukaannya pada apa yang kuputuskan.

Namun, saat itu aku memiliki segudang alasan agar semuanya bisa berjalan dengan baik seperti yang kuimpikan, tetapi aku lupa jika ternyata konsepku dan Kalila jauh berbeda.

"Sore nanti dia datang, Sal."

"Dia siapa maksudmu? Bagas? Bagas mau datang?" cecarnya menoleh tepat saat lampu lalu lintas berwarna merah.

"Dia mengajakku untuk ketemu."

"Lalu kamu mau? Kamu akan menemuinya?"

Aku diam menatap lurus dengan hati kosong. Ada nyeri terasa begitu menyengat di hati menyadari rumah tangga yang dulu begitu penuh cinta harus terhempas begitu saja tanpa bekas. Semuanya hanya menyisakan pilu yang aku tak tahu sampai kapan akan bisa mengobati luka yang begitu dalam ini.

"Temui saja, Hana. Aku tahu kamu begitu mencintainya sampai detik ini. Iya, kan?"

Ucapan Salma lagi-lagi tidak salah. Aku sedalam itu mencintainya. Kisah yang kami arungi sejak awal menikah bukan hal yang bisa dengan mudah dilupa. Terlalu banyak cerita di sana. Sejauh ini aku tak menemukan kisah sedih, sebelum akhirnya Kalila dan kisah indah masa lalunya itu hadir.

"Aku tahu, kamu masih berat karena perasaan yang kamu miliki terlalu dalam padanya. Aku tahu kebencian yang kemarin kamu rasakan atau mungkin hingga saat ini akan dengan mudah menguap saat bertemu Bagas. Benar, kan?" Salma membuang napas perlahan, lalu kembali menginjak gas saat lampu berubah hijau.

"Kamu butuh teman sore nanti? Aku siap!" imbuhnya seraya tersenyum.

"Temani aku ya, Sal!"

"Sejak kapan aku nggak menuruti permintaanmu, Nyonya?" kelakarnya membuat aku tak sanggup menahan senyum.

Tuhan memang sebaik itu, di saat aku rapuh dan hampir luruh, ada orang-orang baik datang dengan cintanya.

"Hei! Kita ke salin langgananku ya. Aku mau kamu tampil cantik lebih dari sebelumnya!" ucapan Salma membuatku memiringkan kepala menatapnya.

"Kamu apa-apaan sih, Sal! Nggak, ah! Kamu, kan tahu aku nggak suka ...."

"Iya, aku tahu, tapi seenggaknya untuk kali ini kamu harus mengikuti saranku!"

Seumur-umur aku bukan perempuan yang menyukai berlama-lama di salon dan semacamnya. Bukan apa-apa, aku hanya lebih suka berpenampilan apa adanya dan hal itu tentu sangat disukai Mas Bagas.

Namun, bukankah Kalila perempuan penyuka dandan? Tetapi kurasa Mas Bagas tidak pernah melarangnya. Justru aku yang pernah ditegur saat menghadiri pesta pernikahan. Kala itu aku memakai make-up yang sedikit beda dari biasanya. Ujungnya dia menggeleng dan memintaku untuk berhias sewajarnya.

"Cukup di depanku saja kamu boleh seperti itu," tuturnya saat itu.

"Tapi Mas bukannya nggak suka kalau aku memakai make-up berlebihan?" Kutatap matanya yang selalu membuatku jatuh cinta.

"Nah itu kamu tahu. Kamu sudah cantik dengan apa yang kamu tampilkan seperti biasa. Karena cantikmu itu dari sini! Dan itu yang selalu membuatku jatuh cinta!" jawabnya sembari menunjuk dadaku.

"Hana? Hana sudah sampai! Ayo turun!" Jentikan tangan Salma mengembalikanku dari lamunan.

Aku tersenyum melihat Salma yang mengerutkan kening mengetahui aku melamun.

"Ini sudah kesekian kalinya kamu melamun, Hana! Udah! Ayo turun! Sekarang waktunya kamu berubah!"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top