Usai 14
"Assalamualaikum. Halo, Bu." Ku sapa mertuaku di seberang dengan napas tertahan.
"Apa kabar, Hana?"
"Baik, Bu."
Terdengar ucap syukur di seberang. Sejenak kami saling diam. Terasa ada tembok yang menghalangi aku dan ibu mertua untuk melanjutkan obrolan.
"Hana."
"Iya, Bu?"
Helaan napas berat kali ini jelas kudengar. Aku bisa menggambarkan suasana hati beliau saat ini.
"Tadi ayahmu menelepon Bapak. Beliau bercerita soal ...." Ucapan ibu mertuaku terhenti. "Rumah tangga kalian," imbuhnya.
Aku bungkam. Kubiarkan Bu Sri mertuaku melanjutkan pembicaraan. "Apa benar Bagas telah menikah lagi?"
Udara di kamar kurasa semakin menipis sehingga aku harus berkali-kali mengambil napas.
"Iya, Bu. Apa yang Ibu dengar itu benar."
Sunyi. Mertua perempuanku itu diam. Demikian pula denganku. Sebagai perempuan aku rasa beliau juga bisa merasakan seperti apa perasaanku saat ini.
"Kenapa, Hana? Kenapa sampai Bagas seperti itu? Kalian bertengkar atau ...."
"Nggak, Bu. Kami nggak bertengkar."
"Lalu?"
"Hana yang meminta Mas Bagas melakukan itu, Bu."
"Apa? Apa kamu bilang? Kamu bilang kamu yang meminta Bagas menikah lagi?" Nada terkejut jelas terdengar.
"Iya, Bu."
"Iya, tapi kenapa, Hana?"
Air mata terus berlinang. Sungguh aku tak sanggup untuk kembali menjelaskan rentetan peristiwa yang membuat hidupku perlahan hancur.
"Karena Mas Bagas mencintainya, Bu. Mas Bagas mencintai Kalila." Tersendat kuucapkan kalimat itu.
"Kalila?" Suara Bu Sri seolah mencoba mengingat-ingat. "Kalila teman sekolah Bagas?"
"Ibu mengenalnya?"
"Ibu nggak kenal, tapi Ibu tahu."
Kembali kami saling diam.
"Hana, kenapa kamu melakukan itu? Kenapa?"
"Karena Hana ingin melihat Mas Bagas bahagia, Bu. Hana ingin memberikan kebahagian yang Hana tidak bisa beri ke Mas Bagas."
"Pantas kalian beberapa bulan belakangan tidak pernah menelepon Ibu juga Bapak. Ternyata ini yang terjadi. Kenapa kamu begitu gegabah, Hana? Kenapa?"
Aku hanya diam. Karena meski kujelaskan berkali-kali, aku yakin tidak ada orang yang bisa menerima alasanku.
"Lalu sekarang? Ayahmu bilang kamu hamil?"
"Iya, Bu."
"Tetapi Bagas malah pergi ke rumah Kalila?"
"Iya, Bu, tapi itu karena Kalila juga hamil yang kedua, Bu."
"Apa?"
Aku tak menyalahkan keterkejutan mertuaku, karena memang kisah yang kucipta di rumah tanggaku memang sangat sulit diterima oleh siapa pun.
Kembali kukumpulkan oksigen agar rongga dada tak terasa sesak.
"Ibu bisa hubungi Mas Bagas, Bu. Biar Mas Bagas yang menjelaskan semuanya."
Helaan napas berat kembali terdengar di seberang.
"Beberapa kali Ini dan Bagas bicara, tapi sama sekali dia tidak menyinggung masalah ini, Hana. Kami tahu justru dari ayahmu. Entahlah, Ibu nggak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terjadi, dan mungkin dalam waktu dekat kami akan memanggil Bagas."
"Maafkan Ibu ya, Hana. Maafkan kami."
Mematung menatap foto pernikahannya, aku mengusap pipi. Kuanggukkan kepala meski mertuaku tidak tahu, tetapi aku yakin saat ini mereka sedang dalam kondisi resah mengetahui ulah putranya.
"Maafkan Hana juga, Bu. Mungkin memang takdir yang tidak memberi waktu panjang bagi kami untuk berjodoh."
"Ibu masih benar-benar menginginkan kamu tetap menjadi menantu Ibu, dan bukan Kalila atau siapa pun."
Tenggorokan terasa tercekat kala mendengar penuturan mertuaku. Hubunganku dengan Bu Sri memang sedemikian dekat. Meski jarak kediaman kami cukup jauh, tetapi tidak membuat jauh pula hubungan kami.
"Hana, lbu ingin bertemu kamu, Nak. Lisa Ibu akan bertandang ke kotamu, dan Ibu harap kita bisa banyak berbagi cerita."
"Baik, Bu. Tapi ...."
"Tapi apa?"
Ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku sudah benar-benar enggan untuk kembali meski separuh hatiku ada tertinggal di dalam hati Mas Bagas.
"Tapi apa, Hana?"
"Hana rasa sudah tidak mungkin untuk kami seperti dulu lagi, Bu."
Sunyi, tak ada lagi sahutan dari Bu Sri. Biarlah, mungkin sedikit terdengar menyakitkan bagi mertuaku, tetapi tidak ada yang lebih meyakinkan daripada anggapan dan tuduhan yang diarahkan padaku oleh suamiku sendiri.
Percakapan selesai saat akhirnya Bu Sri kembali memintaku untuk bertemu meski sebentar esok lusa di sebuah tempat yang sudah kami sepakati.
**
Aku tersenyum melihat Randy ikut membantu pembukuan toko grosirku. Sesekali dia terlihat mengerutkan kening menatap barisan angka di laptop yang memang rumit.
Terlebih belakangan ini mataku aku menjadi lebih cepat lelah. Entahlah, mungkin karena kehamilan ini yang membuatku sedikit merasa malas melakukan hal yang biasanya kulakukan.
"Kamu yakin bisa menyelesaikan laporan itu, Ran?"
Pria berkulit bersih itu menoleh lalu mengangguk yakin.
"Gini-gini aku pernah tersesat sebentar kuliah akuntansi meski cuma satu semester. Sebelum akhirnya kembali ke jalanku," candanya seraya menegakkan badannya. "Ata sudah selesai belajar?" Mata Randy mengedar lalu menatapku.
"Sudah, itu lagi di depan sama Ayah."
Randy menghela napas, tampak wajahnya sedikit resah.
"Kenapa?"
Pria itu menoleh lalu mengedikkan bahu.
"Belakangan ini dia sering meminta aku dan Ayah untuk mempertemukan dia dengan mamanya."
Dahiku mengernyit. "Lalu? Apa mamanya bisa dihubungi?"
Randy menggeleng samar, kemudian kembali menatap laptop. "Aku tanya kakakku yang sekarang sudah bersama keluarga barunya ... dia juga nggak tahu. Entahlah!"
Kutarik napas dalam-dalam merenungkan kisah hidup Ata. Bocah kecil itu harus berjuang sendiri untuk jiwanya meski terlihat baik-baik saja. Ata memang bocah cerdas dan menyenangkan, tetapi tidak dengan jiwanya. Aku yakin bocah itu ada saatnya merasa sepi terlebih tidak ada sosok Ibu di sisinya meski Opa dan omnya begitu sayang pada bocah kecil itu.
Menelaah jalan hidup Ata, aku seperti dihadapkan dengan cermin besar yang mengajak untuk menerjemahkan kejadian itu untuk diriku sendiri nantinya. Anak yang ada di rahimku mungkin akan tumbuh setali tiga uang dengan Ata, meski alurnya sedikit berbeda.
Membayangkan anakku kelak akan sepi tanpa kehadiran seorang Ayah sudah cukup membuat dada ini mendadak sesak. Dulu kupikir rumah tanggaku akan jauh dari kata itu, tetapi ternyata toh pada akhirnya kuharus menelan kenyataan bahwa inilah takdir yang harus kujalani.
Nasib Ata mungkin sedikit jauh lebih beruntung karena meski kedua orang tuanya kini sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi bocah itu masih memiliki nama belakang ayahnya, sementara anakku? Masihkah mungkin Mas Bagas mau menerima anaknya nanti? Sementara saat ini saja dia telah menuduh dan menyudutkanku?
"Hana? Hana?" Kibasan tangan Randy mengalihkan lamunan.
"Iya, Ran? Udah selesai?" Aku sedikit gugup karet kedapatan melamun.
"Melamun lagi, kan?" Dia terkekeh.
"Enggak kok, cuma ...."
"Cuma memikirkan sesuatu yang mungkin hanya akan muncul dalam angan dan lamunan, betul begitu?" selanya masih dengan bibir yang melebar.
"Udah selesai nih! Kamu bisa cek ulang. Eum ... sebaiknya kamu cari tenaga akunting deh, Han! Mengingat tokomu itu udah skala besar," sarannya.
"Kamu nggak mau buka toko grosir swalayan gitu?" Randy memindai mataku.
Aku hanya tersenyum. Toko itu dibangun dengan cinta dan keoptimisan aku dan Mas Bagas. Bukan hanya aku yang membuat toko itu besar, tetapi ada Mas Bagas juga di sana.
"Aku masih belum berpikir ke sana, Randy. Lagipula ... itu bukan sepenuhnya milikku."
Randy tampak paham. Dia hanya manggut-manggut sembari menyodorkan laporan keuangan yang berhasil dia selesaikan.
"Thanks, Ran!"
"Your welcome! Dia kemudian bangkit dari duduk.
"Hana."
"Iya?"
"Sebaiknya hindari hobi kamu itu."
"Hobi? Hobi apa?" Aku menyipitkan mata.
"Melamun!" sergahnya dengan tawa kecil.
"Melamun itu menghabiskan banyak waktu dan energi. Daripada melamun, kamu bisa melakukan apa saja yang lebih baik. Misalnya melihat kalender untuk mengetahui kapan kamu harus kembali kontrol. Itu akan lebih baik bagimu dan perkembangan bagi calon bayi yang ada di kandunganmu," ungkapnya mengingatkan.
Kupejamkan mata sejenak sembari menepuk dahi. Ya, Tuhan! Kenapa aku bisa melewatkan jadwal kontrol? Hari ini memang sudah waktunya aku memeriksakan kandungan ke Dokter Aisyah. Bagaimana mungkin justru Randy yang mengingat jadwalku?
"Kamu mau aku antar?" tanyanya sopan.
"Eum ... nggak usah, Ran. Aku bisa pergi sendiri, lagian ... aku udah tahu tempatnya." Kutolak halus tawarannya. Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin pria baik seperti dia harus terseret ke dalam masalah rumah tanggaku.
Randy mengangguk mengerti. Dia lalu melangkah menjauh menghampiri ayah dan Ata keponakannya.
**
Aku baru saja keluar dari ruang praktik Dokter Aisyah saat ponselku berdering. Kurogoh tas tangan mengambil benda itu.
Nyaris aku limbung kala membaca identitas penelepon. Setelah sekian lama dia membisu, entah apa yang akan dia bicarakan kali ini. Mas Bagas telepon!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top