Usai 13
Darahku seolah mendidih. Seluruh tubuh seperti bergejolak ingin berontak. Setelah semua perlakuan sabarku yang kuberi padanya, ternyata sama sekali tidak membuat Kalila memiliki pikiran yang lebih baik dari Mas Bagas.
"Pertanyaan seperti apa itu, Kalila? Sepicik itu kamu menilaiku. Aku tidak serendah itu! Apa yang dikatakan Mas Bagas tentang aku padamu?" Kali ini aku tidak bisa menahan amarah. Bagiku Kalila sudah keterlaluan.
"Mas Bagas hanya bilang dia kecewa padamu."
Kugigit bibir menahan tangis. Pantang bagiku terdengar rapuh terlebih pada Kalila. Selama ini aku sudah mati-matian mencoba mengenyampingkan rasa ego yang bercokol di diri demi kebahagiaan yang lama tak kulihat di mata Mas Bagas.
Kebahagiaan Mas Bagas adalah Kalila, dan aku? Entahlah, semakin lama aku semakin merasa tidak lagi berguna di matanya.
Kukumpulkan segenap kekuatan diri untuk mengungkapkan apa yang kurasa saat ini.
"Mana Mas Bagas? Kenapa dia nggak pernah telepon aku sama sekali? Apa dia memang sudah nggak sudi mendengar suaraku? Apa seperti ini caranya dia meninggalkan aku?"
Sunyi, tapi aku tahu Mas Bagas ada di sana. Entahlah, aku hanya berharap dia mendengar penuturanku kali ini.
"Sampaikan padanya, dia sudah begitu membuatku sakit. Jika memang ini yang dia ingin ... aku ikhlas. Aku nggak perlu menjelaskan anak siapa yang ada di kandunganku, karena hanya orang yang berhati penuh angkara saja yang memiliki pikiran buruk kepada istrinya. Dan ... sampaikan padanya, jika ingin melepasku, segera lepaskan sekarang juga."
Aku mengusap pipi yang sudah begitu basah.
"Kalila, mungkin kamu nggak pernah tahu kenapa akhirnya aku mengizinkan Mas Bagas menikahimu ... iya, memang benar kamu adalah kebahagiaan Mas Bagas. Aku memintanya agar menikahimu demi kebaikan kalian berdua. Dan sekarang ... setelah impian kalian terwujud, mungkin memang sudah saatnya aku mundur."
Kugigit bibir sekuat tenaga agar emosiku tetap dalam kendali yang baik.
"Kalila, aku percaya kamu bisa menjaga Mas Bagas dengan baik bahkan lebih baik dariku, dan Mas Bagas ... ambil bahagiamu. Aku ikhlas."
Kuputus obrolan itu setelah mengucap salam. Tubuh ini mendadak lunglai seolah tak bertulang. Aku jatuh terduduk di lantai kamar dengan air mata yang tak berjeda.
Remuk, hancur sudah semua rencana dan mimpi yang sekian lama kupupuk. Gelap! Aku kehilangan semangat dan warna dalam hidup. Seperti ini rasanya mencinta, tetapi tak dianggap. Setiaku sama sekali tidak pernah ada artinya di mata suamiku.
Bahkan saat yang seharusnya kamu merenda rencana baru nan indah untuk buah hati yang sudah lama ditunggu harus pupus sebelum kami ukir.
Kupejamkan mata mencoba mengais sisa kenangan yang pernah tercipta dan kini perlahan terserak. Sungguh! Aku kini tak hanya kehilangan matanya yang dulu penuh cinta, kini aku bahkan kehilangan raga sekaligus hatinya.
'Kamu nggak boleh tinggal di sini sendirian, Hana!'
Suara Salma terngiang kembali. Kuatur napas mencoba menghubungi Ayah.
**
Tiga hari sudah aku bungkam dan selalu menghindar jika ayah bertanya soal yang terjadi sesungguhnya. Semenjak ibu lebih paham, beliau membiarkan aku menenangkan diri sampai saatnya aku akan bicara.
"Ayah rasa Ayah harus menghubungi mertuamu!"
Kuangkat wajah menatap Ayah. Kerutan di wajahnya itu terlihat semakin rapat.
'Tuhan! Maafkan aku. Ayah maafkan Hana, Hana ternyata tak sekuat yang Hana kira.'
Air mata kembali menganak sungai.
"Mereka harus tahu seperti apa yang terjadi di rumah tangga anaknya!" Rahang Ayah terlihat mengeras.
"Hana! Cukup, Nak! Ayah nggak lagi memaksamu untuk menjelaskan yang terjadi. Ayah tahu siapa kamu dan bagaimana kamu. Kamu anak Ayah yang keras kepala. Kamu anak Ayah yang paling teguh pendirian sekaligus paling sabar, jadi jika sampai kamu akhirnya memutuskan untuk pulang ... itu artinya kamu sudah tidak sanggup lagi menghadapi sendiri."
Pria yang hampir seluruh rambutnya kelabu itu menarik napas dalam-dalam. Mata tuanya menyimpan luka yang kurasa itu semua karena aku.
Kini tangisku bukan lagi karena nasib rumah tangga yang di ujung tanduk, tetapi lebih kepada sesal karena telah menyakiti perasaan pria cinta pertamaku.
Ayah bangkit dari duduk, dia kemudian mengambil ponsel di bufet tempat biasa kami menyimpan album dan meletakkan beberapa figura di sana. Satu figura hampir saja jatuh saat Ayah mengambil ponselnya. Figura yang di dalamnya ada foto pernikahanku dengan Mas Bagas.
Kutarik napas dalam-dalam saat Ayah menelungkupkan figura itu kemudian menjauh dari ruang tengah tempatku dan Ibu duduk.
"Hana, kamu nggak ingin bercerita ke Ibu? Ada apa sebenarnya? Bukankah waktu itu suamimu sudah berjanji pada Ayah? Apa perempuan itu datang lagi dan mengacaukan kalian? Atau ...."
Aku menggeleng samar. Bibirku terasa kelu untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Jika kujelaskan ke Ibu, suda pasti hati beliau akan hancur bahkan lebih hancur dari hatiku saat ini. Sementara di usia Ibu yang tentu tak lagi muda pasti menginginkan ketentraman di rumah tangga anaknya.
"Sepertinya ... Hana akan mengikuti anjuran Ayah untuk berpisah dengan Mas Bagas, Bu."
Ibu tak bereaksi, beliau hanya menarik napas panjang. Aku tahu beliau kecewa, bahkan jauh lebih kecewa dibanding dengan perasaanku. Rumah tangga adikku yang berantakan sudah cukup membuat ibu tak nafsu makan kala itu, dan sekarang aku yang membuat pikiran ibuku kembali resah.
"Maafkan Hana, Bu. Hana sudah membuat beban pikiran Ayah juga Ibu. Hana pikir semuanya akan berjalan dengan baik dengan memutuskan semuanya sendiri, tapi ternyata ... Hana salah. Maafkan Hana, Bu."
Kuraih tangan tuanya, kucium dengan sepenuh hati. Tangan yang merawatku penuh kasih hingga kudewasa. Tangan yang selalu menjagaku dari hal buruk, tangan yang selalu terbuka menerimaku dengan segala keadaan. Air mata tak terasa menetes begitu saja.
"Kamu nggak salah, Nak. Hanya saja kamu terlalu gegabah mengambil keputusan itu sendiri sementara kamu tidak menyadari jika hatimu tidak sekuat yang kamu bayangkan," tuturnya sembari mengusap lembut bahuku.
"Sekarang biar ayahmu yang mengambil alih kekisruhan ini. Kamu harus fokus ke calon bayi yang sedang kamu kandung. Dia butuh banyak cinta dan perhatian. Jangan khawatir ... Ibu dan Ayah akan selalu ada untukmu."
Seperti kemarau yang disiram air hujan, hatiku menjadi begitu dangun dan nyaman. Ucapan Ibu sungguh meneduhkan dan aku bisa menjadi sedikit kuat setidaknya untuk hari ini.
"Makasih, Bu."
"Sekarang kamu istirahat. Jangan berpikir macam-macam lagi. Susu untukmu sudah ada di meja," ujar Ibu menepuk bahuku.
Beringsut, aku melangkah ke ruang makan. Rumah ini akan menjadi tempat terbaik bagiku untuk saat ini. Sementara rumahku yang kubangun bersama Mas Bagas ... biarkan jadi prasasti bisu yang menjadi saksi betapa telah banyak kisah tercipta di sana.
Aku tak akan kembali ke rumah untuk saat ini atau seterusnya. Entahlah, karena akan sangat menyakitkan ketika harus menyaksikan betapa setiap sudutnya selalu menerjemahkan perasaan kami kala itu.
Setelah meneguk habis susu hamil yang dibuatkan Ibu, aku melangkah ke kamar. Kamar yang lagi-lagi tertoreh kenangan di sana. Kamar yang saat pertama kali aku dan Mas Bagas menjadi pasangan yang sah. Kamar yang untuk pertama kali kami merenda cinta mengawali kehidupan berumah tangga.
Kutarik napas dalam-dalam lalu mengunci pintu. Masih tertempel foto pernikahanku di dinding. Senyum lebar kami cukup menggambarkan seperti apa suasana hatiku dan dia kala itu. Penuh cinta dan sangat bahagia.
Cinta? Benarkah waktu itu Mas Bagas mencintaiku. Namun, kenapa sekarang dia justru berbalik dan menganggap aku seperti musuhnya? Jika memang seperti itu yang terjadi, itu berarti benar apa yang pernah kubaca, bahwa antara cinta dan benci itu beda tipis. Mungkin aku terlalu mencintainya dan dia pun begitu.
Dering ponsel membuyarkan lamunan. Kudekati telepon genggam yang tergeletak di meja rias. Satu panggilan masuk dari ibu mertuaku.
Tentu saja aku sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan nanti. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya berharap aku tak mendadak berhenti bernapas saat mendapatkan pertanyaan dari beliau nanti.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top