Usai 12


Salma memindai tak berkedip. Kali ini percuma saja rasanya aku mengelak dengan seribu alasan. Toh akhirnya air mata ini jatuh juga.

"Kenapa, Han? Ada apa?"

Kuembuskan napas perlahan mengatur letup emosi.

"Raihana, kamu kenapa?"

Kuhapus air mata, lalu menatapnya sambil mencoba tersenyum.

"Dia pergi, Salma." Suaraku lirih hampir tak terdengar.

"Pergi? Siapa yang pergi?"

Kubalas tatapannya, tetapi dengan bibir terkunci. Aku yakin tanpa kukatakan dia akan paham.

"Bagas? Bagas pergi maksudmu?"

Mengangguk samar kupejamkan mata berharap yang terjadi sejak pagi tadi hanyalah mimpi.

"Bagas pergi ... jangan bilang dia pergi ke rumah adik madumu itu!" Amarahnya mulai terlihat. "Ck! Hana! Aku bilang juga apa! Bagas itu nggak bisa dipercaya! Lambat laun dia akan melupakanmu dan ...."

"Tapi dia pergi karena aku, Salma!" Kusela ucapannya sembari kembali mengusap air mata yang jatuh.

Salma mengerutkan keningnya.

"Maksudnya?"

Perlahan kuceritakan apa yang terjadi padanya. Sengaja kuungkap mungkin saja memang apa yang kulakukan lagi tadi tehadap Mas Bagas adalah sesuatu yang salah.

"Egois! Pria macam apa dia itu, Hana! Kupikir setelah dia menikah dengan perempuan itu otaknya makin mengecil!" umpat Salma.

"Salma."

"Apa? Kamu masih membelanya? Iya? Sadar, Hana! Sadar!"

Kulihat Salma meneguk air putih di gelasnya sampai tandas. Aku tahu dia ikut merasakan apa yang kurasa saat ini.

"Picik, berengsek!" Kembali dia mengumpat.

"Salma tahan kata-katamu."

"Aku heran kenapa kamu masih mau menjaga perasaan pria seperti itu, Hana? Apa lagi yang kamu harapkan dari Bagas? Buang aja dia! Buat istri mudanya yang pungut!"

"Kamu sudah direndahkan, Hana. Kamu bahkan kehilangan harga diri. Kamu harus sadar itu!"

Salma kali ini tidak salah. Mas Bagas memang sudah keterlaluan menuduhku seperti itu.

"Aku tahu, Salma."

"Lalu ... apa yang akan kamu lakukan? Kamu mau menelepon dia dan meyakinkan bahwa kamu tidak seperti yang dia pikir?"

"Nggak, Sal. Biarkan saja dia berasumsi itu hak dia. Saat ini aku nggak mau berpikir apa yang harus aku lakukan. Biar dia yang berpikir seperti apa aku."

Salma mengembuskan napas dalam-dalam. "Kamu terlalu lembek, Hana!" sindirnya. "Lepaskan saja dia. Buat dia berpikir kalau kamu terlalu berharga untuk ditukar dengan perempuan masa lalunya itu!"

Melepas Mas Bagas itu artinya melepas seluruh kenangan manis dan pahit yang pernah kita lalui. Melepas Mas Bagas adalah melepas separuh jiwa yang demikian tertancap di palung hati. Dia pria paling sabar yang pernah kutemui meski pada akhirnya sifat itu berubah tatkala kembali bertemu Kalila.

Perlahan muncul sebuah tanya, apakah benar dulu dia mencintaiku? Apa cintanya padaku hanya sekadar pelarian dari kenangan dan cintanya di masa lalu?

'Bagas bilang ke aku kalau kamu itu tipikalnya mirip denganku, Hana.'

Ucapan Kalila kembali hadir di memori yang membuat tembok kukuh di nurani merapuh. Tuhan, jadi benar dia tidak pernah mencintaiku seperti definisi cinta kepada pasangan yang sesungguhnya? Jadi benar selama ini dia hanya cinta karena aku mirip dengan perempuan masa lalunya?

Sesak terasa di dada, aku seperti kehabisan napas saat mulai menyadari itu semua. Aku merasa terlalu bodoh dan dibuat lemah oleh perasaan cintaku padanya. Lalu bagaimana dengan calon bayi ini? Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Bayi yang berkembang di rahim ini berarti sama sekali tidak ada maknanya bagi Mas Bagas.

Mendadak pandanganku menggelap, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi selain samar kudengar Salma memekik memanggil namaku.

**

Aroma alkohol menusuk penciuman. Pelan kubuka mata. Kulihat Salma sedang resah menatapku.

"Hana, kamu dengar suaraku?" tanyanya mengusap punggung tanganku.

Kuanggukkan kepala seraya mencoba tersenyum. Helaan napas lega terdengar dari mulutnya.

"Kamu bikin aku panik banget!" keluh Salma.

"Maaf."

Sahabatku itu menggeleng cepat sembari menyodorkan segelas teh hangat.

"Diminum dulu, Hana. Mau aku bantu duduk?"

"Nggak usah, aku bisa," tolakku perlahan bangkit.

Kuteguk pelan teh hangat buatan Salma sembari menghirup aroma melati yang menenangkan.

"Please, Hana. Kamu nggak boleh berada di rumah ini sendiri!"

Kuletakkan cangkir tadi ke meja kemudian kembali tersenyum.

"Kenapa? Ini rumahku, Salma."

"Tapi kamu tinggal di sini sendiri dengan kondisi seperti sekarang ini, itu sama sekali bukanlah hal yang baik!"

Kusentuh perutku, mencoba mencari kekuatan di sana. Berharap kami bisa melalui ini bersama. Kami! Iya kami, aku dan anakku.

"Nggak apa-apa, Salma. Aku baik-baik saja kok."

Salma menggeleng cepat.

"Kamu sedang rapuh, Hana. Kamu nggak bisa terus berpura-pura kuat!"

Kubiarkan dia berbicara.

"Dengar! Ada orang tuamu yang selalu sayang dan membuka kedua tangannya untuk menyambutmu. Kamu harus pulang ke rumah orang tuamu. Cari ketenangan di sana, karena calon bayimu itu juga butuh ketenangan. Kalau kamu stress itu bisa berimbas padanya!"

"Iya, Salma. Aku paham itu."

"Bagus kalau begitu! Sebaiknya lebih cepat lebih baik!"

**

Celoteh Ata tentang teman- teman di sekolahnya sedikit banyak menghiburku. Gaya dan mimik lucu wajahnya saat bercerita bisa sejenak mengalihkan gulana yang meraja saat ini.

"Bunda."

"Iya?"

"Jadi benar ya kata Om Randy?"

"Benar apa?" Kukerutkan dahi menatapnya.

"Om Randy bilang kalau Bunda mau punya adik bayi?" tanyanya dengan mata polos.

Kulebarkan bibir seraya mengusap puncak kepalanya.

"Iya, Ata. Ata suka adik bayi?"

Bocah kecil itu mengangguk cepat.

"Nanti kalau adik bayi sudah lahir, Ata boleh mainan sama adik bayi, kan?" Ata kembali bertanya.

"Boleh, Ata. Adik bayi juga pasti diajak main sama Ata."

Kutarik napas dalam-dalam. Mendadak kembali hati terasa tertusuk ribuan belati. Sakit! Hingga hari ini pun tidak ada sapa dari Mas Bagas. Dia seperti masih dikuasai oleh amarah dan belum juga reda. Bahkan Kalila pun tidak mengubah menghubungiku meski aku beberapa kali menelepon dia.

"Bunda?"

Aku terkesiap ketika jari kecil Ata menyentuh punggung tanganku.

"Iya, Ata?" Kuhapus air mata yang hampir jatuh di sudut mataku.

"Bunda sakit?" tanyanya lirih.

"Nggak. Kenapa, Sayang?" Mencoba tersenyum mengalihkan perhatiannya pada mataku.

"Kenapa Bunda menangis?" tanyanya.

Gegas aku menggeleng, seraya mengalihkan pembicaraan ke materi pelajaran yang sedang dia kerjakan. Bersyukur akhirnya bocah kecil itu tak lagi bertanya, hingga terdengar mobil berhenti.

"Om Randy sudah jemput, Bunda!" pekiknya bahagia.

Aku tersenyum mengangguk.

"Ata beresin buku-bukunya ya. Jangan sampai ada yang tertinggal."

Bocah tampan itu mengangguk. Suara salam di pintu membuat Ata bersorak setelah menjawab uluk salam dari Randy.

"Om, tadi Bunda Hana nangis!" ucapnya mengadu lalu menoleh padaku.

"Oh ya?" Randy menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan. Aku hanya menarik bibir singkat lalu mengalihkan pandangan ke Ata. "Oke, kita pulang sekarang?" Pria itu sedikit membungkuk bertanya kepada keponakannya.

"Oke, Om!"

Seperti biasa, Ata berpamitan dan menyalamiku.

"Salam buat Opa di rumah ya," pesanku.

Ata mengangguk lalu berlari kecil menuju mobil. Sementara Randy menarik napas dalam-dalam.

"Betul kamu nangis?"

"Nggak."

"Ata bohong berarti. Karena setahuku anak itu nggak pernah bohong. Kamu sendiri buang sering menasihati dia agar tidak berbohong. Iya, kan?" cecarnya.

Aku tidak dapat memberi alasan apa pun lagi karena jika berkelit itu akan menjadi bumerang. Benar kata Randy, keponakannya itu tidak pernah bohong.

"Kalau memang ada masalah sebaiknya dicari jalan keluarnya. Aku nggak tahu apa masalahnya, tapi ... kuharap segera bisa diatasi ya. Ingat, ada calon bayi di sana, dia bisa ikut stress."

"Aku tahu. Makasih."

**

Lelah kupintal asa dalam diam, kucoba tepis gulana berharap ada jawab dari setiap harap, tetapi tak ada kudapat. Setiap hari kuhanya bertemu ruang hampa yang tak berujung. Terkadang ingin kutahan laju waktu dengan harapan bisa mendapatkan jawab, tetapi lagi-lagi semua menguap. Harapan hanya mengangkasa dan tak pernah kembali.

Satu panggilan masuk membuat hati melonjak gembira. Meski bukan dari Mas Bagas, setidaknya aku tahu kabar tentang dia melalui Kalila.

"Halo."

"Hana, kamu nggak repot, kan?"

"Nggak. Ada apa?"

"Sebaiknya kamu berhenti berpura-pura mencintai Mas Bagas!" Suara Kalila bak sembilu yang langsung menancap di dadaku.

"Maksudnya?"

"Kamu memang tidak pantas dicintai oleh pria seperti dia. Kamu telah membuat dia bersedih dan putus asa!"

"Kalila! Apa maksudmu?" Sedikit kutinggikan suaraku.

"Katakan! Apa benar anak yang kamu kandung itu anak Mas Bagas?"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top