Usai 11
Hari masih pagi saat aku selesai menyiapkan sarapan. Kulihat Mas Bagas baru saja pulang dari jogging. Terngiang pembicaraanku dengan Kalila senja kemarin.
Adik maduku itu pun rupanya tengah hamil dan ingin ditemani. Entah, aku sendiri tak bisa menolak permintaannya, meski aku pun menginginkan hal yang sama.
"Pagi, Mas," sapaku saat ia tiba di ruang makan. Setelah percekcokan sore kemarin, kami telah saling memaafkan meski ada beberapa yang masih mengganjal.
"Pagi," balasnya.
"Mas kok nggak bilang kalau Kalila hamil?"
Kulihat Mas Bagas berhenti meminum kopi paginya.
"Kamu tahu dari mana?"
"Kalila telepon kemarin."
"Biarkan saja. Kali ini aku ingin bersamamu dan anak kita," jawabnya acuh.
"Mas, tapi ...."
"Tapi apa, Hana?"
"Tapi dia menginginkan Mas mendampinginya."
"Kalila ingin aku mendampinginya, sedangkan kamu tidak? Begitu? Karena ada Randy kan?" Mas Bagas meletakkan cangkir kopinya kuat hingga sebagian air kopi itu tumpah mengotori meja.
"Baik, jika kamu tidak ingin bersamaku dan memilih bersama laki-laki itu, sekarang juga aku pergi!"
Tanpa mendengar kata-kataku lagi, lelaki itu mengemas bajunya tanpa bisa dicegah.
"Aku pergi, Hana. Aku tahu aku laki-laki yang tidak bisa diandalkan seperti dokter itu!" Mas Bagas menyeret kopernya ke depan, "Semoga anakku tahu bahwa aku mencintainya, jika benar dia anakku!" Pria yang kucintai itu berlalu begitu saja setelah mengucapkan hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.
"Mas! Apa yang Mas bilang barusan? Mas tega! Kamu jahat, Mas!"
Sekeras apa pun aku mengucapkan pembelaan, rupanya itu tak lagi penting untuknya. Suamiku benar-benar pergi bahkan ia tak lagi memedulikan air mata yang tumpah di pipiku.
Kepergian Mas Bagas yang tiba-tiba pagi itu begitu terasa meremas hati. Aku bahkan seolah lupa untuk bernapas sekadar melepas sesak yang mendera.
Sungguh jika ujungnya seperti ini aku tak akan menyampaikan pesan itu kepada suamiku. Terlebih saat mendengar penuturan Mas Bagas sebelum dia beranjak pergi tadi. Dia bahkan kini mulai meragukan anak dalam kandunganku.
Kurebahkan tubuh lunglai ini ke sofa. Aku merasa seolah tak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan hari. Semesta seperti tengah membiarkan aku semakin larut dalam nestapa.
Sunyi ... rumah ini kembali sunyi hanya karena kesalahan yang sebenarnya bisa diluruskan. Mas Bagas kembali pergi, tetapi kali ini membawa rasa marah dan itu karena aku.
**
Mentari sudah di ubun-ubun ketika aku terjaga. Cukup lama juga tertidur di sofa cokelat tua milik kami. Sofa yang punya banyak cerita. Di sofa ini aku dan suami selalu bercanda berbagi cerita setelah penat bekerja. Di sofa ini pun untuk pertama kalinya aku mendengar cerita indah Kalila dari bibir Mas Bagas.
Kuraih telepon genggamku berharap ada pesan atau telepon dari Mas Bagas, tetapi sia-sia. Tidak ada satu panggilan masuk pun di sana. Pun demikian dengan pesan. Mencoba mengalah, aku lebih dulu menelepon suamiku, tetapi sama seperti yang kuduga, tidak ada sahutan darinya. Sunyi ... aku kembali sendiri.
Mengingat Mas Bagas, kembali nyeri menyapa hati. Secepat itu priaku murka hanya karena kesalahpahaman. Ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Suara yang sangat kukenal. Salma.
Malas kubuka pintu kemudian mempersilakannya masuk. Kulihat Salma membawa beberapa paper bag dan sekeranjang buah-buahan. Rumah ini sudah seperti rumahnya sendiri sehingga tanpa kusuruh, dia sudah meletakkan semua barang bawaan tersebut di meja makan.
Kututup kembali pintu dan melangkah menuju Salma berdiri. Sahabatku itu terlihat seperti tengah mencari sesuatu. Aku tahu siapa yang dia cari, sudah pasti Mas Bagas.
"Bagas masih di toko, Han?" tanyanya saat aku menyeret kursi untuk duduk.
"Kok aku nggak lihat dia tadi di toko. Barusan aku dari tokomu, beli barang kebutuhan sebulan," terangnya masih belum curiga. "Atau dia masih di rumah? Eum ... aku ganggu dong nih!" imbuhnya seraya mengerling nakal.
Aku hanya tersenyum sembari membuka paper bag dan mengeluarkan isinya. Satu kotak besar kue spikoe pesananku akhirnya dia bawakan.
"Kamu kenapa menginterogasiku? Kamu nggak pengin memotong kue ini untukku?" Kuabaikan rentetan pertanyaannya.
Tawanya pecah mendengar ucapanku. "Oke, oke! Aku tadi hampir lupa beli kue ini. Oh iya, siapa itu dokter kandungan yang kamu pernah cerita itu, Han?"
"Dokter Randy. Kenapa?"
Mengangguk cepat, Salma berkata, "Ah iya! Dokter Randy. Kemarin waktu aku nganterin adik ipar ke klinik ketemu sama dia! Ternyata dia beneran ganteng. Seperti yang aku pernah lihat dari jauh waktu dia nganterin keponakannya itu!"
Mendengar perkataan Salma aku hanya bisa menarik bibir.
"Ingat, kamu udah bersuami!" ujarku tertawa sembari menerima potongan kue dari tangan Salma.
Sahabat baikku itu nyengir.
"Masih jomlo emang?"
"Siapa?"
"Randy!"
Aku mengedikkan bahu.
"Kamu mau aku tanya ke dia?" Kukunyah kue spikoe dari Salma. Tekstur lembut dan beraroma kayu manis ini membuat aku benar-benar menggemarinya.
Tergelak, Salma mengungkapkan jika dia bermaksud mengenalkan Randy dengan adiknya yang baru saja selesai kuliah di Singapura.
"Kali aja bisa klik gitu, Hana."
Aku hanya mengangguk kemudian tersenyum. "Mungkin bisa, Salma, next kamu bisa atur waktu untuk ketemu."
Salma menjentikkan jari. "Ide bagus! Eum ... kapan keponakannya datang belajar?"
"Lusa sore kamu bisa ke sini. Ata datang belajar," Aku kembali menyuapkan spikoe ke mulutnya.
Salma menatapku intens, kemudian alisnya bertaut. Aku mulai merasa dia mencoba menerka jika aku sedang menyembunyikan sesuatu karena berulangkali menarik napas panjang.
"Kamu kenapa, Hana?" tanyanya dengan nada serius.
"Aku? Aku nggak apa-apa."
"Ck! Kamu sedang menyembunyikan sesuatu?"
"Nggak kok. Semuanya baik-baik saja."
Salma mengedarkan pandangan lalu menoleh menatapku penuh selidik.
"Mana Bagas? Aku ngerasa ada yang janggal, Hana."
Kucoba mengumpulkan segenap hati untuk menunjukkan jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku. Namun, rupanya Salma tidak mempercayai semua sanggahanku.
"Kalian bertengkar?" Kembali dia menyelidik. Kali ini memiringkan kepalanya mencoba menelisik lebih dalam ke mataku.
"Jangan sembunyikan masalahmu dariku, Hana. Aku tahu siapa kamu, dan aku juga tahu kamu nggak sekuat itu."
Ponselku yang terletak di samping Salma berdering. Membaca identitas penelepon mata Salma membeliak.
"Adik madumu menelepon!"
Kupejamkan mata dan mengatur napas yang mendadak turun naik karena jantung lebih cepat berdetak. Entah apa yang akan dibicarakan Kalila, apa mungkin tentang Mas Bagas? Apakah suamiku itu sudah bersama Kalila sekarang?
"Halo, Kalila."
"Halo, Hana. Makasih sudah mendengar keluhanku. Aku benar-benar nggak nyangka Mas Bagas datang hari ini."
Kutahan rasa panas di mata. Kurasa air mataku tak bisa kompromi setidaknya sampai Salma pergi.
"Kamu baik-baik aja, kan? Eum ... kehamilan kamu gimana?" Kalila bertanya.
"Aku baik. Kondisi kehamilan aku juga baik."
Terdengar dia menghela napas lega.
"Syukurlah. Karena kehamilanku ini dokter bilang aku harus istirahat total. Dikhawatirkan kandungan lemahku bisa kembali terjadi seperti kehamilan sebelumnya dan aku nggak mau itu terjadi, Hana.
"Aku tahu." Singkat saja kujawab.
Lamat kudengar suara suamiku di seberang tengah memanggil Kalila dengan panggilan sayang. Sempurna sudah luka ini. Lengkap sudah Mas Bagas menorehkan luka sekaligus menyiramnya dengan air garam. Pedih, perih.
"Eum ... sebentar ya, Hana. Aku telepon lagi nanti. Kebiasaan Mas Bagas kalau mandi handuk selalu ketinggalan!" Kalila menjelaskan dengan suara riang. "Bye, Hana. Terima kasih sekali lagi!"
Obrolan berakhir bersamaan dengan luruhnya air mata ini begitu saja. Tak bisa kutahan, seperti senja yang tak bisa menahan malam. Aku sadar aku terjebak oleh rencana yang kupintal atas nama cinta, tetapi nyatanya yang ada hanya luka.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top