Usai 10


Menjelang sore aku tiba di rumah. Setelah banyak konsultasi dengan dokter Aisyah, aku jadi lebih tenang. Sepanjang jalan Randy banyak juga memberi masukan agar aku tidak terlalu stress yang tentu akan berimbas pada janin.

"Hana, aku jujur dengan apa yang kuungkap tadi, tapi hal itu tidak perlu terlalu kamu pikir ... setidaknya kamu tahu seperti apa perasaanku, itu saja," ucapnya saat kami berdua masih di dalam mobil.

Aku bergeming mendengar penuturannya.

"Maaf, aku bukan tidak tahu posisimu, kuharap kita bisa tetap seperti ini," ungkapnya pelan.

"Aku tahu, Randy. Terima kasih untuk semuanya, tapi hidupku terlalu rumit."

"Aku paham, ayahmu sudah menceritakan semua padaku. Aku yakin kamu bisa keluar dari permasalahan ini. Percayalah!"

Kuanggukkan kepala sembari tersenyum.

"Oke, aku mau ketemu sebentar dengan ayah ibu, lalu langsung balik ya," tuturnya membuat sabuk pengaman.

Kami berdua melangkah bersisian. Sampai di depan pintu hampir saja aku gak percaya dengan apa yang kulihat. Mas Bagas tengah duduk berhadapan dengan Ayah. Jelas air muka suamiku menampakkan gurat kecewa saat menatapku. Terlebih saat sorot mata yang selalu hangat menatapku itu kini berganti dengan kilat cemburu. Aku benar-benar dibuat serba salah.

Suara Ayah membuatku tersadar. Segera kuajak Randy masuk. Pria itu mengangguk menyalami Ayah, Ibu lalu Mas Bagas. Setelah itu ia memohon diri untuk kembali bekerja.

"Aku balik dulu, Hana. Jaga diri baik-baik," pesannya sesaat sebelum melangkah ke luar.

Sepeninggal Randy, Mas Bagas mengungkapkan maksud kedatangannya. Meski awalnya Ayah keberatan, tapi tak urung beliau menyerahkan semua keputusan padaku.

"Ayah harap yang terbaik buat kalian. Bagas! Hana adalah putriku, jika kamu merasa tidak sanggup melindungi dan menjaganya, serahkan kembali pada kami!" tegas Ayah pada Mas Bagas yang dijawab dengan anggukan sopan.

"Ya sudah, sekarang kemasi apa yang hendak kamu bawa," ucap Ayah. Aku bangkit menuju kamar untuk kembali mengemas pakaian membawanya ke rumah kami. Tak lama tadi daring tiba, aku digandeng Mas Bagas meninggalkan rumah Ayah dan Ibu. Lagi-lagi sebelum kami pergi, Ayah berpesan yang isinya kurang lebih sama dengan yang beliau ucapkan tadi.

"Sayang, kenapa kamu tidak mengatakan padaku kabar bahagia itu?" tanya suamiku saat mobil mulai meluncur. Ia menatap penuh tanya seraya mengusap perutku.

"Aku tahu dari Salma, kami berjumpa tadi di bandara. Katakan, apa sebenci itu kamu padaku?"

"Mas bilang apa? Benci?"

"Iya, benci. Sehingga kamu menyembunyikan kabar gembira itu. Bukankah dia anakku?" Kali ini intonasi Mas Bagas terdengar lugas.

Kuhela napas dalam-dalam. Tak menyangka kabar gembira yang seharusnya membuat kami semakin mencinta justru membuat sebaliknya. Mas Bagas kecewa.

"Ya jelas ini anakmu, Mas. Aku ... aku hanya ingin memberi kejutan, tepat saat ulang tahunmu seminggu lagi," jelasku mencoba mendinginkan hatinya.

"Aku tidak pernah membencimu, Mas. Kenapa kali ini Mas berpikir seperti itu? Apa karena aku memang tidak pernah istimewa di hatimu?"

Kembali aku dirundung sedih, entah kenapa aku menjadi semakin peka. Teringat ucapan Randy, bahwa kondisi seperti ini dipengaruhi masa kehamilanku.

"Hana, maaf. Jangan menangis, Sayang. Maafkan aku. Aku hanya ... aku hanya cemburu." Lembut Mas Bagas merengkuh bahuku kemudian mendekap erat.

"Aku bahagia, bahkan sangat bahagia mengetahui kondisimu. Aku janji tidak akan pernah meninggalkanmu, Sayang," tuturnya berkali-kali mengecup puncak kepalaku.

Nyaman, seperti biasa. Aku merasakan nyaman berada di dekapnya, merasakan degub jantung yang berdetak, menghirup aroma tubuh yang selalu kusuka. Ungkapan tulus dari seorang suami pada istrinya yang tengah mengandung benihnya, aku merasa kali ini dia benar-benar bahagia.

Hanya saja bahagiaku kali ini tentu tidak seperti bahagia pasangan pada umumnya. Ada hati yang harus kujaga.

Jika Mas Bagas mengatakan tidak akan meninggalkanku, lalu bagaimana dengan Kalila? Apa aku harus mengabarkan kondisi ini padanya, dan berharap dia bisa memaklumi kemudian mengizinkan aku dan Mas Bagas menikmati bahagia berdua sama seperti saat aku mengizinkan pria itu menikmati bahagia bersamanya?

Perjalanan tiga jam tanpa terasa, akhirnya kami tiba di rumah yang penuh dengan cerita.

"Kita sudah sampai, Sayang. Ayo turun," ajaknya.

"Welcome home, Sweetie," bisiknya membukakan pintu. Lega rasanya berada kembali di tempat ini. Terlalu banyak memori di dalamnya. Bahagia, tawa, sedih juga tangis telah banyak terukir di sini.

"Kita delivery aja ya. Aku hampir lupa kalau sedari tadi kita belum makan." Mas Bagas membuyarkan lamunanku.

"Mau makan apa, Hana?"

"Terserah, Mas. Aku ikut aja."

"Ya sudah, kamu tiduran di sofa dulu. Aku mau membersihkan kamar. Sudah lama sekali rumah ini kosong. Oh iya, aku sudah memesan makanan, dua puluh menit lagi datang," tuturnya tanpa jeda.

Kurebahkan tubuh melepas penat, obrolan dengan Randy kembali menggangguku. Bagaimana mungkin pria itu mencintaiku? Wanita bersuami dan tengah mengalami masalah rumit di rumah tangganya? Meski begitu, dia pria baik yang tak ingin memaksakan kehendak, tentu aku hargai itu.

Lelah yang mendera ditambah kondisi mual membuat mata ini terpejam.

Kecupan di kening membuat mataku mengerjap. Senyum Mas Bagas menjadi pandangan pertamaku membuka mata.

"Maaf, Mas. Aku ketiduran." Kucoba bangkit, tapi lembut dia menahanku sambil menggeleng pelan.

"Tetap begitu, aku akan mengambil makan untukmu."

"Kenapa Mas nggak bangunin aku?"

"Aku suka melihatmu tertidur tadi, tenang sekali. Mengingatkanku pada dongeng Sleeping beauty," ungkapnya lembut seraya menyungging senyum. Kali ini kurasakan wajahku menghangat malu mendengar penuturannya.

"Kamu di sini, aku ambilkan makan ya." Mas Bagas beranjak menuju ruang makan. Tak berapa lama.ia kembali membawa makanan kesukaanku, sop buntut.

"Aku suapin." Meski sebenarnya perut kembali terasa diaduk, tak ingin mengecewakan pria ini, kuturuti keinginannya. Satu dua tiga hingga suapan ke empat aku tak lagi bisa tahan. Bergegas bangkit dan melangkah ke kamar mandi untuk menumpahkan makanan barusan dari perutku.

"Hana, maaf ... aku terlalu memaksa? Maaf, Hana." Panik Mas Bagas membantu meringankan dengan memijit tengkukku. Berulang kali ia mengatakan maaf dan merasa bersalah membuatku seperti ini.

"Mas, nggak apa-apa. Bukan salah Mas, kok. Ini hal biasa bagi sebagian perempuan hamil," tuturku saat kembali ke sofa.

"Lalu, kamu mau makan apa malam ini, Sayang?"

"Buah, aku rasa aku makan buah aja, Mas."

"Oke, kamu tunggu di sini atau kita keluar beli buah?"

Aku benar-benar dibuatnya bahagia melihat kepanikannya saat ini. Melihatku tersenyum ia mengusap tengkuk seraya berkata, "Aku terlihat bodoh ya? Maaf ... mungkin karena terlalu bahagia."

"Aku senang Mas di sini bersamaku. Percayalah, kebahagiaan ini juga dirasakan oleh dia." Kuraih tangannya mengarahkan ke perut yang masih datar. "Dia ikut bahagia, Mas," tuturku menatap matanya.

Dia mengusap lembut kemudian mengecup keningku mengucapkan terima kasih.

"Aku juga bahagia, Hana. Jika mungkin aku bisa mengatakan kebahagiaan ini ke seluruh dunia, akan aku teriakkan itu."

"Nggak usah lebay! Cukup perhatikan kami berdua, aku sudah sangat gembira." Kucubit perutnya yang sepertinya kurang olahraga.

"Mas malas olahraga ya?"

"Kenapa?"

Kembali kucubit perutnya yang sedikit berlemak, dia terkekeh geli.

"Aku frustrasi akhir-akhir ini, Sayang. Aku benar-benar takut kehilangan separuh jiwaku," ungkapnya mengusap pipiku.

Kusandarkan kepala di bahunya, tak bisa kuungkap perasaan saat ini. Merasa dicintai dan diperhatikan adalah kebahagiaan tersendiri bagi wanita hamil sepertiku.

"Aku belikan buah ya, Sayang. Kamu mau buah apa?"

"Apa aja, Mas." Ia mengangguk lalu melangkah keluar rumah. Kebetulan ada minimarket di dekat rumah kami, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk membeli apa yang kuinginkan.

***

Perhatian dan siraman kasih sayang Mas Bagas benar-benar menguatkanku. Jika sebelumnya aku merasakan mood yang buruk, tapi di sisi suami, kurasakan bahagia.

Seminggu sudah Mas Bagas di Jakarta. Urusan toko sudah mulai kembali ia pegang. Suamiku itu sama sekali tidak mengizinkan aku untuk mengurus urusan bisnia kami.

"Biar aku yang urus, Hana. Kamu di rumah fokus dengan calon buah hati kita," ucapnya saat aku mengatakan ingin ikut ke toko. Tak ada yang bisa kuperbuat selain mengikuti kemauannya.

Mual-mual yang kurasakan datang tak tentu. Terkadang pagi, siang bahkan saat malam tiba mual itu bisa menyapa. Sore ini aku lebih nyaman, sebab perasaan tak enak itu tidak muncul.

Teringat Ata, aku merasa salah karena sama sekali tidak pernah lagi menyapa bocah kecil itu. Bagaimana kabarnya, apa dia masih di rumah sakit atau sudah kembali ke rumah? Tiba-tiba aku merasa bersalah.

Dengan sedikit cemas kuraih ponsel mencoba menghubungi Randy. Tak menunggu lama panggilanku dijawab olehnya.

"Halo Randy ... maaf, kabar Ata bagaimana?"

"___"

Om dari Ata itu mengatakan bahwa keponakannya sudah sehat dan sudah berisitirahat di rumah sejak tiga hari lalu. Dari cerita Randy, Ata hampir setiap hari bertanya tentangku.

"Oke, aku akan cari waktu untuk ketemu Ata. Sampaikan salam sayangku buat dia," ujarku menutup pembicaraan.

"Hana?" Suara Mas Bagas membuatku tersentak.

"Mas sudah datang?"

"Dari tadi kuucap salam kamu tidak menyahut," balasnya tanpa senyum.

"Maaf, Mas. Aku baru saja telepon Ata. Dia ...."

"Ata? Kenapa dia? Bukankah dia memiliki kakek dan om?" potong Mas Bagas sengit.

Tak lagi kutanggapi ucapan Mas Bagas. Aku bangkit menawarkan padanya kopi hitam seperti biasa.

"Hana dengar! Aku tidak suka kamu dekat dengan Randy!"

"Mas, tapi aku tadi hanya berbicara tentang Ata. Kenapa Mas malah nyambung ke Randy?" elakku.

"Mau itu Ata atau Randy, aku tidak suka dengan keduanya!"

Kuhela napas dalam-dalam lalu melangkah ke dapur. Kubiarkan Mas Bagas sendiri hingga emosinya reda.

"Diminum kopinya, Mas."

Suamiku itu menatap sekilas lalu kembali menyandarkan kepalanya di sofa.

"Aku suamimu, Hana. Kuminta kamu berhenti menghubungi om dan keponakannya itu mulai hari ini!"

"Maaf, Mas. Tapi kecurigaan Mas itu sama sekali tak berdasar. Seharusnya Mas berterima kasih pada dokter Randy. Dia banyak membantuku saat seharusnya aku membutuhkan dirimu, Mas." Aku mencoba membela diri. Tentu tak terima dengan pandangan negatif Mas Bagas terhadap Ata juga Randy.

"Jadi menurutmu aku nggak boleh melarang istriku sendiri gitu?"

"Bukan begitu, Mas. Tapi apa yang Mas pikirkan itu sama sekali tidak benar!"

"Lalu, apa benar tindakanmu yang pergi berdua saja dengan Randy waktu itu? Aku curiga kamu sering melakukan hal itu dengan dia!"

"Mas!"

"Kamu bilang dia banyak menolongmu, 'kan? Jangan-jangan ...."

"Jangan-jangan apa, Mas?" Ia menggeleng ia tak melanjutkan pembicaraan.

"Sudahlah! Aku lelah!" Ia berlalu meninggalkanku.

Sakit menghadapi kecurigaan suamiku, bahkan lebih sakit daripada melepas kepergiannya ke Balikpapan.

"Mas tunggu!"

"Ada apa lagi?"

"Tolong maafkan aku. Maafkan jika Mas merasa tersinggung. Aku hanya ...."

"Sudahlah, Hana. Dalam hal ini memang aku yang salah! Sudah, aku mau mandi!"

Terdengar pintu kamar mandi ditutup kuat membuatku terlonjak.

Malam harinya, meski Mas Bagas bersikap dingin, aku mencoba abai dengan hal itu. Kusuguhkan teh jahe hangat untuk mengusir udara yang cukup menusuk malam ini.

Saat baru saja hendak duduk di sampingnya, kulihat Mas Bagas mengambil gadget menelepon seseorang. Tak kusangka dia menghubungi Kalila. Tak ingin terkesan menguping, kembali menuju dapur untuk merapikan peralatan di sana. Panggilan Mas Bagas membuatku mendatanginya.

"Kalila mau bicara," ucapnya menyerahkan benda itu padaku lalu ia pergi. Dia masih dingin padaku. Sedemikian dalam rasa kesalnya hingga tak lagi menatapku seperti biasa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top