Usai 1



Halooo, Teman² ... mungkin ada beberapa teman yang sudah pernah baca kisah ini. Jadi kisah ini dulu aku tulis dg beberapa teman dan ternyata karena satu dan lain hal akhirnya mereka back off dg alasan masing-masing. Nah karena saran dari beberapa pembaca, akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan sendiri kisah ini.

Semoga kalian suka yaa.

Selamat membaca 💜

💖💖

Tiga bulan sudah Mas Bagas tak datang. Aku tahu tiga bulan bagi pengantin baru adalah waktu yang indah-indahnya. Mencoba memaklumi keadaan, tak hendak  protes padanya. Toh, saat dia menikahi Kalila, aku telah mengikhlaskan.

Aku Raihana, istri dari Bagaskara. Menikah dengannya telah menjadikan dien-ku sempurna. Dia pria baik dan bertanggung jawab. Padanya kedua orang tuaku menyerahkan putrinya sebagai amanat yang harus dijaga.

Kehidupan rumah tangga kami berjalan baik, hampir tak ada masalah berarti. Mengarungi hidup berdua tujuh tahun telah kami lalui. Hingga suatu hari Mas Bagas berbagi cerita tentang seorang wanita bernama Kalila. Wajah tampannya berbinar saat menuturkan betapa wanita bernama Kalila itu memiliki keistimewaan. 

"Dia kawan saat kami di sekolah menengah pertama. Kamu tahu, Hana! Dia murid tercerdas di kelas kami."

Meluncur banyak kisah dari lisan suamiku tentang wanita itu. Bahkan mungkin dia lupa siapa yang tengah mendengar kisahnya saat itu. Hingga akhirnya aku bertanya, "Dia sudah berkeluarga?"

Kudapati wajahnya berubah muram. 

"Kalila tidak bahagia di pernikahannya, Dek. Dia sudah bercerai tiga tahun lalu, dan kini dia tinggal bersama dengan budenya."

Aku terdiam. Kulihat matanya menerawang seakan mencoba mengumpulkan memori yang terserak beberapa waktu lampau. Bibirnya melengkung sempurna saat kembali bercerita betapa dirinya dan Kalila pernah merenda hati saat itu. 

"Ayah Kalila seorang kepala sekolah dan sangat galak. Pernah aku dan beberapa kawan bertandang ke rumahnya, tapi akhirnya kami semua ngacir pulang karena diusir," kisahnya dengan tawa kecil. Mendadak hatiku pilu, ada yang menyengat menimbulkan rasa cemburu di lubuk nurani. Kembali Mas Bagas berkisah, mereka berpisah saat sama-sama lulus SMP. 

"Andai dulu aku punya keberanian ...."

"Keberanian apa, Mas?"

Priaku itu menggeleng.

"Aku kenalkan ya, Dek? Aku yakin kamu akan cocok. Sebab tipikalnya mirip denganmu," sambungnya lagi.

Kutarik bibir membuat senyuman.

"Mirip denganku?" Otak mulai meraba-raba, Mas Bagas mulai membanding-bandingkan aku dengan kawan masa lalunya itu. Namun, kuendapkan karena tak ingin binar wajahnya berubah.

"Dia banyak cerita, ada baiknya kalian berdua sharing. Sebab kalian kan sama-sama perempuan," tuturnya.

"Terserah, Mas saja." Kutekan cemburu yang mulai memenuhi rongga dada. Lagi-lagi kulihat senyum di bibirnya.

***

"Sudah sepantasnya kalau kamu curiga, Hana. Sebab awal selingkuh itu pasti seperti itu modelnya!" Salma menasehatiku. Siang itu sepulang mengajar sengaja aku mampir ke rumahnya. Dia adalah sahabatku.

"Aku takut meletakkan prasangka ini, Salma. Aku takut ini akan jadi bumerang di rumah tanggaku." Alasan untuk tidak berburuk sangka selalu kupupuk. Karena sepenuhnya aku percaya pada imamku itu. Perilaku Mas Bagas tak pernah berubah, bahkan kurasa dia semakin perhatian. 

Aku bisa begitu percaya padanya setelah berkali-kali tersandung hingga bersama-sama bangkit. Hantaman ujian ekonomi tak jera menyambangi di lima tahun pernikahan kami. Aku rela tinggal di rumah petak dengan makan seadanya demi memberi support penuh untuknya. Aku pun rela menjual cincin pernikahan agar bisa menyambung hidup. 

Dari rentetan peristiwa itulah aku yakin bahwa ujian seberat apa pun tak akan bisa memupus cinta kami. 

"Kamu jangan naif, Hana! Meski percaya kamu wajib waspada!" Salma menyerahkan segelas air mineral.

"Aku paham, Salma. Kita lihat saja nanti. Aku ingin sesekali ngobrol dengan Kalila itu."

"Terserah kamu, Hana! Aku cuma pesan, jangan pernah memberi kepercayaan berlebihan pada lelaki! Nanti kamu menyesal!"

***

Kita pernah menjadi sepasang rindu yang indah. Bersama memupuk asa untuk merenda hari. Mengikat hati dengan aksara bernama cinta. Jika kelak kita bertemu dengan kerikil atau bahkan batu, kuingin kita saling menoleh untuk kemudian bergandengan menepikan aral.

Aku percaya, Mas Bagas tak pernah ingin menyingkirkan aku dari memorinya. Hal itu semakin kuat kusadari saat dia benar-benar memberikan nomor teleponku pada wanita itu.

Kalila, dia sangat friendly. Suamiku benar, kami mudah sekali cocok. Dari kisah yang meluncur darinya aku tahu kisah hidup wanita itu tak bahagia. Terkadang dia berkisah dengan suara bergetar menahan tangis. Namun, terkadang dia juga riang menanyakan awal aku bisa bertemu Mas Bagas.

"Dia dari dulu emang nggak pernah banyak bicara, Hana. Dia lebih suka menunjukkan perasaannya dengan perbuatan. Betul, 'kan?" 

Tuhan, wanita ini benar-benar tahu seperti apa Mas Bagas. Hingga suatu waktu saat kami aku dan suami duduk di ruang keluarga, kulihat dia sibuk dengan ponselnya.

"Ada apa, Mas?"

"Nggak ada."

"Mas sedang resah sepertinya."

"Kalila ...."

"Ada apa dengan Kalila"

Wanita masa lalunya itu hendak dilamar seorang pria yang selama ini mengejarnya. Konon kata Mas Bagas, pria itu memiliki beberapa istri dan sering bertindak sewenang-wenang pada istri-istrinya.

"Lalu?" Sesungguhnya tenggorokan ini terasa kering, otakku mulai liar berandai.

"Mas mau melindungi Kalila?"

"Maksud, Adek?"

"Mas menginginkan Kalila menjadi bagian dari keluarga kita?"

"Jangan berpikir sejauh itu, aku hanya bersimpati. Itu saja." Dia merengkuhku, tapi kurasakan hatinya sedang tidak di sini.

***

Entah kenapa meski kami tak pernah kenal tapi aku dan Kalila sangat dekat. Hampir tak ada sekat. Tinggal kami berjauhan, wanita itu tinggal di luar pulau. 

"Senang ya, Hana. Sepertinya Mas Bagas sayang banget sama kamu!"

"Alhamdulillah, Kalila. Aku bahagia hidup bersamanya."

"Aku selalu memimpikan memiliki suami yang perhatian dan sayang seperti itu," tuturnya lirih.

Kucoba bertanya tentang cerita Mas Bagas waktu itu. Kali ini dia terisak.

"Aku takut, Hana. Lelaki itu mengancamku. Dia telah mempengaruhi budeku agar aku menerima pinangannya."

Sama seperti yang dikisahkan suamiku, Kalila sedang ketakutan dan tertekan. 

"Maafkan aku, Hana. Maafkan jika aku membuatmu ikut memikirkannya."

"Tak apa. Aku rasa aku tahu jalan keluarnya."

***

Wajah Mas Bagas menatap penuh tanya padaku. Aku tahu dia tak akan menyangka permintaan ini keluar dari bibirku.

"Kamu sadar dengan apa yang barusan kamu ucapkan, Sayang?"

"Sepenuhnya aku sadar, Mas. Entah kenapa, aku merasa Kalila sudah menjadi bagian dari keluarga kecil kita. Semenjak ... kamu membawa kisah itu padaku."

Priaku itu terdiam. Meski dia masih bersikap seperti biasa, tapi nuraniku tak pernah ingkar. Ada gelisah jika sehari Kalila tidak menghubungi aku atau dia.

Aku tahu tak semua wanita bisa menerima atau bahkan memutuskan ini. Namun, aku ingin binar itu tetap ada di wajahnya. Meski kutahu dia mencoba menyembunyikan rasa, tapi Mas Bagas adalah pembohong yang buruk! 

Aku memutuskan ini setelah jiwa dan hati luruh di atas sajadah. Setelah berkali menepis lelah, setelah tak bosan menepikan gundah.

"Aku pergi dulu, Hana. Akan kusampaikan salammu pada keluarga Kalila. Terima kasih sudah memberi ruang bagiku untuk melakukan hal yang tidak mudah ini." 

Kucium punggung tangannya melepas Mas Bagas pergi untuk mengucap ijab kabul di depan penghulu bersama Kalila.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top