5. Chit-chat

Minggu pagi, apartemen Aldira diketuk. Dia yang baru saja selesai mandi, masih dengan handuk di leher, melangkah ke pintu. Dia tahu siapa yang datang.

“Aku kepagian?” Pintu terbuka, Satria heran melihat Aldira yang terlihat habis mandi. Celana tidur panjang dan kaus putih dengan sablon Tweety di bagian depan yang sudah pudar. Rambut panjangnya masih basah.

“Nggak. Aku yang bangunnya telat.” Aldira berbalik. Satria melangkah masuk setelah menutup pintu.

Tanpa disuruh, Satria duduk di salah satu sofa—yang dua hari lalu dia duduki. Sekali lagi dia refleks menyapukan pandangan ke penjuru apartemen.

Aldira muncul dengan dua mug di tangan, satu dia letakkan di atas meja kaca, dan satunya masih tergenggam. Aroma cokelat menguar. Satria tanpa malu langsung meraih mug itu.

“Mau aku ganti kopi hitam?”

Satria menggeleng.

Masih dengan handuk di leher, rambut panjang yang basah, Aldira duduk berhadapan dengan Satria. Kedua kakinya dia tekuk, punggungnya dia luruskan. Semalam, lelaki ini bilang ingin bertandang ke apartemennya. Saatnya menanyakan tujuannya datang ke sini untuk apa. Tapi sebelumnya, dia biarkan lelaki itu menikmati cokelat hangatnya.

“Ada yang mau dibicarain?”

“Banyak. Tapi aku mulai dari hal sederhana dulu.” Satria berdeham. “Aku harus tahu dengan siapa aku akan menikah. Aku akan bertanya beberapa pertanyaan. Begitu juga sebaliknya, kamu boleh bertanya apa saja.”

Aldira menaikkan satu alisnya sekilas. Berpikir sebentar sebelum mengangguk dengan ragu. “Boleh, mau tanya apa?”

“Umur kamu?”

“Dua puluh lima tahun.”

“Aku dua puluh tujuh—”

“Haruskah aku memanggilmu ‘Mas Satria’?” potong Aldira dengan suara datarnya.

Satria terkekeh. “Jangan. Panggil nama aja, Al. Aku lebih nyaman begitu.”

Sekarang, gantian Aldira yang melemparkan pertanyaan. “Perempuan yang kamu cintai?”

“Brenda. Seumuran sama kamu.”

“Kenapa nggak nikah aja sama dia?”

“Brenda belum siap diajak nikah. Sementara Mama ingin aku menikah secepatnya.”

Untuk jawaban itu, Aldira sebenarnya sudah tahu. Dia hanya ingin tahu siapa perempuan yang dicintai lelaki di depannya ini.

“Kamu bisa jamin nggak, kalau nanti setelah kita menikah, aku nggak akan kena bantai si Brenda ini?”

“Aku nggak bisa jamin. Tapi aku akan coba lindungi kamu dari gangguan dia.”

Aldira meletakkan mug-nya di atas meja. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. “Apa ada kemungkinan kamu akan selingkuh dengan Brenda?” Kemudian dia menggeleng. “Status kalian sekarang?”

“Kami sudah putus.”

“Ironis sekali.”

Satria mendadak sensi. Perempuan di depannya ini seolah sedang mengejeknya. Ironis? Ya, memang ironis. Dia terpaksa memutuskan hubungan dengan Brenda. Membuat perempuan itu menangis histeris. Lalu Satria mendapat hadiah panas di pipi.

“Jangan tersinggung. Aku hanya bercanda.”

Bercanda? Apanya yang bercanda. Dengan muka seriusnya, dia bilang yang tadi hanya bercanda? Beruang di kutub Utara juga tahu itu bercanda atau mengejek.

“Kamu tinggal sendirian? Papa, mama, kakak atau adik?”

“Aku tinggal sendirian.” Hanya itu. Tidak lebih.

“Mereka di luar kota?”

“Aku hanya sendirian.”

Satria menghentikan kalimat yang hendak keluar. Dia mencerna sebentar. Membuat kesimpulan paling mendekati.

Seketika hening melingkupi mereka. Hanya terdengar suara pendingin ruangan dan detak jam di dinding.

Setelah berdeham, Satria mencoba bertanya hal lain. “Punya alergi atau sejenisnya? Phobia?”

Hemophobia.”

“Ya?”

Phobia darah.”

Hening lagi.

“Lalu, maaf, kalau kamu sedang siklus bulanan, anu ….” Satria gelagapan. Dia tidak menemukan kalimat yang tepat. “Itu ….”

“Awalnya takut. Lama-lama terbiasa.”

“Sejak kapan?”

“Sepuluh tahun yang lalu.” Aldira menghela napasnya. Menahan segala sesak yang siap menyeruak.

“Kenapa bisa phobia darah?”

“Bisa ganti pertanyaan lain?”

“Oke, maaf.” Satria meraih mug-nya. Menyesap lagi cokelatnya seraya memikirkan pertanyaan berikutnya.

“Kamu punya pacar?” Ini pertanyaan yang akan menimbulkan reaksi berlebihan seperti tersedak lantas melotot tajam.

Tapi Aldira menurunkan mug-nya dengan santai. “Banyak yang mendekati. Tapi sebatas itu. Nggak lebih.”

“Kamu bisa jamin nggak, setelah kita menikah, aku nggak akan dibantai oleh mereka?” Satria membalik kalimat perempuan itu tadi.

“Aku nggak bisa jamin. Kalau pun kamu dibantai, hadapi saja. Kamu bisa berkelahi ‘kan?”

Eh? Kenapa dia tidak menjawab seperti jawaban Satria tadi? Tapi tidak masalah. Satria justru merasa tertantang. “Memangnya jumlah mereka berapa?”

“Lebih dari lima, tapi nggak sampai sepuluh.”

Tanpa sadar Satria bertepuk tangan. Dia tidak perlu meragukan hal itu lagi. Fakta Aldira ini cantik tidak bisa disangkal oleh siapa pun. Hanya saja, Satria besar gengsi untuk melempar pujian.

“Mau cokelat hangat lagi?” Aldira menawarkan begitu melihat mug Satria sudah tandas.

“Boleh.”

Aldira berdiri. Melangkah ke dapur yang letaknya masih satu ruangan. Sementara Satria sibuk menikmati rintik hujan yang menempel di jendela. Ketika perjalanan ke apartemen Aldira, mendung memang berarak di langit.

“Di antara mereka, belum ada yang melamarmu?” Pertanyaan masih seputar soal lelaki yang mendekati Aldira. Satria hanya ingin tahu. Tolong jangan salah paham. Dia tidak cemburu atau bagaimana. Hanya ingin tahu saja.

“Ada, tiga orang.”

“Kamu tolak semua?” Satria hampir bertepuk tangan lagi.

“Iya.”

“Kenapa? Mereka nggak mapan?”

Aldira menyeringai. “Aku nggak lihat dari seberapa mapan mereka.”

“Lalu?”

“Aku sudah terikat janji dengan Tante Rosa. Sekali janji, tetap janji.” Aldira sempat menunduk, menghindari tatapan Satria. Ada keraguan tersirat di sana. Janji itu, semoga saja tidak dilanggar Aldira suatu hari nanti.

“Memangnya nggak ada yang kamu cintai satu pun? Maksudku, para lelaki itu.”

“Aku nggak akan duduk di sini, membuatkanmu dua mug cokelat hangat, kalau aku mencintai salah satu dari mereka.”

Satria menganga. “Jadi ….”
Tunggu! Tidak! Dia salah bicara. Seharusnya responsnya tidak begitu.

“Aku mencintaimu.”

Terlambat. Satria harus mendengar kalimat itu lagi. Kalimat yang mendadak menghantuinya seminggu lebih.

***


Diketik: 3-4 Juli 2018
Dipost: 06/07/18

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top