Knot#8: What Next?


There is always a pleasure in unravelling a mystery, in catching at the gossamer clue which will guide to certainty

Elizabeth Gaskell, Mari Barton


Awal tahun ajaran baru 2017, beberapa hari setelah naik kelas XI. Lokasi: ruang perpustakaan SMA Bhakti Paloma.

"Hai, kamu Lidia?" Suara panggilan itu membuat aku yang sedang mencoret-coret di atas buku sketsa dan Anne yang tengah membaca langsung menoleh ke arah sumber suara yang ternyata berasal dari seorang cowok bertubuh cukup tinggi. Rambutnya sedikit berantakan, tapi anehnya terlihat cocok dengan penampilan keseluruhannya yang terlihat santai tapi berkelas dan—yah—menarik.

Tanpa menunggu jawaban dari Anne, cowok itu langsung menarik salah satu kursi di meja kami dan duduk di sana.

"Kamu Lidia, kan? Lidia Anneliese Sharai?" Rupanya dia merasa masih perlu memastikan karena Anne tak kunjung menjawabnya. Dari sudut mataku, aku bisa melihat wajah Anne sedikit memerah sebelum mengangguk takut-takut. Wajar, Anne memang selalu merasa gugup kalau didekati oleh orang yang belum dikenal, apalagi orang itu cowok.

"I-iya," jawab Anne gugup. "Anne saja," tambahnya. Mata Anne langsung membulat saat cowok itu dengan antusias mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi Wattpad, dan menunjukkan sebuah profil. Aku mengenalinya sebagai profil Wattpad milik Anne.

"Ini Wattpad kamu?" Begitu melihat Anne mengangguk, cowok itu terlihat makin berbinar. Dia mengulurkan tangannya dan tanpa basa-basi menjabat tangan Anne yang terlihat sedikit berjengit. "Aku Cello!" katanya antusias. "Kita sekelas, tapi kayaknya kita belum kenalan, ya? Kemarin aku nggak sengaja nemu Wattpad kamu dan suka banget sama tulisan-tulisan kamu di sana! Thriller-misteri kamu keren! Kayaknya kita satu selera bacaan nih! Pas lihat foto profilnya, kok kayaknya nggak asing? Eh ternyata kita sekelas! Aku—"

"Ehm!" Risih karena Cello tak juga berhenti bicara, aku langsung berdeham untuk mengalihkan perhatian. Berhasil. Sepertinya dia sadar kalau barusan aku sengaja menyela karena cowok itu langsung meringis; membuat lesung pipinya terlihat jelas. Saat itulah aku baru memperhatikan kalau cowok ini punya karakter wajah yang sepertinya dibentuk oleh perpaduan beberapa ras, membuatnya terlihat berbeda dari cowok-cowok lain di sekolah kami—sekaligus terasa familier.

"Soriii—" ucapnya dengan nada menyesal. "My bad. Kalau udah ketemu sama penulis atau orang yang satu selera bacaan, aku suka lupa diri. So... Hai, aku Cello. Kamu Karen, kan?" Tangan Cello terulur ke arahku. Sayangnya saat itu aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri; mencoba mengingat-ingat siapa cowok ini. Apa dia ketua OSIS? Atau mungkin seseorang yang populer karena tampangnya? Entahlah, aku tak yakin. Aku—dan juga Anne—memang hampir selalu ketinggalan gosip di sekolah. Namun aku cukup yakin cowok ini terasa familier bukan karena kami sekelas. Hal lain yang tak bisa kupahami, ada sebentuk perasaan tak enak saat melihat Cello. Seperti ada sesuatu yang berbahaya, walau aku sendiri tak tahu apa itu.

"Hei." Teguran itu membuyarkan lamunanku. Saat sadar, kulihat Cello masih mengulurkan tangannya. Gugup, aku balas menjabat tangan itu sekadar untuk berbasa-basi.

"Karen," gumamku seadanya sambil secepatnya menarik tanganku. Sepertinya Cello tahu kalau aku menanggapinya dengan setengah hati karena raut wajah cowok itu sedikit berubah. Senyumnya pun tak lagi seantusias sebelumnya. Semula kupikir dia akan langsung pergi kalau dicuekin seperti itu. Namun ternyata Cello malah kembali mengalihkan perhatiannya pada Anne.

"Kamu suka Conan Doyle? Dan Akiyoshi Rikako juga? Aku enjoy banget baca cerita kamu! Gaya deduksi tokoh-tokohnya ngingetin sama gayanya Sherlock Holmes. Kamu juga pakai kode-kode yang keren! Tapi pilihan plot twist kamu ngingetin sama Holy Mother-nya Akiyoshi Rikako. Berlapis-lapis dan nggak ketebak! Emang suka genre misteri, ya? Pure misteri atau campuran dengan thriller dan horor juga? Terus lebih suka novel misteri Barat atau Asia—kayak Jepang?"

Sekilas kulihat Anne terlihat kaget mendengar Cello nyerocos tanpa henti, apalagi cowok itu sekaligus menyelipkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Wajahnya kembali memerah dan, OMG, aku belum pernah melihat Anne salah tingkah seperti itu.

Tak ingin lebih lama jadi obat nyamuk di antara mereka, aku pun berdiri. Tanpa pamit lebih dulu, aku berinisiatif pergi dari tempatku duduk; menuju lorong tempat penyimpanan buku-buku aneka tumbuhan. Rencananya aku ingin mencari inspirasi gambar bunga untuk bahan doodle hari ini. Sebelum sampai ke lorong yang kutuju, aku sempat memperhatikan suasana di antara Anne dan Cello sepertinya makin cair karena Anne terlihat mulai menanggapi obrolan Cello.

Lama tenggelam dalam keasyikan memilih buku, tiba-tiba saja terdengar bunyi BRAK dan BRUK di sudut perpustakaan. Eh? Apa itu? Enggan terlibat dalam masalah yang tidak perlu, aku kembali mempelajari anatomi daun dan bunga yang rencananya akan kugambar setelah ini. Namun lama-lama suara keributan itu semakin jelas, membuatku mengeryitkan kening. Aneh, padahal ini sudah jam pulang sekolah. Harusnya ruang perpustakaan ini sudah lenggang. Kenapa, ya?

Iseng, aku melirik ke arah sumber keributan yang rupanya berasal dari meja tempat aku dan Anne tadi duduk. Loh, Anne? Mataku langsung melotot saat melihat Anne sudah terduduk di lantai dengan wajah seperti mau menangis, dengan tangan memegangi sebelah pipi. Saat melihatku, tangan itu langsung bergerak menepuk bagian atas dada kirinya. Reflek, buku yang sedang kupegang langsung kulempar dan aku menghambur ke arah Anne; menerobos beberapa cewek yang berdiri mengerumuninya. Apa Anne dirisak, lagi?

"Ne!"

Begitu sampai disebelah Anne, aku langsung berjongkok dan mencoba membantu Anne berdiri. Namun dia bergeming. Anne masih terus menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Saat itulah aku baru mengenali siapa-siapa saja yang barusan mengerumuni Anne dan langsung menelan ludah.

Empat cewek yang menyebut dirinya sebagai Silver Girl berdiri mengelilingi Anne, dengan Bianca berdiri di tengah-tengah. Posisinya sedikit berada di belakang teman-temannya; mau tak mau membuatku merasa kalau dia sengaja memposisikan ketiga temannya sebagai bodyguardnya. Mataku langsung mendelik horor saat melihat Cello berdiri dengan wajah pucat, dan tangan Bianca melingkar di lengan Cello.

"Ca! Aku bisa jelasin! Ini bukan apa-apa!" Cello maju dan mencoba menyingkirkan gelayutan tangan Bianca. Namun Bianca bergeming.

"Kamu yakin mau maju? Kesana? Belain dia?" Wajah Bianca sebetulnya terlihat seperti biasa; tenang dan damai. Namun bahasa tubuhnya memancarkan aura kemarahan yang pekat, apalagi saat menunjuk Anne. Dia bahkan kini melirik Cello dengan tajam. "Yakin?" Kata-kata itu menjadi pamungkas yang membuat Cello terdiam. Apalagi Bianca mengucapkannya dengan nada mengancam yang halus dan tatapan yang sulit untuk kuterjemahkan. Seketika aku memahami bentuk perasaan tak enak sekaligus perasaan berbahaya saat melihat Cello.

Cowok itu rumornya adalah pacar baru Bianca.

* * * 

Sepenggal kenangan itu memudar begitu aku membuka mata. Selama beberapa waktu aku mengerjapkan mata, mencoba mengingat-ingat apa yang sedang kulakukan dan kenapa bisa sampai ketiduran. Saat mataku betul-betul terbuka dan kesadaranku pulih, kusadari kalau aku tertidur dikelilingi tumpukan buku yang berserakan.

HAH!

Sedetik berikutnya aku langsung melompat duduk sambil mengucek mata. Aku baru ingat kalau hari ini aku memang sengaja pergi ke kamar Anne untuk mencari bukti, petunjuk, atau apapun yang mungkin mengarah pada Bianca. Setelah yakin kalau Bianca terlibat dalam kematian Anne, aku percaya kalau petunjuk-petunjuk yang telah kuterima itu belum semuanya. Surat terakhir dari Anne, penyebutan nama Bianca... Pasti ada hal lain yang menunggu untuk kutemukan, dan perasaanku mengatakan kalau aku bisa menemukannya dalam buku-buku milik Anne seperti yang sudah-sudah.

Pertanyaannya: buku yang mana?

Aku melayangkan pandangan ke lautan buku yang berserakan di lantai, kemudian dengan jemu melirik ke arah rak buku setinggi dinding di kamar Anne. Hufth! Padahal sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu di kamar ini, tapi sepertinya belum sampai seperempatnya yang kubongkar—dan itu berarti masih ada ribuan lainnya yang menunggu untuk kujelajahi. Mataku sampai pedas memelototi halaman demi halaman buku-buku itu dan sejauh ini tak ada hasil apapun. Nihil. Jika nekat membongkar tiga per-empat koleksi buku Anne lainnya, aku tak bakal heran kalau setelah itu aku mendadak harus pakai kaca mata.

Apa mungkin petunjuk lainnya nggak ada hubungannya sama buku?

Sambil menggaruk kepala, aku mencoba memikirkan kemungkinan itu sambil membuka-buka buku Ann's Code for Karen yang sengaja kubawa. Sambil membolak-balikkan halamannya, aku mengamati beberapa catatan kode yang biasa digunakan oleh Anne. Apa mungkin kali ini Anne menggunakan kode bahasa? Anne memang suka mempelajari berbagai bahasa. Bukan untuk diseriusi, tapi dia suka mencari bahasa mana yang mudah untuk diotak-atik dan dijadikan kode. Kami juga beberapa kali menggunakan kode bahasa walau tak semuanya bisa kuingat. Atau mungkin Anne menyembunyikan petunjuk dalam lirik lagu yang dia sukai? Tapi, lirik yang mana? Atau... Mungkin saja kodenya masih berhubungan dengan buku, tapi tidak menggunakan halaman buku seperti sebelumnya? Anne memang punya banyak variasi kode menggunakan buku. Namun, pertanyaannya kembali ke awal: buku mana yang harus kucari?

"YA AMPUN!" Jengkel, aku melemparkan buku catatan itu begitu saja dan kembali mendorong tubuhku ke karpet. Kepalaku rasanya berasap. Astaga! Kemungkinannya jadi sangat banyak—bahkan mungkin nyaris tak terbatas. Jadi, apa yang harus kulakukan lagi?

Dalam diam, aku mengusap wajah. Semua teka-teki ini membuatku lelah. Frustrasi, selintas pikiran muncul tanpa kurencanakan.

Sebetulnya, untuk apa sih aku melakukan semua ini?

Apa sebaiknya aku menyerah saja?

Toh polisi sudah menyebutkan kalau Anne memang bunuh diri. Apa lagi yang mau kucari? Apa lagi yang harus kubuktikan? Dan, untuk apa? Belum lagi ditambah dengan perisakan yang baru-baru ini kuterima. Apa semua ini sebanding?

Apa sebaiknya aku cerita saja ke Om dan Tante kalau Anne dirisak? Pikiran lainnya muncul begitu saja.

Ya.

Aku cukup bilang kalau Anne dirisak. Selanjutnya biar Om dan Tante yang mengurusnya ke polisi. Aku yakin Om dan Tante pasti punya koneksi yang nggak kalah dengan koneksi yang dimiliki oleh Bianca dan keluarganya. Malah mungkin mereka akan lebih mudah mengusut Bianca, dan semua misteri dibalik kematian Anne akan cepat selesai. Hasilnya pasti akan beda kalau aku yang bilang ke polisi, karena polisi belum tentu mempercayaiku seperti Bu Jenny kemarin.

Oke, itu yang akan kulakukan!

Pintu kamar Anne dibuka diiringi dengan bunyi derit halus saat aku tengah menyusun kata-kata untuk diucapkan pada Tante. Reflek aku menoleh ke arah pintu dan mendapati Tante Hetih berdiri dengan mulut ternganga lebar. "Karen? Ini..."

Aku langsung membenahi posisi tidurku jadi duduk sambil meringis malu. Ya ampun, aku baru ingat kalau belum minta ijin untuk main ke sini hari ini. Karena tadi Tante Hetih sedang tidak ada, Mbak Menur mengijinkanku untuk langsung masuk dan tanpa basa-basi aku langsung menuju kamar ini untuk membongkar koleksi buku milik Anne.

"Aduh, maaf Tante!" Belum sempat beliau menyelesaikan kalimatnya, aku buru-buru menyela. "Maaf saya nggak ijin dulu. Saya ada perlu dengan buku-buku Anne, jadi—eh—saya bongkar-bongkar sedikit." Aku sedikit malu saat mengucapkan kata 'sedikit' karena pada kenyataannya aku sudah mengubah kamar ini jadi lautan buku.

Tante Hetih sedikit menarik ujung bibirnya—aku tak yakin apa dia menyeringai atau merengut karena tak terlalu jelas dari tempatku duduk saat ini. Hanya saja, kupikir mungkin alasanku tadi tak cukup memuaskan untuknya. Namun saat ini memang tak punya alasan lain yang lebih pantas. Nggak mungkin, kan, kalau aku bilang sedang mencari petunjuk dari Anne?

Lama berdiri diam dalam suasana canggung, kudengar ada sebuah desahan panjang dari Tante Hetih. Tante yang sore itu mengenakan dress berpotongan sederhana dan rambut yang digelung kasual terlihat mengedarkan pandangannya ke seisi kamar Anne dengan tatapan kangen. Situasi itu membuatku makin merasa tak enak hati.

"Umm, maaf Tante," aku menggaruk kepala, "nanti akan saya bereskan lagi. Saya janji kamar ini akan cepet rapi lagi kayak sebelumnya."

Kali ini beliau mengulas senyum samar. Tanpa menjawab, Tante Hetih berjingkat melewati celah-celah di antara buku yang berserakan untuk berjalan menuju ranjang tidur Anne dan duduk di sana. Selama beberapa waktu beliau terlihat sedang memikirkan sesuatu hingga kembali mengembuskan napas panjang.

"Nggak papa, Karen," ujarnya lembut. "Tante justru mau minta tolong sama Karen."

"Ya, Tante?" Aku menegakkan tubuh.

"Tolong... Tolong buku-buku itu sekalian dimasukkan ke kardus, ya? Nanti Karen bisa minta kardusnya ke Mbak Menur..."

"Eh?" Mataku mengerjap mendengar permintaan itu. "Maksud Tante?"

"Tolong bukunya sekalian dibereskan saja," kali ini Tante Hetih mengucapkan kata-kata itu dengan lebih jelas. Beliau terlihat memilah kata apa yang akan diucapkan sebelum kembali melanjutkan, "Tante dan Om... Kami sudah sepakat. Kami akan kembali mengadopsi anak untuk menggantikan Anne. Kami tadi sudah keliling ke beberapa panti, dan mungkin akan ada hasilnya dalam beberapa minggu ini. Ah, Karen pasti tahu kalau Anne.... Kalau Anne bukan anak kandung kami, kan?"

Kata-kata Tante Hetih sukses membuatku membeku. Aku hanya bisa diam, menggigit bibir sambil mencoba mencerna kemana arah pembicaraan ini. Namun, semakin lama aku diam, yang kurasakan hanyalah perasaan kecewa. Sakit hati.

Tentu saja aku tahu kalau Anne anak adopsi. Anne pernah menceritakan itu dalam satu kesempatan saat kami masih SMP dulu.

"Mau tahu apa yang paling nyebelin?" Suara Anne terdengar getir walau dia mencoba menyembunyikannya dalam nada bicara yang santai. "Papa dan Mama, mereka jelas-jelas bilang kalau aku di adopsi karena namaku ada kata 'Anne' nya. Dan umurku nggak jauh beda dengan anak mereka, Anne, yang meninggal beberapa bulan sebelumnya. Kebetulan yang asyik banget, kan?"

Bagi Tante Hetih dan juga Om, Anne hanya pengganti dari Anne, putri mereka yang sudah lebih dulu meninggal. Mungkin karena itulah Anne yang kukenal ini tumbuh dengan perasaan insecure yang besar. Setiap kali dia merasa perlu membuktikan kalau dia disayangi oleh Om dan Tante, dia akan melarikan kegalauannya dengan membeli buku dan menenggelamkan diri dalam dunia fiksi. Bertahun kemudian, buku-buku itu jumlahnya sudah mencapai ribuan dan tak ada tanda-tanda dia akan berhenti melakukan itu. Mungkin karena itulah Anne merasa aman mengungkapkan isi hatinya menggunakan kode-kode yang hanya bisa dipahami oleh kami berdua. Mungkin karena itu juga aku tetap memanggil kedua orang tua angkatnya dengan sebutan Om dan Tante, dan merasa perlu minta ijin setiap kali akan masuk ke kamar ini; kamar yang dalam beberapa minggu ke depan mungkin akan digantikan oleh anak lain bernama Anne. Mungkin karena mengenal Anne yang seperti itulah, aku tahu aku tak bisa berhenti begitu saja.

Anne temanku.

Dia butuh keadilan.

Dunia harus tahu kebenaran dibalik kematian Anne, dan hanya aku yang bisa melakukan itu.

Karena hanya aku yang tersisa untuk Anne.

* * * * *

Jam menunjukkan pukul 20.27 saat aku membuka pintu gerbang rumah Anne dan melangkah keluar dari sana. Semula aku berencana untuk pulang lebih cepat. Namun gara-gara obrolan dengan Tante Hetih tadi, aku seolah disadarkan kalau tak banyak waktu tersisa untuk menyelidiki kematian Anne. Beberapa minggu atau mungkin beberapa hari lagi, Tante dan Om mungkin akan menemukan pengganti Anne. Kamar itu akan dikosongkan. Buku-buku milik Anne akan dibereskan dan setelah itu entah bagaimana kelanjutannya. Kalau aku tidak cepat-cepat, bisa jadi petunjuk yang seharusnya kutemukan malah keburu hilang. Itupun kalau ada petunjuk lain di sana.

Gara-gara itu, aku memaksakan diri untuk melanjutkan membongkar koleksi buku milik Anne. Setelah kira-kira membongkar sampai setengahnya dan memasukkannya ke dalam kardus, akhirnya aku menyerah dan memilih untuk pulang saja. Lagipula ini sudah terlalu malam dan besok aku masih harus sekolah.

Sambil menguap menahan kantuk, aku memesan ojek online. Tak berapa lama masuk chat dari pengemudi ojol.

Driver: Teh, saya masih agak jauh. Mau nunggu atau cancel aja?

Duh. Padahal aku pengin cepat pulang. Sebetulnya tadi Tante Hetih sudah menawarkan supir untuk mengantarku, tapi aku terlalu malu untuk menerima dan akhirnya memesan ojek online—yang ternyata posisinya masih agak jauh. Namun aku juga merasa tak enak hati untuk main cancel sembarangan. Sambil menahan kesal, aku membalas chat itu.

Me: Ok. Ditunggu.

Me: Titik jemput di portal aja ya.

Balasan dari pengemudi ojol itu datang tak lama kemudian.

Driver: Siap.

Setelah mendapat balasan, aku mulai melangkahkan kaki menuju portal terdekat yang jaraknya kira-kira 200 meter dari rumah Anne sambil memainkan ponsel. Awalnya semua terasa biasa saja hingga aku menyadari ada suara langkah kaki di belakangku. Pelan, sih, tapi cukup membuatku mengeryitkan kening. Aneh, padahal seingatku tadi tak ada siapapun. Pun rasanya tak ada suara pintu gerbang di buka.

Tenang, aku mencoba menenangkan diri. Ini kan perumahan. Wajar kalau ada orang lain yang juga berjalan di malam hari. Namun toh aku tak bisa menutupi rasa penasaranku. Instingku mengatakan kalau aku harus melihat ke belakang, dan itulah yang kulakukan.

Beberapa meter di belakangku ada sosok mengenakan jaket ber-capuchon warna abu-abu dan orang itu berjalan menunduk. Wajahnya nyaris tak terlihat karena capuchonnya ditarik menutupi kepala dan sepertinya dia mengenakan masker. Orang itu berjalan dengan langkah canggung dan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Sumpah, dilihat dari segi manapun, orang itu terlihat mencurigakan.

Ah, bukan apa-apa. Lagi-lagi aku mencoba menenangkan diri. Tenang. Cluster ini, kan, dijaga satpam. Harusnya semua aman. Namun toh tak bisa kupungkiri kalau aku merasa gugup. Saat kusadari, tahu-tahu aku sudah mempercepat langkah—bahkan nyaris berlari. Yang membuat jantungku mencelus, sosok itu juga ikut mempercepat langkahnya sehingga jarak di antara kami tak berubah. Begitupun saat aku menghentikan langkah, suara derap di belakangku pun ikut berhenti.

Angin dingin seolah menyapa tengkukku.

Bulu kudukku meremang, dan keringat dingin menetes di pelipisku.

Aku menelan ludah.

Seumur-umur pulang malam dari rumah Anne, baru sekarang aku merasakan perasaan tak aman seperti saat ini. Orang itu, siapapun dia, jelas sekali kalau dia membuntutiku. Apa dia penguntit?

Sambil kembali mempercepat langkah, aku memikirkan kemungkinan untuk berhenti dan mengkonfrontasi langsung orang itu, siapapun dia. Kalau perlu aku akan teriak sekencang-kencangnya! Namun sialnya, yang melintas di kepalaku justru momen saat Bianca memperingatkanku beberapa hari lalu.

"I warn you, Karen."

"Kamu ngeremehin aku kalau kamu pikir aku bakalan ninggalin jejak, apalagi bukti."

Jantungku kembali berdegup liar. Jangan-jangan.... Jangan-jangan, penguntit itu...

"Hei."

DEG.

Dia memanggilku!

Mulutku mendadak terkunci dan instingku yang kini mengambil alih. Panik, aku mulai berlari. Tujuanku hanya satu: mencapai portal secepatnya! Di portal ada pos satpam, jadi kurasa aku akan aman disana sambil menunggu ojek online menjemputku. Entah berapa lama aku berlari seperti di kejar setan, akhirnya portal itu terlihat juga.

"Tolong! Pak, tolong!" Aku langsung berteriak panik saat melihat pos satpam sudah ada di depan mata. Satpam yang kebetulan sedang berdiri diluar pos langsung bersikap siaga dan buru-buru menyambutku.

"Kenapa? Ada apa?" Tanyanya curiga sambil memegang pundak.

"To-tolong, Pak! A-ada yang ngejar saya!" Napasku terputus-putus saat mengatakan itu. Satpam pun celingukan.

"Mana?"

Eh?

Reflek aku menoleh ke belakang. Benar saja, di belakangku tak ada siapapun. Jalanan kompleks itu masih lenggang dan sepi. Jadi, tadi itu siapa?

"Mbak?"

Aku tak sempat menjawab karena keburu terduduk lemas. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku merinding sejadi-jadinya.

SUMPAH! Baru kali ini aku merasakan perasaan ini; perasaan tak aman saat berjalan sendirian di kompleks rumah Anne. Padahal ini kompleks dengan penjagaan yang cukup ketat. Apa yang terjadi kalau aku berjalan sendiri di tempat lain yang lebih sepi?

Semula kupikir masalah itu selesai sampai disana. Namun ternyata, aku salah besar. Setelah ojek online pesananku datang bermenit-menit kemudian, akhirnya aku bisa pulang juga. Begitu aku turun di depan rumah, Mama ternyata berdiri di pintu gerbang dengan wajah bingung sambil memegang sebuah paket.

"Ma? Kenapa?" Tak biasanya Mama ada di luar rumah jam segini. Kalaupun aku pulang malam, biasanya aku akan membuka dan mengunci pintu sendiri. Kecil kemungkinan beliau akan menungguiku.

Dengan wajah bingung, Mama menyodorkan paket yang ada di tangannya.

"Tadi ada orang naik motor ngelemparin ini," kata Mama. "Bunyinya gedebuk gitu, sampai-sampai Mama terpaksa ke luar rumah. Pas Mama lihat, ternyata ada paket dan itu buat Karen."

Aku menelengkan kepala. Bingung.

"Paket? Buat aku?"

"Liat aja sendiri," kali ini Mama menyerahkan bungkusan berwarna coklat itu padaku yang kuterima dengan wajah bingung. Seakan kejutan itu belum cukup, aku nyaris pingsan saat membaca notes di bagian ujung kanan paket itu.

TO: KAREN, FROM: ANNE. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top