Knot#6: "I Warn You"


Beasts only bared their teeth as a warning before they attack.
Emory R. Frie "Enchanted Forest"

AKU menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Mencoba merenungkan apakah langkah yang akan kulakukan ini sudah benar atau tidak. Namun, berapa kali pun aku mencoba menyangkal; berapa kali pun aku mencoba mencari alternatif lain, rasanya aku tak punya pilihan selain mengajak Cello bicara.

Duh, seandainya bisa memilih, sebetulnya aku malas berurusan dengan Cello. Bukan, bukannya aku benci dia. Aku hanya tidak terlalu menyukainya karena beberapa alasan, salah satunya karena Cello itu tipe orang yang terbiasadenganspotlight. Tipikal orang yang keberadaannya membuatku tak nyaman kalau berdekatan dalam radius kurang dari satu meter—saking kontrasnya perbedaan di antara kami.Tentunya itu hanya berlaku untuk situasi normal, tidak untuk momen khusus seperti saat dia memboncengku kemarin.

Cello memang termasuk salah satu spesies istimewa di sekolah kami.Dia tak hanya rutin masuk dalam jajaran murid terpintar, tapi juga dikenal sebagai salah satu penulis muda berbakat. Beberapa karyanya sudah tembus proyek antologi dari beberapa penerbit major. Tulisan-tulisannya di Wattpad pun sudah dibaca jutaan kali dan—menurut rumor—dua naskahnya sudah dilamar oleh salah satu penerbit terbesar di Indonesia. Tinggal tunggu waktu hingga buku solonya terbit dan itu jadi prestasi yang lumayan keren untuk remaja 16 tahun sepertinya. Tak heran tawaran beasiswa dari sekolah pun mengalir kencang walau—entah kenapa—dia selalu menolak itu.Dari ilustrasi itu saja, cukup jelas kalau kami betul-betul seperti bumi dan langit, kan?

Diam-diam aku melirik Cello yang terlihat tekun mencatat penjelasan dari Bu Sasa dan langsung mendengkus sebal. Sungguh, kalau bukan karena namanya disebut dalam kode Anne, aku lebih suka memilih mengabaikan keberadaannya. Bayangan kalau harus mengajak Cello ngobrol sukses membuat perutku melilit. Astaga, apa tak ada cara lain kah? Atau... Ah, mungkin aku bisa tanya via WA saja, pikirku, seketika merasa bangga dengan ide cemerlang itu. Toh Anne nggak bilang aku harus tanya langsung, iya kan?

Namun perasaan bangga itu tak bertahan lama saat menyadari kalau aku tak punya nomor WA Cello."Ampun deh!" Aku menepuk jidat. Untung saja dari gerakan itu berhasil kusamarkan jadi seperti mengusap wajah sehingga tak sampai menarik perhatian Bu Sasa. Sambil berpura-pura fokus memperhatikan pelajaran, aku kembali memikirkan cara lain untuk bertanya pada Cello. Opsi untuk mencolek via direct message Instagram pun terlintas, dan—hm, sepertinya itu ide bagus!

Diam-diam aku mengeluarkan ponsel untuk membuka aplikasi Instagram dan mulai mencari username Cello. Begitu ketemu, aku langsung mengklik tombol message dan bersiap untuk mengetikkan sesuatu. Namun.... Tunggu. Aku harus bilang apa?Masa aku harus bilang 'Hai, boleh tanya tentang Bianca'? Wuih, bisa-bisa aku dianggap gila!

Tepat saat aku tengah galau memikirkan isi DM Instagram untuk Cello, bel istirahat berbunyi—membuatku spontan memasukkan lagi ponsel ke dalam saku saking kagetnya. Rupanya aku sudah terlalu lama berpikir sampai-sampai tak sadar kalau pelajaran sudah berakhir. Selama beberapa waktu aku hanya duduk diam sambil memperhatikan teman-teman yang langsung menghambur ke luar,hingga akhirnyayang tersisa hanya tinggal aku dan beberapa murid saja—termasuk Cello.

Kesempatan!

Aku celingukan, memastikan kalau situasi aman terkendali. Setelah yakin, aku bergegas melompat dari bangku danberteriak memanggil Cello yang semakin dekat ke arah pintu.

"Cel! Cello! Tunggu!"

Sesaat Cello celingukan.Raut wajahnya terlihat kaget begitu tahu kalau aku yang memanggilnya. Oke, itu respon yang sangat wajar mengingat selama ini aku hampir selalu menghindarinya.

"Ya?" Mata hazelnutnya melebar saat melihat aku berhenti kira-kira satu meter dari tempatnya berdiri. Sejenak aku menatap cowok yang mungkin selisih tingginya terpaut 20 sentimeteran dariku itu sambil menimbang-nimbang apa yang harus kukatakan. Saat melihat alis wajahnya mulai saling bertaut, aku sadar kalau aku harus segera membuka pembicaraan.

"Ngg, anu—" gugup, aku menggigit bibir. Bingung harus mengatakan apa.

"What's up?" nada suara Cello mulai terdengar tak sabar dan itu membuatku jadi makin gelisah.

"Aku... Ada yang mau aku bicarain. Ada waktu?"Nekat, aku langsung main tembak saja. Semoga saja memang ini yang Anne mau, atau aku bakalan malu banget!

Walau terlihat masih bingung, Cello mengangkat pundaknya.

"Okay. Dimana? Disini?"

Aku baru akan menjawab pertanyaan itu saat kulihat raut wajah Cello tiba-tiba memucat. Pandangannya pun terpaku ke arah pintu. Penasaran, aku mengarahkan perhatianku ke arah yang dilihat oleh Cello, dan tiba-tiba saja jantungku seperti kehilangan detaknya selama beberapa detik.

Di pintu sudah ada Bianca yang berdiri anggun sambil menggerakkan sebelah tangan untuk menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Seperti biasa, raut wajahnya terlihat damai dan suci—tapi tidak dengan sorot matanya yang menatapku dan Cello dengan tatapan tajam.

"Wah, keliatannya obrolan kalian seru, nih," katanya tenang sambil berjalan mendekat ke arah Cello dan menggelayutkan tangannya di pundak cowok itu. "Sayangnya aku ada perlu sama Karen. Aku pinjam Karen dulu ya, Cel," katanya sambil mengerling ke arah Ellen dan Tata yang sejak tadi berdiri di belakang Bianca. Teman sekelasku sekaligus pengiring setia Bianca itu pun mengangguk dan mereka berjalan mendekatiku yang tiba-tiba merasa kehilangan seluruh tenagaku.

Inilah alasan lain kenapa aku malas berurusan dengan Cello. Walau dia populer, walau dia punya banyak fans; tak ada cewek yang cukup gila untuk mengusikataupun meladeni Leonel Marcelloselama cowok itu masih berstatus sebagai pacar Bianca—kecuali kalau mereka mau berurusan dengan Bianca.

Anne sudah membuktikannya, dan itu jadi alasan lain kenapa aku tak menyukaiCello.

***

Dari sekian banyak ruangan di sekolah kami, ruang milik Ketua Yayasan termasuk salah satu yang paling istimewa. Kalau dalam dunia game, tempat ini mungkin selevel dengan ruangan milik raja terakhir. Hanya orang-orang tertentu yang punyaprivilegemasuk ke ruangan tersebut, dan itu berarti murid biasa sepertiku harus puas dengan membayangkannya saja.

Siang ini rasa penasaranku terjawab tuntas. Sayangnya itu sama sekali tak membuatku senang. Wajar saja. Walau kini aku duduk di sofa kulit yang mewah, di sebelahku ada Tabitha Gretania—Tata—kapten tim basket putri yang sengaja duduk sambil mengambil posisi mengawasiku. Bianca duduk anggun di kursi yang ada di depanku dengan sebelah kaki dilipat di atas kaki lainnya. Ellen sedang menyeduh teh di pantry mini yang ada di pojok ruangan, dan dua anggota genk Silver Girl lainnya—seingatku mereka bernama Chacha dan Genie—berjaga di depan pintu. Sungguh sebuah suasana yang jauh dari kata menyenangkan.

Sudah lima menit berlalu sejak Bianca mempersilakanku duduk dan meminta Inggrid Elleanora—maksudku, Ellen—membuatkan teh. Selama itu pula belum ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, pun dengan Tata dan Ellen yang sama-sama membisu. Bianca masih saja asyik dengan ponselnya. Sesekali tangannya bergerak untuk menyelipkan rambut ke belakang telinga, dan ujung bibirnya kadang sedikit terangkat naik seiring dengan perubahan ekspresi wajahnya—membuat intensitas ketegangan terasa semakin mengental.

Tak tahan, aku mencoba untuk bersuara.

"Anu—" Kata-kataku terhenti saat Bianca melambaikan tangan, memberi isyarat supaya aku berhenti bicara. Refleks aku menutup mulut dan keheningan ganjil di ruangan ini pun kembali hadir. Aku menelan ludah dan kurasa keringat dingin mulai menetes di pelipisku.

Suasana sedikit mencair saat Ellendatang membawa nampan berisi empat cangkir teh. Cewek yang jelas-jelas mencoba jadi duplikat penampilan Bianca itu mulai membagikan cangkir-cangkir itu—pertama untuk Bianca, kemudian Tata, dirinya, dan aku yang terakhir. Setelah seluruh cangkir tersaji di atas meja, Ellen meletakkan nampan di kaki meja dan duduk di sisi kanan untuk mengapitku. Diam-diam aku mengeluh. Fix, kecil kemungkinan aku bisa kabur dari ruangan ini dengan damai!

"Silakan," Bianca menggerakkan tangannya, mempersilakan aku untuk meminum tehku tepat saat aku tengah bertanya-tanya apa mungkin ada sesuatu dalam teh itu. "Teh buatan Ellen selalu enak lho," puji Bianca yang disambut dengan senyuman cemerlang Ellen, "dan enggak ada sianidanya kok," tambahnya sambil melirikku yang terlihat masih ragu. Gugup, aku buru-buru mengangkat cangkir dan mendekatkannya ke bibir. Aroma Earl Grey pun menyapa indera penciumanku dan sesaat aku menghirup aroma yang menenangkan itu sebelum menyeruput cairan merah kehitaman itu. Ternyata benar, tehnya enak sekali. Entah karena Ellen memang pandai membuatnya, atau karena bahan tehnya yang memang berkualitas tinggi.

"Maksudku, belum ada sianidanya," kelanjutan kata-kata Bianca itu seketika membuatku terbatuk-batuk.Akupun segera meletakkan cangkir dengan kasar hingga airnya sedikit memerciki tatakan gelas. Sepertinya aku terlihat cukup ketakutan karena Bianca kembali memamerkan senyum bidadarinya. "Cuma bercanda, kok, Ren. Jangan terlalu diambil hati." Sayangnya ucapan itu tidak membuatku tenang. Sebaliknya, aku justru jadi makin merasa terintimidasi dan perutku makin melilit. Bianca tak mungkin memanggilku ke sini hanya untuk memintaku minum teh. Masalahnya, kenapa? Ada apa?

"Sori, Ca," aku kembali memberanikan diri untuk bertanya. "Ini... Kenapa kita disini?" Pertanyaan aneh! Seketika aku memaki diriku sendiri dalam hati. Apa boleh buat, saat ini hanya itulah yang terlintas di kepalaku.

Pertanyaanku itu sepertinya membuat mood Bianca berubah drastis. Oke, ekspresi damai dan lembut itu memang masih menghiasi wajahnya. Namun Bianca kini menegakkan posisi duduk dan tatapan matanya tertuju langsung padaku. Dia bahkan berhenti menyeruput tehnya dan meletakkan cangkir itu ke meja. Setelah jeda selama beberapa detik, Bianca akhirnya bersuara.

"Aku dengar akhir-akhir ini ada yang cukup dekat dengan Cello," nada suaranya terdengar tenang. "Kabarnya, selama aku di Singapore, kalian juga beberapa kali ngobrol. Benar itu, Ren?"

Eh? Aku mengerjapkan mata. Aku? Beberapa kali ngobrol dengan Cello saat Bianca di Singapura? Oh! Apa maksudnya saat hari pertama aku masuk sekolah lagi, ya?

"I-itu—" aku tergeragap. Panik. "Itu enggak benar! Cello cuma nyapa aja! Cuma sekali itu!"

Kontras denganku yang mendadak panik, Bianca justru terlihat makin tenang—dan dingin.

"Oya? Kalau soal diboncengin ke rumah, menurutmu gimana?"

DEG.

Lututku mendadak lemas. Sebetulnya aku sudah menduga Bianca akan tahu tentang hal itu. Hei, kejadian itu terjadi di depan sekolah dan dilihat banyak orang! Namun tetap saja ada perasaan gugup, walau sebetulnya—kalau dipikir dengan logika—aku tak harus merasa bersalah. Toh sudah mencoba menolak Cello, ya kan? Namun, siapa yang bisa berpikir jernih saat Bianca menatapmu seperti itu? Apalagi kini Tata dan Ellen juga ikut melempar tatapan yang tak kalah tajamnya, membuatku merasa seperti seekor tikus yang tengah dikerumuni oleh kucing-kucing kelaparan.

"Itu... Kakiku..." aku menahan diri agar kata-kata 'kakiku luka gara-gara diserempet kamu' supaya tidak meluncur keluar—kecuali kalau aku memang sudah bosan hidup.

"Wah, ada yang udah berani main-main sama Cello, ya," suara Ellen membuat setetes keringat resmi mengalir hingga pipiku. Cewek itu bahkan mencoba meniru cara Bianca menatapku. Untung saja dia tak punya aura seperti Bianca sehingga tatapannya hanya terasa seperti tatapan tajam biasa. "Kira-kira dia perlu diapain nih, Ca?"

"Kasih tau aja lo mau dia diapain, Bi," kali ini Tata yang memecah keheningan. "Mau yang ninggalin jejak atau nggak, lo tinggal bilang."

"Mungkin kita bisa mulai dengan mengubah model rambutnya? Kuno banget, diikat kucir kuda kayak gitu!" Tangan Ellen bergerak meraih ujung rambutku. Untung saja, sebelum aku makin lemas karena ngeri, Bianca mengangkat tangannya. Kedua pengikutnya itu pun segera berhenti bicara.Ellen bahkan menjauhkan tangannya dari rambutku dan ganti membelai rambutnya sendiri yang dipotong dengan model mirip punya Bianca.

"Santai, teman-teman," katanya anggun. Dia kembali mengambil cangkir teh dan menyeruputnya. "Hari ini aku cuma mau kasih peringatan aja sama Karen, kok." Hanya perlu waktu sepersekian detik saja untuk aura tenangnya berubah jadi, ugh, mengerikan. "Hati-hati," ucapnya singkat."Jaga sikap, ya, Ren. Jangan sampai nasib kamu sama kayak Anne."

JLEB.

Seketika mataku membulat. Jantungku terasa berhenti berdetak. Bulu kudukku meremang.

Tunggu.

Itu... maksudnya apa?!

***

Jangan sampai nasib kamu sama kayak Anne.

Aku tak bisa berhenti memikirkan kata-kata itu sekalipun sudah keluar dari ruangan. Sebetulnya tadi aku ingin menanyakan apa maksud Bianca dan kenapa dia mengatakan itu. Sayangnya Bianca sudah keburu menutup sesi intimidasi—maksudku, sesi obrolan tadi dengan sebuah gerakan tangan seperti mengusir, dan Tata langsung menarikku untuk berdiri dengan sebuah hentakan kasar. Aku tak punya pilihan selain buru-buru keluar dari ruangan karena Ellen sudah membukakan pintu, dan langsung menutupnya begitu aku sudah berada di luar.

Selama beberapa waktu aku membeku. Otakku masih mencoba mencerna kata-kata Bianca. Apa Bianca tadi... mengancamku? Namun, apa maksudnya dengan 'nasib kamu sama kayak Anne'? Apa itu berarti 'jangan sampai kamu dirisak seperti Anne', atau—

Bayangan saat Anne mengirim kode SOS dengan wajah gelisah terbayang kembali di benakku, disusul dengan penyebutan nama Bianca dalam kode di buku Empat Besar. Reflek aku menggeleng keras. Enggak! Terlalu prematur kalau ambil kesimpulan ke arah sana! Aku udah janji akan ngumpulin bukti lainnya sebelum—

"Heh, lo mau sampai kapan disana?" Suara galak itu membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget. Saat itulah aku baru sadar kalau masih berada di depan ruang Ketua Yayasan, dengan Genie dan Chacha yang masih berdiri di depan ruangan. Genie, cewek berpostur tinggi besar yang tadi membentakku, kini mengeluarkan tatapan judes. "Masih betah disini? Atau perlu gue anterin ke kelas lo?"

Ancaman itu melengkapi kengerianku siang ini. Seketika aku menggeleng panik dan langsung berlari ke koridor yang ada di sebelah kanan ruang Ketua Yayasan, dan berbelok ke koridor lain. Sial, karena gugup, rupanya aku salah mengambil belokan dan berakhir di koridor buntu.

"Argh! Mati aku!" keluhku frustrasi. Sekolah kami memang menempati bangunan yang sudah dibangun sejak jaman penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sekolah ini memiliki koridor-koridor panjang, beberapa diantaranya berujung di sebuah ruangan—atau buntu begitu saja karena jalan tembusnya sudah ditutup oleh sesuatu. Aku menggaruk kepala. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain selain kembali ke jalan semula, dan itu berarti aku harus kembali melewati ruang Ketua Yayasan. Semoga saja Bianca dan genk sosialita lokalnya itu sudah kembali ke ruang kelas!

Beberapa langkah mendekati pintu ruangan itu, aku menarik napas lega karena Genie dan Chacha sudah tak ada di tempatnya. Bagus! Pikirku senang. Namun kesenanganku tak bertahan lama karena pintu ruangan itu kemudian dibuka, dan terdengarlah suara ribut dari dalam sana.

"Sumpah! Karen nggak ada hubungannya sama ini!" Itu suara Cello. "Kemarin aku anterin dia karena—"

"Setop!" Kali ini terdengar suara Bianca menyela kata-kata Cello. "Kamu belain dia, Cel? Kamu. Belain. Dia. Iya? Keluar!"

"Enggak, Ca... Aku cuma—"

"Dulu kamu belain Anne, dan sekarang kamu belain temannya? Luar biasa, ya!" Dingin, suara Bianca membuat bulu kudukku meremang dengan sempurna. Jantungku nyaris merosot hingga ke lutut saat melihat Cello berjalan mundur keluar dari ruangan itu, menjauhi Bianca yang terus berjalan mendekatinya dan—SIAL! Mereka melihatku!

Selama beberapa waktu Bianca dan Cello menatapku dengan pandangan yang berbeda. Jika Cello terlihat shock melihat kehadiranku, Bianca sebaliknya. Cewek itu kini kehilangan aura malaikatnya. Wajahnya tak lagi terlihat damai, dan senyum bidadari menghilang dari bibir warna bersaput warna peach itu. Sorot matanya pun terlihat lebih dingin dari sebelumnya, serasi dengan kata-kata yang dia ucapkan setelah itu.

"I warn you, Karen," desisnya kaku, sebelum berbalik masuk ke ruang Ketua Yayasan dan membanting pintunya dengan keras. Tanpa bisa dicegah, aku langsung jatuh terduduk lemas dengan posisi kaki tertekuk. Detik itulah aku menyadari sebuah kenyataan baru: setelah hari ini, kehidupan sekolahku mungkin tak lagi sama seperti sebelumnya. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top