Knot#4: Suicide Knot

I'm a queen bee, buzzin round your hive

When you hear me buzzin, you better come inside

"Queen Bee" – Koko Taylor


"DATANG! Dia datang!" Alvon yang sejak tadi berdiri di dekat pintu tiba-tiba berteriak. Seketika suasana kelas berubah jadi riuh.

"Cepet siapin confetti-nya!"

"Gaes, ayo berdiri!" Jamie sang ketua kelas mengomando murid-murid di kelas untuk berdiri dari tempat duduknya. Dia bahkan sengaja memelototi aku yang masih duduk dan pura-pura tak mendengar perintahnya. Semula aku berniat untuk mengabaikannya. Namun melihat beberapa pasang mata lainnya ikut memelototiku, dengan enggan aku berdiri dan terpaksa ikut terjerumus dalam acara-paling-tidak-penting-pagi-ini.

Lima detik kemudian, seorang cewek seusiaku memasuki ruang kelas dengan langkah anggun diiringi oleh dua orang dayang setianya. Rambut panjang indahnya—seperti biasa—dibiarkan tergerai melambai dan berayun seirama gerak tubuhnya yang teratur akibat latihan modelling yang dia lakukan sejak kecil. Roknya yang lima sentimeter lebih pendek dari standar rok seharusnya itu memamerkan kaki jenjang berlapis stocking hitam, membuat penampilan keseluruhannya terlihat begitu modis sekaligus anggun dan elegan; seolah dia berasal dari kasta yang berbeda dengan rakyat jelata lainnya di kelas ini.

"Congratsss!" Teriakan yang diiringi dengan letupan confetti itu mengejutkan cewek yang baru beberapa langkah memasuki ruang kelas. Selama beberapa waktu wajah bersaput makeup-no makeup itu memasang ekspresi terkejut—serasi dengan kedua pengiringnya yang sepertinya sama-sama clueless.

"Selamat udah jadi juara satu di Urban Thriller Competition, Ca!" Jamie secara khusus menyalami Bianca, nama cewek itu. Bak dikomando, beberapa murid lain juga ikut mengerumuni Bianca yang terlihat menikmati rasanya berada dibawah spotlight. Terbukti dari senyum cerah merekah menghiasi wajah dengan aura kelembutan seperti orang suci itu.

"Semoga novelnya cepat terbit, laris manis dan jadi best seller ya!" seru Alvon yang segera diamini oleh teman-teman lainnya.

"Ca, kapan mulai buka PO novelnya? Aku mau novel bertanda tangan dan cap bibir ya!"

"Kalau difilemin, inget sama gue, Ca!"

"Bianca emang selalu bikin bangga sekolah ini!"

Dari tempatku berdiri saat ini bisa kulihat betapa banyaknya pandangan memuja dari teman-teman sekelas yang tiba-tiba saja berubah jadi fanboy dan fangirl Bianca. Tak cukup sampai disana, mereka pun menghujani Bianca dengan berbagai puja puji yang membuat telingaku sakit. Mungkin saat ini hanya aku saja yang tidak ikut larut dalam pemujaan terhadap Bianca, tapi toh aku tak peduli. Pikiranku masih dipenuhi dengan surat dari Anne yang kutemukan kemarin.

Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang bergetar. Beberapa bagiannya sedikit luntur karena terkena tetesan air. Tak bisa dihindari, aku jadi membayangkan Anne menulis surat itu sambil menangis. Spontan aku memejamkan mata, dan baris-baris dalam surat Anne yang kini tersimpan rapi di dalam tasku terbayang kembali di benakku.

Karen,

Mungkin waktu kamu baca surat ini aku udah nggak bareng kamu. Jujur sebenarnya aku bingung, kenapa nulis ini. Gara-gara kebanyakan baca novel misteri kali, ya? Harusnya aku ngikutin saranmu buat baca novel romance aja, tapi...nggak tahu kenapa aku ngerasa waktuku nggak lama lagi. Rumit untuk dijelasin, tapi kamu pasti ngerti maksudku, kan? Suasana di sekolah makin nggak asyik, apalagi sejak peristiwa itu. Diam atau pura-pura kuat di depan mereka ternyata nggak cukup. Hukuman dari mereka makin mengerikan, aku nggak yakin masih kuat ngehadapinnya, dan.... Kurasa yang terburuk masih belum datang, makanya aku ngerasa perlu siap-siap, entah apa pun itu. Mudah-mudahan aku salah, tapi seandainya benar, semoga kamu akan selalu ingat janji kita: sahabat selamanya sampai mati.

Love,

Anne

Peristiwa itu.

Mereka.

Hukuman dari mereka.

Kata-kata dalam surat Anne itu membuat rasa bersalahku tumbuh liar tak terkendali. Anne memang bukan tipe sahabat yang selalu mencurahkan seluruh isi hatinya secara langsung. Saat dia betul-betul down, dia lebih suka menghilang sejenak atau menuliskan semuanya—lalu membakarnya hingga tak bersisa. Namun tetap saja, sebagai teman terdekatnya, harusnya aku waspada kalau masalah yang merundung Anne sejak di penghujung kelas X itu suatu saat akan membuat ketegarannya runtuh—walau sampai detik ini aku tak pernah sanggup membayangkan Anne akan bunuh diri.

Harusnya aku menyadari itu.

"Kamu nggak ngucapin selamat buat aku, Ren?" Aroma Sakura tiba-tiba menyapa indera penciumanku. Saat membuka mata, ternyata Bianca sudah berjarak beberapa langkah di depanku. Raut wajahnya yang lembut dan terkesan suci itu menatapku dengan tatapan mata penuh arti yang membuatku seketika berkeringat dingin. Tengkukku meremang saat menyadari kalau teman-teman lain di kelas juga ikut menatapku. Tiba-tiba saja spotlight berpindah padaku dan, OMG, aku tak siap untuk ini!

Reflek, aku melangkah mundur seiring dengan mendekatnya Bianca ke arahku. Pada langkah kedua, tangan kananku membentur meja yang ada dibelakang mejaku. Melalui sudut mata, terlihatlah vas berisi lili putih dan meja kosong yang sudah lebih dari seminggu ini ditinggalkan oleh pemiliknya.

"Kenapa, Ren? Atau mungkin kamu pengin ngomong sesuatu?" tanya Bianca, yang herannya diucapkan dengan nada tenang, tapi penuh intimidasi terselubung. Apalagi sorot matanya kini semakin tajam menatapku dan ketegangan di ruang kelas ini mendadak meningkat secara intens. Aku kembali melirik meja Anne yang kosong. Sadar kalau kini sendirian, aku menggigit bibir. Sepertinya tak ada pilihan selain menyerah. Setidaknya untuk saat ini.

"Se-selamat. Semoga, eh, semoga cepat terbit... ya?" Suaraku terdengar sangat terbata-bata dan jelas sekali kalau diucapkan dengan nada tidak ikhlas. Namun sepertinya itu membuat Bianca cukup puas karena dia kini kembali menyunggingkan senyum damai yang langsung membuat ekspresi wajahnya kembali seperti orang suci.

"Terima kasih," anggun, dia membalikkan badan sambil membuat gerakan tangan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga dan melangkah tenang ke bangkunya; meninggalkan aku yang nyaris terduduk lemas. Seakan belum cukup, jantungku terasa merosot hingga ke lutut saat melihat Bianca tengah bicara serius dengan Ellen, salah seorang dayang pengiringnya, dan tiba-tiba saja dia sudah melirik ke arahku dengan tatapan yang sulit untuk kuterjemahkan.

Diam-diam aku memaki diriku sendiri yang tak bisa terlihat lebih tegar dari ini. Namun, memangnya siapa yang bisa melawan Bianca Grace Paloma? Dia tak hanya dikenal sebagai seorang novelis muda yang mulai mencuri perhatian publik. Dia juga putri tunggal ketua Yayasan Paloma Bhakti Persada yang mengelola sekolah ini; ketua genk Silver Girl yang beranggotakan lima cewek paling disegani di sekolah ini—

—sekaligus orang yang setahun ini menjadi dalang mimpi buruk dalam kehidupan sekolah Anne.

* * *

Seingatku, gesekan antara Anne dan Bianca berawal dari kemenangan Anne di sebuah kompetisi novel bergengsi setahun lalu yang membuat nama Anne jadi pembicaraan di sekolah. Maklum, sekolah kami memang memberikan perhatian lebih pada mereka yang menonjol dalam bidang karya tulis, baik fiksi maupun non-fiksi. Gara-gara beberapa penulis besar di Indonesia—entah kebetulan atau bukan—ternyata merupakan alumni sekolah ini, pihak yayasan merasa perlu meneruskan tradisi dengan memberikan apresiasi dan dukungan pada calon penulis dan penulis muda. Selain memiliki beberapa klub sastra dan klub buku terbaik di Bandung, siapapun yang berprestasi akan diliput di berbagai media milik yayasan dan berkesempatan mendapat beasiswa. Itulah yang membuat Anne bersemangat masuk ke sini dan, yeah, disinilah kami sekarang.

Kemenangan Anne terasa makin lengkap setelah Bianca—yang meraih juara dua pada kompetisi yang sama—mendatangi kelas kami khusus untuk menyapa Anne dan memberikan selamat. Hey, memangnya siapa yang tidak berharap bisa mengobrol dengan Bianca, cewek paling populer di SMA Bakti Paloma. Namun kebahagiaan itu berubah jadi mimpi buruk setelah kami menyadari kalau Bianca tak pernah suka jadi nomor dua. Nona besar calon pewaris Yayasan Paloma Bhakti Persada ini takkan mengijinkan ada orang lain yang berjalan di depannya. Sejak itulah perlahan tapi pasti kehidupan sekolah Anne diwarnai drama teror hingga pengabaian. Drama itu semakin lengkap setelah kami naik kelas XI dan 'kebetulan' sekelas dengan beberapa anggota Silver Girl—termasuk Bianca, yang perlahan mulai menunjukkan sisi lain dibalik aura tenangnya yang terlihat suci.

Semua potongan informasi itu bermain dalam benakku sejak pagi tadi hingga waktu pulang sekolah tiba. Sambil melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah dan menyusuri jalan untuk mencapai jalur yang dilalui rute angkot menuju rumah, aku terus memikirkan surat terakhir dari Anne. Walau tak menyebut nama secara pasti, aku cukup yakin kalau surat itu menyinggung tentang Bianca dan genk sosialita lokalnya itu. Namun, apa yang harus kulakukan setelah ini? Oke, aku bisa saja menyerahkan surat ini pada polisi dan membiarkan masalah ini jadi urusan mereka. Hanya saja, rasanya ada simpul yang belum terurai. Aku juga tak yakin itu yang diinginkan oleh Anne. Kalau memang hanya begitu, harusnya Anne bisa mengirimkan surat itu langsung pada pihak yang berwenang, bukan? Selain itu, ada pertanyaan yang belum terjawab dan—

DUGGG!

"ADUH!"

Tiba-tiba saja aku terpelanting dan jatuh terbanting ke sisi kiri. Sepertinya mobil Alphard hitam yang barusan lewat melaju terlalu dekat hingga spionnya membentur lenganku dengan cukup keras. Aku tersuruk dengan pergelangan kaki sedikit memuntir, sementara sebelah tangan spontan menopang tubuh; membuatku langsung meringis nyeri karena mendarat di bagian yang berkerikil.

"Hei! Saki—" Kata-kataku terhenti saat menyadari kalau di bagian belakang mobil Alphard hitam itu berhiaskan lambang Yayasan Paloma Bhakti Persada. Tak salah lagi, itu mobil milik Bianca.

"Bianca?" desisku tak percaya. Apa aku tadi melamun dan berjalan agak ke tengah, atau—tunggu dulu... Jantungku mendadak berdegup kencang saat menyadari kalau murid-murid lain yang ada disekitarku hanya melihat saja. Tak ada satupun yang bergerak untuk menolong. Tiba-tiba aku menggigit bibir. Sebuah pikiran buruk mendadak melintas di benakku dan itu membuatku menelan ludah. Apa... Apa Bianca sengaja melakukan itu? Tapi kenapa?

"Karen!"

Suara panggilan itu mengejutkanku. Rupanya sumber suara itu adalah Cello, yang kini berlari dari gerbang sekolah langsung menuju ke arahku.

"Hey, are you okay?" Cello mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Aku kembali meringis karena kakiku terasa ngilu. Sepertinya aku terkilir saat jatuh tadi.

"Ada yang sakit? Kaki atau tangan?" tanya Cello lagi. Ekspresi wajahnya langsung berubah cemas saat melihat telapak tangan dan lututku berdarah. Akupun tak bisa berdiri tegak karena kaki kiriku mulai terasa berdenyut. "Whoaa! Terkilir juga, ya? Yuk, kita ke UKS, trus aku antar pulang!"

Tawaran itu membuatku melotot ngeri.

"Ng-nggak usah, Cel! Aku naik angkot aja—"

"Oh, c'mon!" Nada suara Cello terdengar tak sabar. Cowok itu kini bahkan berdecak jengkel. "Oke, fine. Nggak usah ke UKS. Tapi aku anterin pulang, okay? Nggak pake ngobrol, nggak pake mampir. Janji! Bentar, ambil motor dulu!" Tanpa memedulikan ekspresi protesku, Cello langsung berlari kembali masuk ke dalam area sekolah. Tak sampai satu menit kemudian dia sudah berada di atas motor Ninja-nya dan berhenti tepat didepanku. Aku mengembuskan napas panjang dan diam-diam mengeluh dalam hati. Astaga, lengkap sudah kesialanku hari ini. Namun...

Sejenak aku melirik tangan dan kaki yang berdarah dan sebelah kaki yang masih ngilu. Dengan kondisi seperti ini, bayangan kalau bisa pulang cepat dan mengurung diri dalam kamar terasa sangat menggoda.

"Yuk!"

Aku mendesah jengkel. Sepertinya tak ada pilihan lain, apalagi kini Cello sengaja membantuku naik ke motornya. Apa boleh buat, akupun tertatih naik ke motor Cello dan berharap bisa sampai ke rumah detik ini juga.

* * *

Cello menepati janjinya. Selama kurang lebih 10 menit perjalanan menggunakan motor dari sekolah hingga sampai ke rumahku di kawasan Ciumbuleuit, cowok itu sama sekali tak mengajakku ngobrol. Setelah menurunkanku di depan pagar, dia baru bersuara saat aku mengembalikan helmnya.

"Makasih," jawabku; singkat, padat, dan setengah kaku.

"Ren..."

"Hei!" tukasku cepat sebelum ada peluang untuk membuat obrolan ini jadi lebih panjang dari seharusnya.

Cello mendengus. Sepertinya dia sadar kalau aku tengah mengingatkan dirinya akan janjinya untuk tidak ngobrol dan tidak mampir karena raut wajahnya kini terlihat jengkel. Namun aku tak peduli. Aku hanya tak mau terlibat drama lebih dari ini. Itu saja.

"I know," dengusnya pendek. "Aku cuma mau bilang—" Dia menghentikan kata-katanya setelah melihat aku memasang ekspresi tak peduli. Cowok itu lantas membuka helm dan menggaruk kepala sebelum mengusap wajahnya. "Oke, aku cuma mau bilang kalau... I feel sorry about Anne," katanya. Nada suaranya terdengar sungguh-sungguh. "Tapi kamu harus tahu bukan kamu aja yang ngerasa kehilangan, Ren, dan..."

"Ada lagi?" Sungguh, moodku hari ini sedang sangat buruk dan aku enggan berbasa-basi lebih dari ini. Cello berdecak sebal. Namun toh dia melanjutkan kata-katanya.

"Aku cuma mau bilang, Anne itu orang hebat. Dia punya banyak mimpi besar, dan sampai sekarang aku nggak percaya kalau dia bunuh diri. Itu aja."

Sampai sekarang aku nggak percaya kalau dia bunuh diri.

Kata-kata Cello itu terus terngiang di telingaku sekalipun dia sudah menaiki motornya dan menghilang di balik tikungan. Selama beberapa waktu aku terdiam dengan perasaan campur aduk. Akhirnya... Akhirnya bukan aku saja yang tak percaya kalau Anne bunuh diri. Sekalipun banyak yang menganggapnya suram, Anne yang kukenal memang punya banyak mimpi besar dan kemauan kuat untuk mencapai mimpi-mimpinya. Rencana masa depannya pun sudah tersusun rapi. Dia sudah berencana akan mengambil jurusan Kriminologi saat kuliah nanti sambil mencari beasiswa ke luar negeri. Dalam waktu dekat Anne akan mengikuti sebuah workshop menulis di Jakarta dan—

Tunggu sebentar.

Tiba-tiba saja penggalan kata-kata dalam surat Anne terbayang kembali dalam benakku.

Peristiwa itu.

Mereka.

Hukuman dari mereka.

Kata-kata Cello barusan seolah melengkapi kerumitan simpul kematian Anne yang sudah kurasakan beberapa hari ini. Benar kata Cello, Anne punya banyak mimpi besar. Apa mungkin orang seperti itu akan bunuh diri?

"...nggak tahu kenapa aku ngerasa waktuku nggak lama lagi."

"Kurasa yang terburuk masih belum datang, makanya aku ngerasa perlu siap-siap..."

Penggalan lain dalam surat Anne menyalakan sebuah alarm peringatan baru dalam dadaku. Napasku menderu dan debar jantungku seketika meningkat tajam. Ya. YA! Simpul inilah yang masih belum bisa kupahami. Apa Anne bunuh diri karena tak tahan dirisak oleh Bianca dan teman-temannya, atau—

Wajah Anne yang sesekali menoleh ke arah lainsaat rekaman live-nya tiba-tibamelintas lagi, bercampur dengan kode SOS rahasia milik kami. Apalagi aku baruingat kalau Anne sempat keluar sebentar sebelum kembali ke ruangan denganlangkah terseok. Menyadari hal itu, mataku membulat. Tengkukku meremang memikirkansebuah kemungkinan lain. Jangan-jangan—sebetulnya Anne tak pernah bunuh diri?    []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top