Knot#3: Our Code
You can count on me like one, two, three... I'll be there
And I know when I need it I can count on you...
"Count on Me" – Bruno Mars
BANDUNG, empat tahun silam.
Aku berjongkok lemas—bahkan nyaris jatuh terduduk di lantai toilet sayap barat SMP Arkatama Jaya. Suaraku hampir habis karena capek berteriak, sementara tanganku terasa kebas karena terlalu lama menggedor-gedor pintu toilet. Namun, sekeras apapun usahaku, tak ada yang merespon. Apalagi menolongku.
"Sialan!" umpatku frustasi. Air mataku kembali meleleh tapi buru-buru kuhapus. Bukan, aku bukan meributkan bau pesing yang menjadi parfum alami toilet yang paling jarang digunakan di sekolah ini. Aku juga bukannya takut akan higienitas kamar mandi yang—sudahlah, lebih baik tidak usah dibahas. Yang aku takutkan, aku akan terkurung disini sampai jam sekolah besok. Kalau sampai itu terjadi, entah bagaimana wujudku nanti setelah melewatkan lebih dari 12 jam dalam kamar mandi bau, sempit, kotor, dan—OMG, kecoak!
"TOLONG!" aku kembali melolong, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Aku benci kecoak! Bahkan level kebenciannya jauh lebih parah dibanding kebencianku pada Kak Raya dan genknya yang sudah mengurungku disini. Tanganku kembali meraba saku rok, berharap kalau Kak Raya tidak benar-benar mengambil ponselku. Namun deringponsel yang ada di luar pintu toilet membuatku sadar kalau Kak Raya memang sengaja meledekku dengan mengambil ponsel dan meletakkannya di tempat yang dekat-tapi-tidak terjangkau olehku. Argh!
Tepat saat aku tengah mengutuk Kak Raya dalam hati, kecoak sialan itu terbang dengan kecepatan penuh.
"AAA!"
Aku menjerit histeris. Panik, aku kembali mengamuk memukul-mukul pintu; berharap di saat terdesak ini kekuatan terpendamku akan bangkit—itupun kalau ada—dan bisa menghancurkan pintu itu. Jantungku terasa copot saat terdengar suara gedoran dari arah luar, seolah pintu itu membalas semua pukulanku tadi.
"Ren? Karen?"
Anne!
"Neee, tolong!" teriakku ketakutan karena kecoak itu kembali terbang melintas di dekatku.
"Iyaa... Sabar! Bentar, agak susah nih!" Setelah itu terdengar suara berisik dari balik pintu dan beberapa menit kemudian akhirnya pintu toilet itupun berhasil dibuka lebar.
"Gila, susah banget!" seru Anne jengkel sambil melemparkan tongkat yang dia pegang ke sudut toilet. "Kenop pintunya diganjal sama tongkat trus diikat tali, trus...." Anne tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena aku keburu menghambur ke pelukannya sambil menangis heboh. Untunglah Anne cukup pengertian. Dia tak bertanya, tidak mengajakku buru-buru pergi dari toilet bau itu, dan juga tak mengatakan apapun. Dia hanya memelukku. Itu saja.
* * *
"Udah dong, Ren, jangan mewek terus!" Anne menyodorkan tisu kelima yang langsung aku sambar dan gunakan untuk mengelap air mata yang masih terus merembes keluar. "Kak Raya pasti seneng banget kalau ngeliat kamu kayak gini. Tandanya dia menang, Ren!"
"Ke-kecoak..." aku tergeragap. Bulu kudukku meremang saat mengingat mahluk hitam menjijikkan yang sempat satu ruangan denganku. "Ta-tadi ada kecoak..."
Mendengar aku menyebut kecoak, Anne langsung meringis, memberikan senyuman prihatin, dan tak berkata apa-apa lagi. Dia sangat tahu seberapa bencinya aku pada mahluk itu. Selang beberapa waktu kemudian setelah aku jauh lebih tenang, barulah Anne kembali menyuarakan sesuatu.
"Ngomong-ngomong, jadi tadi kamu dikurung cuma gara-gara kebetulan pakai ikat rambut yang sama dengan Kak Raya?" Anne membelalakkan matanya. "Serius?"
"Humm," kali ini aku memastikan air mataku betul-betul sudah kering. Benar kata Anne, jangan sampai Kak Raya merasa menang kalau dia melihatku menangis—sekalipun alasannya karena kecoak. "Kayaknya itu alasan aja, sih," lanjutku sembari merapikan ikatan rambut yang berantakan karena karetnya sempat direnggut paksa oleh Kak Raya. "Kamu tahu, kan, kalau mereka—Kak Raya dan genknya—emang suka banget ngerjain kita?" Dari sudut mataku, kulihat Anne mendesah panjang.
"Iya..." gumamnya sebal. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan yang amat sangat. "Kenapa, ya? Alasannya macem-macem pula. Rok kepanjangan, lah. Rok udah dipendekin, katanya kependekan, lah. Kaos kaki tinggi sebelah juga jadi alasan. Sekarang gara-gara ikat rambut yang sama. Trus mereka licik banget, selalu ngerjain kita sendiri-sendiri. Mungkin karena mereka tahu kita bakal ngelawan kalau dikerjain barengan kali, ya?"
Aku mengedik.
"Nggak tahu," jawabku jujur. "Aku juga bingung kenapa kita sering banget dikerjain."
"Mungkin pasangan suram kayak kita emang enak dijadiin sasaran," jawab Anne sambil lalu, "apalagi buat yang hobinya keroyokan kayak Kak Raya."
Frasa 'pasangan suram' itu seketika membuatku tertawa pahit. Ya, kami berdua memang sering dijuluki sebagai pasangan suram. Bukan karena kami beneran suram, tapi karena aku dan Anne sama-sama senang mengasingkan diri di tengah keramaian. Anne lebih suka bergumul dengan buku bacaannya dan aku sibuk mencoret-coret di atas buku gambar. Kesamaan itulah yang membuat kami langsung merasa cocok sejak pertama kenal saat MOS SMP, dan sejak saat itu nyaris selalu bersama. Sialnya, mungkin gara-gara itu jugalah kami malah jadi terlihat mencolok dan akhirnya menggoda para senior iseng untuk mengerjai kami.
"Ngomong-ngomong, sebetulnya tadi aku ngelihat kamu sama Kak Raya, Ren," aku Anne kemudian. "Dari jauh sih lihatnya. Tapi trus Kak Rinatiba-tiba maksa aku nemenin dia ke kantin dan nanya-nanya soal buku. Setelah aku pikir-pikir, harusnya aku tahu kalau ada yang nggak beres. Nggak mungkin Kak Rina tiba-tiba ngajakin ngobrol, lama pula. Sudah pasti dia kerja sama dengan Kak Raya supaya dia bebas ngerjain kamu."
Masuk akal, pikirku. Level kebencianku pada Kak Raya seketika meningkat 120%, setara dengan kebencianku pada kecoak.
"Ah, aku tahu!" tiba-tiba Anne melompat sambil menepuk tangannya. "Gimana kalau kita bikin kode SOS?"
"Kode SOS?" ulangku, tak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. "Maksudnya?"
"Ya elah, masa nggak ngerti sih, Ren? Kita bikin kode rahasia kayak di novel-novel gitu," Anne melanjutkan dengan mata berbinar. Persis seperti yang selalu dia tunjukkan setiap kali menceritakan ide tulisan terbarunya. "Setiap kali salah satu dari kita ngerasa dalam bahaya, kita harus kasih kode. Siapapun yang ngelihat kode itu harus segera nyari pertolongan. Gimana?"
Ide kode SOS itu terdengar menarik. Spontan aku langsung menegakkan tubuh, penasaran dengan kelanjutan ide itu. Hanya saja ada satu masalah.
"Ne... Kamu tahu kalau aku payah untuk urusan kayak gitu, kan?" suaraku pasti terdengar sangat tidak meyakinkan karena Anne langsung merengut. "Nanti aku malah gugup dan bikin kacau, trus kodenya ketahuan. Truskalau aku tiba-tiba lupa, gimana? Lagian, kenapa sih nggak langsung teriak aja kalau emang kita dalam bahaya?"
"Kamu tadi teriak nggak waktu dipanggil Kak Raya?" Anne balas bertanya, dan aku langsung meringis. Jangankan untuk teriak; tadi aku lebih sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya bisa tetap berdiri tegak dan sok kuatsaat menghadapi Kak Raya dan genknya itu. Yah, teori memang nggak selalu sejalan dengan kenyataan, ya.
"Nah, kan? Nggak mudah untuk teriak kalau lagi benar-benar dalam bahaya," katanya. "Makanya, kita bikin kode SOS. Yang sederhana aja, tapi susahditebak. Misalnya..." dia berpikir sejenak, "gimana kalau menepuk dada kiri? Itu tempatnya jantung dan kita bisa lakuin itu dengan gerakan wajar—kayak lagi pura-pura bersihin baju, misalnya."
Itu.... JENIUS!
"Boleh juga!" sahutku antusias. Menepuk dada kiri memang bisa dilakukan dengan wajar oleh siapapun, termasuk aku. Melihat aku menyetujui idenya, Anne malah membelalakkan mata. Sesaat dia mengerjapkan mata sebelum bersorak gembira.
"Whoaa!Jarang-jarang Karen setuju!" Anne terlihat jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Dasar!"Keren! Ayo kita bikin kode rahasia lainnya!"
"Woy, woy, sabar, Ne!" antusiasmenya membuatku geli. Kadang Anne terlihat seperti bocah kalau sedang super bersemangat dan itu menyenangkan untuk dilihat. "Satu-satu! Susah ngapalinnya, tau!"
"Gampang!" seperti biasa Anne selalu punya cara untuk membuatku ikut dalam permainannya. "Nanti aku bikin buku catatan kode,deh! Jadi kita tukeran rahasia tanpa harus takut ketahuan sama orang lain!"
* * * * *
"Ren?" suara Daniel membuyarkan keheningan ganjil di ruang kelas kami. "Busyet, kamu pucat banget!"
Teguran Daniel itu membuyarkan lamunanku. Sejenak aku linglung, bingung harus melakukan apa. Potongan kenangan yang tiba-tiba melintas bercampur aduk dengan penggalan video yang baru saja kulihat, membuat kepalaku mendadak pening.
Ya, menepuk dada kiri adalah kode SOS rahasia milik kami. Walau sederhana, kode itu betul-betul bermanfaat. Misalnya saat giliran Anne dipanggil oleh Kak Raya, aku akan tiba-tiba muncul untuk memberi kabar kalau Anne dipanggil oleh guru BP. Tentunya itu panggilan fiktif saja. Begitu juga saat Kak Raya dan genknya akan mengerjaiku, Anne akan mendadak muncul sambil membawa satpam sekolah. Tak terhitung berapa kali kami bisa saling menolong karena kode itu, sampai akhirnya Kak Raya bosan dan kami melalui masa SMP dengan damai.
Kini aku melihat kode itu lagi, dalam rekaman bunuh diri Anne. Kenapa?Apa maksudnya?
"Ren?"
Aku kembali tersentak kaget. Linglung, dengan langkah setengah terseokaku berjalan meninggalkan ketiga teman sekelas yang kini menatapku khawatir. Namun, masa bodoh dengan mereka. Saat ini kepalaku dipenuhi dengan berbagai potongan informasi yang masih sulit kupahami.
"Nggak mudah untuk teriak kalau lagi benar-benar dalam bahaya... Makanya, kita bikin kode SOS."
Anne yang menepuk dada kirinya sebelum bunuh diri.
Stiker H.E.L.P di bingkai foto di kamar Anne.
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi. Yang aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres.
Ya, ada yang tidak beres.
* * *
Kode SOS tadi berhasil menyalakan alarm peringatan dalam diriku. Gara-gara itu aku langsung membereskan tasku dan mengabaikan berbagai pertanyaan dari Daniel, Alvon, dan Lukas; sebelum kemudian menghambur keluar kelas. Saking buru-burunya, aku sempat menabrak Cello sampai cowok itu terhuyung menabrak tembok. Namun aku tak sempat minta maaf. Fokusku hanya satu: aku harus ke rumah Anne secepatnya!
Beberapa belas menit kemudian akhirnya tibalah aku di rumah Anne yang terletak di kawasan Dago Pakar. Tak sabar, akupun menekan tombol bel rumah dengan jeda waktu hanya berselang beberapa detik saja. Pada dering bel keempat, pintu rumah Anne pun terbuka. Rupanya Tante Hetih yang membukakan pintu.
"Karen?" tanyanya heran dan bergegas membukakan pintu. "Apa kemarin ada yang ketinggalan, Sayang?" Sepertinya beliau melihat kalau aku begitu gelisah menunggu di depan pintu.
"Maaf menganggu, Tante. Saya..." saat itu aku baru menyadari kalau Tante Hetih sudah berpakaian rapi dan mengenakan makeup lengkap. Kontras dengan penampilannya kemarin yang masih sangat mencirikan duka cita. "Tante mau pergi?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa kurencanakan. Tante Hetih merespon dengan mengulas senyuman samar.
"Iya," suara Tante Hetih terdengar bergetar, "Om bilang Tante harus mulai melanjutkan hidup. Sudah lebih dari seminggu sejak Anne pergi, jadi... Mungkin ini saatnya Tante untuk kembali menata diri. Sekarang Tante mau ke salon. Kamu mau ikut, Sayang?"
Sudah lebih dari seminggu sejak Anne pergi.
Selama beberapa waktu aku tertegun menyadari perbedaan pandangan antara aku dan Tante. Bagi Tante, hari ini sudah lebih dari seminggu. Sedangkan bagiku, ini BARU seminggu. Apa cuma aku saja yang belum siap untuk melanjutkan hidup?
"Karen?"
"Ah!" Aku tergeragap, baru sadar kalau Tante Hetih menunggu jawabanku. Ups, ya. Tak ada waktu untuk berbasa-basi.Lebih baik aku fokus pada tujuanku saja! "Ng-nggak, Tante. Sa-saya bolehke kamar Anne?"
Tanpa menunggu jawaban dari Tante Hetih, aku langsung menerobos masuk; berderap lari menaiki tangga dan langsung menuju kamar Anne di lantai dua. Tujuanku hanya satu:bingkai Gudetama berhiaskan stiker H.E.L.P. Saat ini hanya itulah kemungkinan yang terpikir olehku: bingkai itu mungkinada kaitannya dengan kode SOS dari Anne dan itulah yang akan kucari tahu sekarang!
Bingkai Gudetama itu masih berada di meja dengan posisi yang sama seperti saat terakhir kuletakkan kemarin. Tak sabar, aku bergegas meraih bingkai itu dan memindai setiap milimeternya, mencoba mencoba menemukan sesuatu yang cukup aneh—apapun itu, selain stiker H.E.L.P.
"Ayolah, Ne, kamu mau bilang apa, sih?" pikirku gemas. Karena tak menemukan sesuatu yang aneh, aku lantas membongkar bingkai itu. Mungkin ada sesuatu di bagian dalam. Sayang harapanku tak terkabul. Tak ada apapun yang kutemukan selain lembaran foto, bagian belakang bingkai, dan bingkainya.
"Astaga..."
Kenyataan kalau tak ada apapun yang bisa kutemukan membuatku lemas seketika. Aku langsung merosot terduduk di kursi sambil tetap memegangi bingkai yang sudah tercerai berai itu. Kepalaku terasa pening dan kebingungan menguasaiku.
Dalam diam, aku mencoba mengurutkan kembali semua keganjilan yang aku rasakan sejak kemarin, mulai dari keberadaan stiker H.E.L.P hingga kode SOS. Harusnya semua itu saling berkaitan. Harusnya semua itu mengarah ke benda ini. Apalagi Anne seolah memastikan supaya aku melihat bingkai ini. Namun... Kenapa nggak ada apapun? Apa aku salah? Atau, apa yang salah?
Disela kebingunganku, aku meraih lembaran foto yang kini tergeletak tanpa bingkai dan menatap foto kami berdua yang sedang tersenyum ceria. Melihat senyum lepas milik Anne, aku mengembuskan napas panjang.
"Kamu mau bilang apa sih, Ne?" aku memijat keningku. "Kenapa sih nggak ngomong langsung aja? Sebetulnya ada apa? Kenapa..."
Tunggu dulu.
Aku mengerutkan kening dan memicingkan mata, mengamati foto yang ada di tanganku sambil mencoba mengingat sesuatu. Selama beberapa waktu aku mengerjapkan mata dan berpikir keras.
Ah! Ya, aku ingat!
Foto ini berbeda dengan foto yang terakhir kulihat sewaktu bingkai ini masih tergantung di dinding. Seingatku, dulu Anne memasang foto selfie kami berdua.Namun kini yang ada di tanganku adalah foto lama yang kami ambil di photobox di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu aku baru membeli sebuah set perlengkapan gambar, dan Annemengacungkan buku Hannibal Rising—salah satu buku favoritnya.
Eh?
Aku kembali terdiam, mencoba merenungi kenapa Anne mengganti foto dalam bingkai. Kenapa Anne menempelkan stiker H.E.L.P. Kenapa Anne memberikan kode SOS. Kenapa Anne berpesan pada Tante untuk menunjukkan bingkai ini padaku. Jangan-jangan....
Pandanganku kemudian melayang ke arah rak buku milik Anne dan mengamati ribuan koleksi buku yang dikumpulkan oleh Anne selama bertahun ini. Kemudian aku memperhatikan lagi foto yang ada di tanganku. Seperti ada yang mengomando, tiba-tiba saja akusudah berjalan menghampiri rak setinggi dinding itu. Dengan tekun aku menelusuri rak itu, baris demi baris. Seandainya teoriku benar, mungkin Anne tidak ingin aku melihat bingkai itu. Anne ingin aku melihat foto ini, dan itu berarti....
Ketemu!
Aku segera meraih buku Hannibal Rising yang posisinya berada paling dekat dengan meja belajar Anne. Buku ini ada dalam foto di bingkai Gudetama. Mungkin aku gila. Mungkin aku berlebihan. Namun saat ini aku tak bisa memikirkan kemungkinan lain selain.... Anne ingin aku menemukan buku ini.
Selembar kertas terjatuh saat aku tengah membuka-buka buku Hannibal Rising. Aku segera mengambil kertas itu, mulai membukanya dan...
Aku menahan napas.
Mataku kembali memanas.
Di atas kertas itu terdapat baris-baris kalimat yang ditulis dengan tulisan tangan—aku mengenalinya sebagai tulisan tangan Anne. Beberapa bagiannya sedikit memudar karena terkena tetesan air. Dan isinya....
Tak salah lagi.
Kertas itu adalah surat dari Anne yang ditulissebelum kematiannya... dan surat itu ditujukan untukku. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top