Knot #2: Tears and Fears

Hey, is there any other way I can meet you? It's sad.

I don't want you to get hurt, even if it kills me... please

"Daybreak's Bell" (English translation) – L'Arc~en~Ciel


KALAU bisa... Kalau bisa aku ingin menganggap stiker H.E.L.P yang menempel di pigura putih itu bukan apa-apa. Posisi pigura yang berubah tempat pun – aku ingin sekali berpikir kalau Tante Hetih ataupun Mbak Menur, asisten rumah tangga disana, yang sengaja melakukannya untuk mengubah mood kamar. Namun saat memastikan itu pada Tante Hetih, beliau malah terlihat sangat heran.

"Tante nggak tahu soal itu, Sayang," katanya. Beliau terlihat berpikir keras sebelum menepuk kedua tangannya. "Ah! Tante baru ingat sesuatu. Beberapa hari sebelum, yah, sebelum kejadian itu," Tante Hetih berhenti sejenak dan aku mengerti kalau yang beliau maksud adalah peristiwa kematian Anne, "Anne memang kelihatan tertekan banget. Tante sering lihat dia nangis sendirian, tapi nggak pernah jawab kalau ditanya ada masalah apa. Dia juga sempat enggak mau keluar kamar, dan—" tiba-tiba Tante Hetih mendekap mulutnya sambil mengamati bingkai yang kupegang. 

"Ya, ya, ya—Tante ingat lagi. Anne pernah bilang tolong tunjukin bingkai itu ke Karen kalau Karen main kesini. Cuma waktu itu Tante enggak nanya kenapa, terus tiba-tiba Anne—" Perbincangan itu selesai sampai disana karena Tante Hetih kembali terlihat larut dalam dukanya dan aku tak cukup kejam untuk memaksanya bercerita lebih lanjut. Hanya saja kini aku semakin yakin kalau Anne memang menginginkanku melihat bingkai itu. Namun, kenapa?

"Duh ... ," tanpa sadar aku mengeluh dan mengembuskan napas panjang sambil menelungkupkan kepala di lipatan tangan. Kepalaku terasa pening. Sekilas aku mengingat kembali bingkai Gudetama itu yang berisi foto kami berdua. 

Dalam hati aku bertanya-tanya, sebetulnya apa yang pengin kamu tunjukin ke aku, Ne? Apa kamu cuma pengin supaya aku inget terus sama kamu; sama persahabatan kita? Kalau memang itu maksudmu, nggak usah khawatir. Tanpa kamu perlu nunjukin bingkai foto sekalipun aku nggak akan bisa ngelupain kamu. Percayalah.

Namun, gimana dengan stiker H.E.L.P itu? Cuma kebetulan saja, atau ada hal lain yang pengin kamu sampaikan?

"Ampun deh...." Aku mengerang panjang dan menggaruk kepala yang tiba-tiba terasa gatal. Hal-hal yang membutuhkan kerja otak seperti ini memang bukan keahlianku.Berbanding terbalik dengan Anne yang memang menyukai kisah-kisah misteri dan segala teka-tekinya. Karenanya, sekalipun pertanyaan 'kenapa' terus menghantuiku sejak pulang dari rumah Anne kemarin, sampai hari ini semua terasa buram.

Merasa kalau kepalaku mulai berasap karena terlalu banyak berpikir, aku mengeluarkan buku sketsa dan beberapa pensil. Tanganku mulai menggerakkan pensil itu di atas kertas kosong dan membuat gambar bunga Mawar; sambil berharap kalau sedikit doodling pagi ini dapat mendinginkan otakku. Untung saja saat ini jam pelajaran kosong dan kami diijinkan melakukan apapun selama tidak bikin keributan ataupun keluar sekolah. Gara-gara itu, sebagian kecil siswa kini sibuk dengan ponsel masing-masing.Sebagian lainnya sudah melenggang ke kantin, sementara kaum minoritas yang selalu meraih peringkat atas tengah menyibukkan diri di perpustakaan.

"Aneh kan?"

Seruan pelan dari arah sudut belakang kelas terdengar tepat saat aku tengah membuat garis gelombang untuk kelopak Mawar. Tentu saja aku mengabaikan itu karena bukan urusanku.

"Iya. Si Anne kayak aneh euy...."

DEG.

Penyebutan nama Anne membuat gerak tanganku melenceng dari jalurnya. Aku berdecak kesal. Namun kekesalanku cepat berganti jadi rasa penasaransehingga akupun menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya ada tiga teman sekelasku yang sedang asyik menonton sesuatu dari handphone mereka sambil sesekali berbisik.Kenapa mereka menyebut nama Anne? Atau mungkin mereka menyebut Anne lain – seperti Anne Hathaway?

Lukas, salah satu dari tiga orang itu, kini menunjuk ke ponsel yang tengah dipegang oleh Daniel. Wajahnya terlihat serius.

"Tuh, ini juga aneh," katanya. "Si Anne kenapa ya?"

Lagi-lagi mereka menyebut nama Anne. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk berdiri dan menghampiri mereka.

"Kenapa sama Anne?" Pertanyaan itu sebetulnya kuucapkan dengan nada yang – menurutku – biasa saja. Namun ketiga temanku itu terlihat kaget luar biasa. Lukas terlompat dari tempat duduknya, sementara Alvon kumat latahnya. Daniel malah lebih parah karena dia sampai melepaskanponsel yang ada di tangannya hingga jatuh dekat kakiku. Heran dengan reaksi mereka, aku memungut ponsel itu.

"Jangan!" teriak Daniel, sebelum mulutnya dibekap paksa oleh Lukas. Terlambat, karena aku sudah melihat apa yang tengah mereka tonton dan...

Aku langsung membekap mulutku.

Napasku tertahan sementara mataku terbeliak. Hampir saja aku membanting ponsel itu kalau Alvon tidak buru-buru merebutnya. Untung saja tanganku lebih cepat menahan dan menjauhkannyadari jangkauan Alvon hingga ponsel itu tak sampai berpindah tangan.

"Brengsek kalian! Jahat!" Suaraku bergetar. Wajahku memanas. Tinggal tunggu waktu saja sampai air mataku kembali berulah. Emosi, aku menunjuk Daniel, Lukas, dan Alvon—yang kini terlihat seperti maling yang tertangkap basah. "Walau sudah meninggal, Anne tetap teman kita! Ngapain kalian ngeliat rekaman ini?"

Ya, Anne memang meninggal dengan cara tak biasa. Sahabatku itu menggantung dirinya sendiri di salah satu kelas kosong di sekolah kami, dan menyiarkannya secara live di Instagram. Sayang aku terlambat mengetahuinya karena tengah menghadiri acara keluarga. Saat mengetahui notifikasi siaran live-nya, seketika aku langsung shock. Histeris. Apalagi scene terakhir yang kulihat adalah tubuh Anne yang sudah tergantung tak bergerak sebelum tali itu putus beberapa menit kemudian, dan kamera dimatikan oleh orang yang pertama menemukan tubuhnya.

Kenyataan itu membuatku hancur. Marah. Frustrasi. Kecewa. Entahlah... Aku marah pada Anne yang memilih jalan pintas seperti itu. Aku marah pada diriku sendiri yang tidak menyadari kalau Anne menunjukkan tanda-tanda akan bunuh diri. Sahabat macam apa aku ini? Penyesalan juga masih menghantuiku karena terlambat datang ke lokasi dan hanya bisa melihat jenazahnya ditandu masuk ke ambulan. Dan aku kecewa karena pihak sekolah lebih menganggap ini sebagai aib yang harus ditutupi tanpa menunjukkan empati selain mengirim karangan bunga duka cita. Semua perasaan itu terlalu campur aduk untuk kupahami dan masih membuat emosiku naik turun hingga hari ini.

Karenanya, fakta kalau tiga teman sekelas kami sengaja melihat rekaman video bunuh diri Anne membuatku sangat marah. SANGAT. MARAH. Aku kembali menunjuk-nunjuk Lukas, Daniel, dan Alvon—yang masih menundukkan wajah sambil sesekali saling sikut—dengan kemarahan yang meluap-luap.

"Tega, ya, kalian ngeliat video ini!" desisku, mencoba mengendalikan diri untuk tidak membanting ponsel itu dan menginjak-injaknya. "Bukannya kalian juga tahu pak Kepsek ngelarang kita buat ngeliat ini? Kalian jahat! Enggak ada empatinya! Aku bakal laporin kalian, biar tahu rasa!"

"Ren! Tunggu!" Alvon yang berdiri paling dekat buru-buru menahan tanganku. "Dengerin kami dulu!"

"Iya, Ren! Denger dulu!" Daniel ikut-ikutan mencegahku. "Kamu pikir kami setega itu ngeliatin video Anne tanpa alasan?"

"Oya?!" Aku menepis tangan Alvon yang masih mencengkeram tanganku. "Coba kalian kasih alasan yang bagus, satu aja!"

Alvon, Daniel, dan Lukas kembali saling berpandangan. Aku sudah siap berdecak jengkel saat melihat Lukas celingukan seolah ingin mengamati suasana, membuatku ikut-ikutan mengedarkan pandanganku ke seisi kelas. Rupanya saat ini tinggal kami berempat saja yang ada di ruang kelas. Pantas sejak beberapa menit lalu kelas ini terasa sepi.

"Aman..." Lukas mengembuskan napas lega dan kembali mengalihkan fokus perhatiannya padaku. "Duduk dulu, Ren. Kalem. Kita bisa bicarain ini baik-baik."

"Santai, Ren.... Jangan marah dulu. Kami bisa jelasin ini, serius! Ayo duduk dulu, Ren!" Alvon segera menarik kursi yang ada di depan mereka dan mempersilahkanku duduk di sana.

Walau masih emosi, aku menuruti permintaan mereka. Setelah memastikan aku betul-betul duduk, Daniel pun berdeham sejenak.

"Gini, Ren... Kami nggak sejahat itu sampai-sampai sengaja ngeliatin rekaman Anne. Yah, gimanapun juga dia, kan, temen kita. Tapi..." Daniel melirik Lukas dan lirikan itu langsung dibalas dengan sebuah sikutan di pinggang. Nasibnya tak jauh lebih baik saat melirik Alvon karena cowok itu malah sok mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

"Apa?" tanyaku tak sabar. Daniel mengembuskan napas panjang. Kurasa 50% nya karena kesal tak mendapat bantuan dari Lukas dan Alvon, sementara 50% sisanya mungkin karena apa yang ingin dia bicarakan setelah ini.

"Tadi pagi ada yang ngebagiin link rekaman video Anne. Kayaknya ada yang nge-screen recorder saat live berlangsung. Karena penasaran, aku unduh. Setelah aku liat, sepertinya ada beberapa hal yang.... Aneh?" Daniel terdengar tak yakin dengan pilihan katanya sendiri, tapi dia melanjutkan kalimatnya. "Aku juga nggak yakin soal itu. Makanya aku ajak Lukas dan Alvon nonton, dan mereka sepakat kalau ada yang aneh dengan video itu."

Aku mengeryitkan kening dan menatap mereka dengan tatapan hopeless. Ada yang aneh? Oh c'mon, memangnya ada video bunuh diri yang nggak aneh? Logika, plis!

"Serius, Ren!" kali ini Alvon yang angkat bicara. "Kamu udah lihat videonya?"

"Sori, aku belum setega itu untuk ngeliat rekaman—" kata-kataku terhenti, tak tega untuk mengucapkan 'bunuh diri Anne' secara gamblang. Aku menelan ludah.

"Nah, sekarang coba kamu lihat," Lukas merebut ponsel dari tanganku saat aku lengah dan menunjukkan layarnya padaku. "Menurut kamu gimana?"

"Kalian gila, ya? Ogah! Gak sudi!" Aku nyaris kembali berteriak marah kalau saja Daniel tidak buru-buru memotong kalimatku.

"Plis? Kamu kan temannya Anne, Ren. Mungkin kamu lebih ngerti dari kami-kami ini," ujar Daniel yang diamini oleh Lukas dan Alvon. Lukas malah langsung menekan tombol play pada video yang tengah di pause itu dan mengulangnya dari awal.

"Liat sendiri deh, Ren!"

Duh.

Tak ada pilihan lain, aku terpaksa melihat video yang ditunjukkan oleh Lukas. Lima menit pertama melihat video itu, air mataku langsung pecah saat melihat sosok Anne. Perasaan kangen yang selama beberapa hari ini kurasakan akhirnya meledak tak terkendali, beriringan dengan perasaan menyesal, marah, sedih, dan lainnya. Seluruh emosi itu berlompatan keluar begitu saja sampai-sampai aku terisak dan Lukas menghentikan video itu untuk sementara waktu.Baguslah kalau ketiga temanku ini masih bisa memikirkan perasaan orang lain.

Selama beberapa waktu aku menangis hingga seluruh bebanku terasa lebih ringan. Perlahan isakanku pun mereda dan aku menghapus air mata menggunakan tisu yang baru saja disodorkan oleh Alvon.

"Oke, nggak apa. Lanjutin aja," pintaku dengan suara parau setelah yakin sudah lebih bisa mengendalikan diri. Lukas menuruti keinginanku itu.

Beberapa menit setelah video kembali di play, tangisku berhenti total. Sebagai gantinya, aku mulai mengerutkan kening.

Tiga menit selanjutnya, aku membekap mulutku erat-erat. Mataku mendelik horor, dan kurasakan aliran darah di wajahku meluruh turun. Jantungku seakan kehilangan denyutnya saat itu juga.

Nggak. INI NGGAK MUNGKIN!

* * *

Minggu, 25 Februari 2018.

Kamera menyorot ruangan kelas yang kosong. Di tengah ruangan itu ada sebuah tali tergantung dan sebuah bangku di bawahnya. Selama beberapa menit kemudian tak ada aktifitas apapun di ruangan itu. Keriuhan hanya terjadi di layar karena semakin banyak yang melihat live Anne. Semakin lama, banyak yang mulai menyapa—sebagian mempertanyakan "ini siapa" dan "kok ada tali", sementara sisanya malah memprovokasi agar—siapapun itu—cepat-cepat saja menggantung dirinya.

Baru pada menit keempat, sosok Anne terlihat di kamera. Wajahnya terlihat sembab, dan Anne sama sekali tak mengatakan apapun. Dia hanya menatap kosong ke arah ponsel, memamerkan senyuman lemah, kemudian tangannya bergerak mendekati layar ponsel. Sepertinya dia mematikan kolom komentar. Layar pun mendadak senyap.

Selama beberapa detik berikutnya Anne hanya diam sambil sesekali melirik ke sebuah arah. Wajahnya terlihat gugup.Cepat, Anne lantas menepuk dada kirinya dan kembali melirik. Semua dia lakukan tanpa suara yang berarti. Dia lantas berdiri meninggalkan kamera, tapi tak lama kemudian sudah kembali lagi dengan langkah terseok sambil sesekali menoleh ke belakang. Selanjutnya Anne naik ke atas kursi, melingkarkan tali ke lehernya, memejamkan mata, dan....

Anne meronta.

Matanya mendelik dan rona wajahnya berubah warna jadi ungu kemerahan. Panik, kedua tangannya mencoba melonggarkan tali yang menjerat lehernya itu.Sayang usahanya sia-sia. Saat itulah tangannya berayun menepuk dada kirinya berkali-kali sebelum akhirnya seluruh tubuhnya menjuntai lemas dan berayun-ayun hingga tali itu putus beberapa menit kemudian.

*  * *

"ENGGAK!" Spontan aku berteriak dan melompat berdiri dari tempat dudukku, membuat ketiga temanku itu ikut terlompat juga dari tempat duduknya. Sepertinya ekspresi wajahku menyeramkan karena Lukas, Daniel, dan Alvon kini menatapku ngeri. Tapi aku tak peduli. Tanganku mengepal dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisku.Logikaku menolak memproses apa yang baru saja kulihat.

Enggak.

ENGGAK MUNGKIN!

MUSTAHIL!

Anne menepuk dada kirinya.

Itu, kan, kode SOS yang kami buat bersama! []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top