Knot#18: Betrayal

"So this was betrayal.
It was like being left alone in the desert at dusk without water or warmth.
It left your mouth dry and will broken.
It sapped your tears and made you hollow."
Anna Godbersen, Rumors

***

Gelap.

Jujur itulah yang kurasakan setelah mendengar pengakuan Chacha. Pengakuan yang, kurasa, dia buat sejujurnya. Berbagai perasaan silih berganti menyapaku: marah, kecewa, sakit hati; membuatku semua hal yang selama ini kupendam sendiri akhirnya meledak juga.

"Karenina, kamu ok?"

Sapaan lembut Kak Sam disertai tepukan ringan di pundak menggugahku; membuatku sadar kalau aku sudah terlalu lama menangis dipelukannya. Refleks aku langsung menjauhkan diri.

"Ma-maaf, Kak..." sambil terus mengusap air mata, aku sesenggukan; mencoba mengatur lagi emosiku. Dari sudut mata aku bisa melihat tatapan bertanya-tanya dari beberapa pengunjung yang ada di lantai ini—beberapa diantaranya malah sudah berbisik-bisik. Namun aku tak peduli. Yang kupedulikan kini hanya Chacha. Semoga saja aku masih bisa memegang semua kendali permainan setelah peristiwa barusan.

Aku melayangkan pandangan ke arah Chacha dan mendapati kalau cewek terlihat shock. Dia mengkerut di tempat duduknya dengan wajah pias dan tangan yang tak henti-henti meremas ujung sweaternya. Sepertinya dia betul-betul tak mengira akan melihatku seperti tadi dan itu membuatnya gugup.

"Karenina," Kak Sam menatapku dengan serius. "Kenapa, sih? Dia jahat sama kamu, say? Iya?" Kak Sam menatap galak ke arah Chacha yang membuat cewek itu makin menciut. Aku buru-buru menggeleng.

"Bukan, Kak... Tapi..."

"Cerita, dong."

Aku mengembuskan napas panjang. Jujur, aku enggan mengulang apa yang baru kudengar tadi. Namun.... Melihat Kak Sam begitu serius, aku tahu kalau sedikit banyak dia juga berhak tahu. Bagaimanapun, aku terlanjur melibatkannya dalam rencana sore ini dan, yah, thank God berkat itu aku jadi berani karena tahu aku tak sendirian. Lagipula, bukankah aku memang ingin membongkar simpul kematian Anne? Tentu aku harus siap dengan segala resikonya—termasuk menemukan kenyataan terpahit sekalipun. Iya, kan?

Berbekal keyakinan itu, aku meraih kertas yang tadi kutunjukkan pada Chacha dan mengulang lagi apa yang kulakukan sebelum ini.

"Oke, kita ulang lagi. Ini benar bukan bikinan kamu?" Aku menunjuk screenshot profil Instagram Bianca. Tepatnya, aku menunjuk pada sebaris kalimat yang tercantum disana:

Bianca Grace Paloma
Author of "Suicide Knot" // Urban Thriller Competition Winner

Aku mengetuk-ngetukkan jari pada judul "Suicide Knot", memberi penegasan kalau itulah frasa yang kumaksud. "Bukannya kamu ghostwriter-nya Bianca? Jadi ini ide kamu, bukan?"

"Ka-kayak yang aku bilang tadi, Kak... I-itu bukan aku yang bikin..." Chacha mencicit lemah. "Idenya dari Bianca. A-aku cuma merapikan outline-nya dan menulis sesuai keinginan Bianca...."

"Suicide Knot?" Kak Sam menyela. Suaranya terdengar heran. "Itu apaan sih, nek?" Melihat Chacha masih bungkam, Kak Sam kembali melotot galak. "JAWAB!"

"A-aku nggak boleh cerita, Kak..." suara Chacha terdengar begitu memelas. Bahkan dia kini kembali terisak. Sepertinya dia betul-betul ketakutan. "A-aku cuma bisa bilang kalau.... Cerita itu tentang cowok yang, yang keliatannya bunuh diri. Pa-padahal...."

"Padahal?"

Lagi-lagi Chacha bungkam. Namun kebungkamannya tak berarti apapun karena aku cukup yakin dengan jawabannya. Aku menyodorkan lagi selembar kertas dan menunjuk sesuatu; sesuatu yang membuat emosiku berantakan. Kertas itu menampilkan screenshot postingan Instagram sebuah penerbit bertuliskan judul "SUICIDE KNOT". Di keterangan foto itu tertulis informasi blurb Suicide Knot yang rupanya diikutkan dalam lomba yang digelar oleh penerbit itu.

-----

"Suicide Knot", by Bianca Grace Paloma

Ronald punya segalanya. Dia populer, pintar, dan disukai banyak orang. Namun tiba-tiba dia bunuh diri tanpa meninggalkan pesan apapun. Maura, guru BP di sekolah mereka, tak percaya kalau Ronald bunuh diri. Dia melakukan penyelidikan mandiri dan akhirnya menemukan sebuah fakta yang mengejutkan. Benarkah Ronald bunuh diri?

-----

"Itu apa, sih, Karenina?" Kak Sam terlihat bingung. Wajar, karena dia tak tahu apapun tentang ini.

"Bulan Januari lalu, sebuah penerbit menggelar event kompetisi menulis novel thriller bertajuk Urban Thriller Competition, Kak," aku menjelaskan. "Seleksinya menggunakan sinopsis dan pemenangnya dipilih berdasarkan voting pembaca. Setelah itu para pemenang terpilih harus mengunggah teaser naskahnya di Wattpad sebelum diterbitkan jadi buku." Aku berhenti sejenak untuk mengambil jeda. "Sinopsis Bianca terpilih jadi salah satu pemenang, tapi...."

Aku menunjuk kata "Knot" dalam judul itu.

"Di sinopsis ini memang nggak dijelaskan tentang metode bunuh dirinya dan sampai saat ini belum ada teaser apapun, jadi tak ada yang tahu ceritanya seperti apa. Tapi, kenapa ada kata knot di judul ini?"

"Bahasa Inggrisku ampun-ampunan sih ancurnya, sih, bo... Tapi.... Knot itu simpul, kan?" Kak Sam terdengar tak yakin. Namun kemudian matanya membelalak secara dramatis. "Jangan-jangan... bunuh dirinya pakai tali? Gantung diri, gitu?"

Chacha kembali membisu dan itu membuat Kak Sam jadi tak sabar.

"JAWAB DEH!" Tangannya menggebrak meja, membuat Chacha terlompat kaget.

"I-iya.... Iya, Kak. Di-di ide awalnya begitu. Tapi...." Chacha tergeragap. "Tapi sesaat sebelum periode voting ditutup, Bi-bianca minta aku merombak idenya. Sinopsisnya sekarang beda jauh. Ro-ronald nggak jadi gantung diri, tapi...."

"Kapan periode voting ditutup?" Aku sengaja menyela kata-kata Chacha. Sebetulnya aku sudah tahu jawabannya, tapi aku ingin Kak Sam mendengar tentang itu.

"Se-seperti yang kubilang tadi, Kak... Tanggal 25 Februari, jam 23.59 WIB. Bianca menelepon dari Singapura, dan di-dia minta a-aku merombak ide kasarnya itu...."

Walau ini kedua kalinya aku mendengar itu, tetap saja perasaanku sakit. Namun aku memaksakan diri untuk melirik pada Kak Sam. Melihat ekspresinya yang membeku, aku tahu kalau Kak Sam juga berpikir seperti yang kupikirkan.

25 Februari 2018.

Hari kematian Anne.

Bianca yang berbohong tentang alibinya.

Bianca yang tiba-tiba merombak ide naskahnya.

Aku memejamkan mata.

Tak salah lagi. Inilah jawaban dari pertanyaan yang selama berminggu ini menghantuiku.

* * * * *

Anne selalu bilang kalau kadang aku sulit mengambil keputusan karena terlalu banyak pertimbangan. Misalnya saja aku selalu bingung memilih pena mana yang mau kubeli setiap kali kami ke toko alat tulis. Aku juga selalu bingung memesan menu setiap kali kami ke kafe, bingung memilih baju mana yang harus kupakai, dan banyak lagi.

Biasanya, kalau Anne sudah komplain, aku selalu mengelak dengan bilang kalau aku cuma berhati-hati karena nggak mau salah pilih. Namun setelah Anne tak ada, mau tak mau aku harus mengakui kalau dia benar. Selama ini Anne jadi satu-satunya tempat bagiku untuk meminta pertimbangan dan membantuku memilih keputusan. Sekarang semuanya harus kulakukan sendiri dan, jujur saja, aku bingung.

Semua simpul nyaris terurai sepenuhnya. Namun apa yang harus kulakukan lagi? Tetap saja aku tak bisa membawa semua penyelidikanku ini pada polisi. Maksudku, walau sudah ada bukti-bukti perisakan Anne, walau sudah ada pengakuan dari Chacha, aku tak yakin ini cukup kuat untuk menjerat Bianca karena cewek sialan itu sudah membersihkan semua jejaknya dengan baik. Terus, aku harus apa?

ARGH!

Aku nyaris berteriak frustrasi karena diserang kebuntuan ide. Untung saja aku bisa menahan diri atau aku akan ditendang keluar di tengah pelajaran Bahasa Indonesia. Akan lebih buruk lagi kalau Bianca sampai curiga dan semua usahaku mengorek keterangan dari Chacha dua hari yang lalu akan sia-sia!

Tapi....

Aku betul-betul harus diskusi sama seseorang! Seseorang yang bisa memberikan aku pencerahan langkah apa yang harus kuambil. Seseorang yang membuatku yakin kalau aku bisa melakukan ini. Namun, siapa?

Cello.

Nama itu seketika melintas tanpa kurencanakan. Aku buru-buru menepisnya dengan sebuah gelengan kepala. Secara teori, Cello memang pilihan yang tepat untuk berdiskusi. Cowok itu punya otak encer dan sebetulnya enak diajak ngobrol. Dia juga cukup mengenal Anne dan—suka atau tidak—aku tak bisa mengabaikan fakta kalau dialah yang pertama menemukan mayat Anne. Cello juga ada dalam circle Bianca dan dialah yang memberiku pencerahan untuk mengorek kelemahan Bianca dari orang terdekatnya hingga aku menemukan Chacha. Itu artinya Cello sebetulnya juga sudah menyelidiki tentang Bianca, walau aku tak tahu apa saja yang sudah dia dapatkan.

Ya.

Dilihat dari segi manapun, Cello adalah orang yang paling tepat untuk kujadikan sekutu. Namun....

Sepenggal percakapanku dengan Chacha kembali terbayang. Saat itu aku tiba-tiba saja terpikir untuk bertanya tentang Cello.

"Tentang Cello," aku berpikir sejenak untuk merangkai kata yang mudah dimengerti oleh Chacha, "kenapa dia bisa pacaran sama Bianca? Maksudku, kenapa Cello keliatannya takluk banget sama Bianca?"

Saat itu aku mati-matian menahan diri untuk tidak langsung menanyakan tentang rahasia Cello. Semula aku mengira Chacha akan menjawab dengan gugup seperti biasa. Diluar dugaan, cewek itu malah mendengkus pelan. Ekspresi sebal samar melintas di wajahnya.

"Maaf ya, Kak, tapi," Chacha kembali mendengkus pelan, "jangan percaya sama Cello." Sungguh sebuah respon yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Kenapa?" Aku tak bisa menahan diri untuk balik bertanya, dan sayangnya, sepertinya itu membuat Chacha waspada. Cewek itu seolah tersadar kalau baru melakukan sebuah hal yang salah dan kembali terlihat gugup.

"A-aku nggak berani bilang, Kak," Chacha mencicit pelan. Matanya langsung membulat saat melihat aku mendelik galak dan tanganku siap kembali melayang untuk menggebrak meja. "TAPI," dia buru-buru menyergah,"kalau Kakak lihat Cello dan Bianca diluar sekolah, pasti Kakak tahu maksudku."

"Eh, gimana?" Semua penjelasan Chacha makin membuatku bingung, tapi cewek itu keburu menggelengkan kepalanya.

"Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi, Kak," kali ini suaranya terdengar pasrah. "Aku, tepatnya kami, nggak ada yang betul-betul kenal baik sama Cello. Bianca nggak ngijinin kami ngobrol sama Cello tanpa setahu dia. Yang bisa aku bilang, Cello di sekolah beda dengan Cello waktu berduaan sama Bianca. Itu aja."

Jangan percaya sama Cello.

Sepenggal kalimat itu mengusik rasa penasaranku. Dari obrolanku dengan Chacha kemarin, aku bisa menangkap kalau cewek itu sudah mengatakan apa yang bisa dia katakan. Dia sudah jujur mengakui kalau dialah ghostwriter Bianca, mengakui kalau Bianca memaksa cewek-cewek Silver Girls untuk membuat alibi palsu di hari kematian Anne, bahkan dia membocorkan tentang naskah Bianca. Namun kata-katanya tentang Cello masih sulit diterima oleh nalar. Bagaimanapun, Cello yang kutahu selalu terlihat seperti budaknya Bianca. Cello juga punya kebaikan hati dan dia beberapa kali menolongku. Apa aku punya alasan untuk mencurigai Cello? Atau Chacha hanya sekadar ingin membuatku bingung?

Walau kebimbangan masih menguasai, pada akhirnya aku merasa perlu memastikan apakah Cello kawan atau lawan. Aku harus menyelidiki kebenaran dibalik kata-kata Chacha. Karenanya, begitu tahu kalau hari ini Cello dan Bianca punya agenda berdua—tentu saja aku tahu ini setelah mengancam Chacha—aku memutuskan untuk membuntuti mereka.

Begitu bel tanda pulang berbunyi, aku langsung menyelinap keluar kelas dan berlari secepat mungkin menuju gerbang sekolah. Setelah melewati pos satpam, aku bergegas menuju kedai makanan yang ada di seberang sekolah; menghampiri seorang cowok yang sudah bertengger manis di atas motor bebeknya.

"Ma-maaf aku ngerepotin Kak Sam," napasku tersenggal karena baru saja berlari seperti kesetanan.

"Idih, nggak papa kalik, Karenina," senyum geli tersungging di bibir berwarna kehitaman itu. "Kebetulan bangeeettt aku bisa libur hari ini. Kalau nggak, ya, maap aja nggak bisa nganterin."

Kata-kata Kak Sam membuatku tersenyum lega. Untung saja Kak Sam bisa minta ijin hari ini, jadi aku bisa lebih leluasa membuntuti Bianca dan Cello. Kalau naik ojek online atau ojek pangkalan, bisa jadi urusannya malah akan ribet. Apalagi kalau kebetulan dapat driver yang cerewet dan banyak tanya.

"Makasih loh, Kak," ucapku tulus yang dibalas dengan tawa kecil Kak Sam.

"Lagian nih, ya, aku nggak tega, loh, kalau kamu sendirian," Kak Sam melanjutkan, masih dengan nada gemulai yang menjadi ciri khasnya. "Entar kalau nangis lagi kayak kemaren, gimana coba? Trus kan, ya, Anne juga teman aku, jadi...."

"KAK!" Aku buru-buru menyela saat melihat sebuah mobil Alphard hitam merayap mendekati pos satpam dan bersiap meninggalkan gerbang sekolah. Di sekolah kami hanya Bianca yang menggunakan mobil Alphard hitam sehingga bisa dipastikan kalau itu dia. "Buntuti mobil itu! Cepat!"

Setengah tak sabar, aku merenggut helm yang sedari tadi disangkutkan ke spion, dan langsung melompat ke jok belakang. Tanpa bicara lagi, Kak Sam menyalakan motornya dan langsung membuntuti Alphard hitam milik Yayasan Bhakti Paloma itu.

30 menit berlalu, mobil mewah itu menggelinding menembus kemacetan kota Bandung, menuju ke arah Bandung Utara. Tepatnya, dia menuju ke arah Lembang. Namun ternyata mereka berbelok ke arah Sersan Bajuri dan 15 menit berikutnya mobil itu melaju memasuki area sebuah kafe yang lokasinya tidak jauh dari Kampung Gajah.

Aku meminta Kak Sam untuk masuk juga ke area itu. Kak Sam menurut dan langsung membelokkan motornya ke arah parkiran motor. Belum juga sampai ke tempat parkir, aku buru-buru melompat turun.

"Tunggu di parkiran motor ya, Kak!" kataku sambil menyerahkan helm, dan bergegas lari ke arah parkiran mobil untuk mengawasi mobil Alphard milik Bianca yang kini merayap memasuki area drop off karena ada mobil lain yang lebih dulu berhenti di sana.

Sambil tetap berusaha supaya tak terlihat, adrenalin yang semula naik drastis saat tengah membuntuti Bianca perlahan mereda. Akal sehatku mulai kembali. Dalam hati aku bertanya-tanya, KENAPA AKU BISA SENEKAT INI SIH? DUH! Maksudku, oke ini memang mobil Bianca. Tapi belum tentu juga dia datang ke sini bersama Cello. Belum tentu juga Bianca yang naik mobil Alphard itu. Bahkan aku tak tahu siapa penumpangnya karena kaca mobil itu terlalu gelap! Bisa jadi Ketua Yayasan yang kebetulan menggunakan mobil itu, kan? Bisa jadi juga Bianca perginya menggunakan motor Cello, atau mungkin....

Suara hatiku mendadak senyap saat melihat pintu mobil Alphard terbuka. Sopir turun untuk membukakan pintu penumpang. Refleks aku merunduk dan bersembunyi dibalik sebuah mobil yang tengah parkir. Jantungku berdegup kencang menunggu siapa yang turun. Kalau ternyata itu bukan Bianca apalagi Cello, aku bersumpah akan langsung angkat kaki saat itu juga! Masa bodoh dengan pengintaian hari ini! Lebih baik aku nyari alternatif lain yang nggak repot-repot kayak gini, deh!

Baru saja sumpah itu kuucapkan, mataku langsung membulat saat melihat siapa yang turun dari mobil itu.

Cello.

Cowok itu masih mengenakan seragam sekolah, lengkap dengan jaket motornya. Yang membuatku mendelik makin lebar, aku melihat Cello mengulurkan tangan dan membantu Bianca yang melangkah turun dari mobil dengan anggun seolah dia baru turun dari kereta kencana. Sopir kemudian menutup pintu mobil dan kembali ke tempat duduknya. Tiga detik berikutnya Alphard itu melaju menuju ke tempat parkir, meninggalkan Cello dan Bianca yang masih berdiri di depan pintu kafe.

Dari tempatku bersembunyi, aku bisa melihat kalau Bianca dan Cello sepertinya terlibat argumen kecil. Sayangnya jarakku terlalu jauh untuk bisa mendengar apa yang mereka perdebatkan. Yang pasti Bianca terlihat berbeda karena aura malaikatnya tak lagi terlihat, sementara tangannya sibuk bergerak-gerak—sepertinya untuk menguatkan argumennya. Semua itu membuat rasa penasaranku menebal. Aku nyaris nekat mengendap mendekat kalau saja langkahku tak terhenti karena melihat sesuatu.

Cello meraih tangan Bianca dan menariknya hingga jatuh ke pelukannya. Jantungku nyaris berhenti berdenyut saat melihat Cello tiba-tiba mencium Bianca dan cewek itu langsung berhenti bicara. Adegan itu hanya berlangsung selama lima detik saja, tapi sukses mengguncang semua yang kupercayai tentang Cello.

Aku membeku.

Shock.

Bingung.

Marah.

Kecewa.

Sakit hati.

Bahkan aku masih mematung sekalipun melihat Cello dan Bianca kini bergandengan mesra memasuki area kafe, dan menghilang di balik pintu. Bukannya mengikuti mereka, otakku malah sibuk memutar kembali cuplikan adegan berdurasi beberapa detik yang merampas kewarasanku sore ini.

Tiba-tiba saja kepalaku terasa pening. Duniaku berputar. Semua imajiku tentang 'Cello yang dikuasai oleh Bianca' dan 'Cello yang mungkin bisa kujadikan teman diskusi' mendadak luruh tak bersisa. Aku hilang arah.

Gemetar, aku mencoba mencari jalan menuju ke parkiran motor. Saat ini yang kumau hanya satu: segera pergi dari sini dan langsung pulang! Hilang sudah semua niatanku untuk membuntuti Bianca dan Cello seharian ini karena apa yang kulihat tadi rasanya sudah lebih dari cukup. Saat ini aku hanya ingin pulang dan menangis sepuasnya di tempat tidur.

Menangisi sosok 'kawan' yang sempat kupikir ada dalam diri Cello, yang ternyata hanya ilusi saja.

Menangisi Anne yang percaya begitu saja pada Cello.

Menyesali kenapa Anne bisa sangat menyukai Cello. Padahal cowok itu....

Tunggu sebentar.

Langkahku berhenti saat menyadari sesuatu dan aku tak suka itu. Aku tak hanya sendirian dalam mencari kebenaran untuk Anne. Namun kini yang kuhadapi MUNGKIN bukan hanya Bianca, tapi juga Cello.

Tuhan, mungkinkah semuanya jadi lebih buruk lagi? ***    

***********************
***********************
***********************
***********************

Halo, it's me Vie ^^ 

First of all, saya pengin ngucapin terima kasih buat teman-teman yang sudah setia menunggu update Suicide Knot setiap hari Selasa. Makasih bangeeettt buat yang selalu bersedia untuk vote dan meninggalkan jejak komen, termasuk untuk teman-teman yang sengaja menyapa di Instagram untuk cerita soal kesan dan pesannya *sending virtual hugs untuk semua pembaca Suicide Knot* ^^

Di kesempatan kali ini saya sekaligus pengin pamit. Bukan pamit untuk seterusnya, tapi pamit untuk sementara saja. Yaps, postingan ini rencananya jadi postingan terakhir Suicide Knot yang diunggah di Wattpad. Cerita selengkapnya nanti bisa kalian baca dalam bentuk buku (fisik/digital) yang rencananya akan terbit dalam waktu yang (mudah-mudahan) tidak terlalu lama. Pokoknya, stay tune terus dan mohon doa supaya semua prosesnya dilancarkan ya, teman-teman... ^^ 

Thank you very much and see ya very soon!

Warm regards,

- Vie -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top