Knot#14: Valentine 2018

Love is like war: easy to begin but very hard to stop

H.L.Mencken


VALENTINE.

Huh.

Sembari membasuh wajah dengan air hangat, aku mendengkus mengingat satu kata itu. Oke, selama belasan tahun ini aku memang tak pernah menyukai hari itu karena, yah, memangnya hal indah apa yang bisa terjadi di hari Valentine untuk cewek nggak populer sepertiku? Namun sungguh, aku tak pernah benar-benar membenci hari itu seperti aku membenci Valentine 2018.

Tepatnya, aku membenci kenangan pahit yang menyertaimomenkasih sayang tahun ini, thanks tosatu mahluk bernama Cello.Ironisnya, gara-gara dia jugalah kenangan itu muncul lagi untuk kembali menyayat-nyayat perasaanku.

Sejenak aku memejamkan mata;mencoba mengalihkan perhatian dengan menikmati kehangatan air dalam bathtub. Setelah semua yang kualami semalam, aku memutuskan untuk menghadiahi diriku sendiri dengan berendam di air hangat yang sudah dipenuhi busa dan ditetesi aroma terapi—sesuatu yang jarang kulakukan karena masalahkepraktisan. And, it works.Perlahan tapi pasti, semua kelelahan yang kurasakan pun memudar seiring dengan semakin kendurnya ketegangan otot-otot tubuhku. Namun sialnya, ternyata kombinasi air hangat+busa+aroma terapi ini tak berhasil membuat pikiranku rileks. Sebaliknya, aku malah semakin bingung.

...kalau ini tentang Anne, mungkin ada hubungannya dengan Valentine kemarin....

Sepenggal ucapan Cello itu langsung membuatku muram. Aku menarik napas panjang.

Kalau boleh, sebetulnya aku ingin sekali melupakan momen Valentine itu. Namun,bagaimanapun, aku sudah bertekad untuk membongkar semua simpul kematian Anne sampai tuntas.Aku harus ingat, hanya aku yang tersisa untuknya. Hanya aku yang bisa mencarikan keadilan untuk Anne. Karenanya, tak ada pilihan lain. Jika memang harus mengingat semua momen yang terjadi pada Valentine 2018, maka itulah yang akan kulakukan. Dan kurasa aku tahu harus mulai dari mana.

* * * * *

Selasa, 13 Februari 2018.

Aku tengah berdiri di sebuah lorong perpustakaan sambil melihat-lihat sebuah buku tutorial menggambar chibi. Perhatianku teralihkan oleh suara berderap masuk ke dalam ruangan perpus. Tak lama derap langkah itu terdengar lagi—kali ini ke arah luar—seolah ada yang baru buru-buru masuk dan langsung keluar saat itu juga.

Penasaran, aku melongok melihat ke arah pintu. Keningku mengerut saat melihat ada satu sosok menyerupai Cello berjalan keluar dengan langkah cepat seolah tak ingin ada yang melihatnya. Rasa heranku berubah jadi penasaran saat pandanganku beralih ke meja yang ada di sudut ruangan dan mendapati Anne tengah senyum-senyum sendiri.

Hmm? Ada apa ini?

Aku bergegas meletakkan buku yang tengah kulihat-lihat untukkembali ke meja Anne—maksudku, meja kami—dan langsung menepuk pundaknya.

"Hayo!"

Sebetulnya aku iseng saja mengagetkan Anne yang terlihat fokus membaca selembar kertas kecil. Diluar dugaan, Anne terlonjak kaget dan buru-buru menyembunyikan kertas itu. Namun senyum di wajahnya tak bisa langsung hilang begitu saja, membuat rasa penasaranku berganti jadi kecurigaan.

"Apaan tuh, Ne?" tanyaku heran sambil kembali duduk ke tempatku semula. "Dan... tadi itu siapa? Cello?" Kecurigaanku makin bertambah saat melihat Anne malah tersipu malu.

"Aku mau cerita, tapi... Nanti kamu marah, Ren?"

"Eh? Aku?" Aku mengerjapkan mata. "Kenapa aku marah?"

"Soalnya..." Anne menatapku takut-takut sebelum menyodorkan kertas itu. Aku memicingkan mata supaya bisa lebih jelas membaca kertas berisi tulisan tangan itu. Begitu tulisan acak-acakan itu terbaca, aku mendelik ngeri. Reflek, tanganku mengempaskan kertas itu ke atas meja hingga menimbulkan suara keras yang membuat Anne terlonjak kaget. Untung saja suasana perpustakaan saat itu tengah sepi, jadi tak ada orang lain yang merasa terganggu karena ulahku.

"Ne! Kamu udah gila? Plis, jangan!" Aku menggeleng keras.

"Ta-tapi, Ren...."

"Plis! Kamu tahu kalau Cello pacar Bianca, kan? Dan kalian mau kencan di hari Valentine? OMG, Ne! Apa yang kamu pikirin, sih?" Saat itu aku betul-betul bisa merasakan rona wajahku memerah. Aku marah. Apa Anne sadar apa yang dia lakukan? Dan Cello, apa cowok itu gila?! Sudah tahu pacarnya seseram psikopat, trus kenapa masih ngajakin Anne kencan, sih?

Anne merengut. Wajahnya memerah, dan dia terlihat tak nyaman.

"Ini bukan kencan, kok!" tukasnya pelan, mencoba membela diri. "Kami cuma mau ke toko buku aja. Kebetulan besok ada event Book Blind Date, jadi..."

"Sama aja, Ne!" Tanpa sadar aku panik sendiri. Tidak, tidak. Ini sama sekali nggak bagus! Gimana kalau Bianca tahu? Anne baru ngobrol sama Cello aja Bianca sudah berubah jadi malaikat maut. Apalagi kalau dia tahu Anne jalan berdua dengan Cello. Duh, membayangkannya saja sudah bikin perutku melilit karena stress!

Tanpa sadar tanganku mengepal.Aku nggak boleh ngebiarin Anne melakukan hal segila itu!

"Plis! Plis dengerin aku! Ne, Cello itu..."

"Karen..." Anne mengusap tanganku. Kebiasaan kecil yang selalu dia lakukan untuk menenangkanku saat kami tengah berargumen. "It's okay. Ini bukan kencan, kok. Kami cuma pergi ke event di toko buku..."

"...yang digelar dalam rangka Valentine, kan?"

Anne terdiam dan aku mengembuskan napas dalam-dalam. Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, hatiku bilang untuk lebih dulu mendengarkan cerita Anne. Namun logikaku menentangnya. Bagaimanapun, untuk alasan apapun, jalan dengan pacar orang—sebrengsek apapun pacarnya, tetap sajaitu nggak benar. Sebagai seorang teman, aku nggak boleh membiarkan Anne mengambil jalan yang salah. Apalagi kalau jalan itu berujung ke pintu gerbang neraka yang dijaga oleh setan berwajah malaikat. Iya, kan?

Namun, pada akhirnya hatiku yang menang. Nggak tega rasanya melihat Anne hanya diam membisu dengan wajah seperti mau menangis. Setelah kembali menarik napas panjang untuk mengatur emosi, akhirnya aku mencoba bertanya dengan nada yang jauh lebih terkendali.

"Kamu... Ada apa sama Cello, Ne?" tanyaku hati-hati. Anne tak menjawab. Dia malah menunduk semakin dalam. Ini pertama kalinya aku melihat Anne seperti itu dan, oh... OH! Apa ini artinya...

"Kamu suka Cello?" Akhirnya aku tak bisa menahan diri untuk menanyakan itu. Namun Anne masih bungkam. Tanpa sadar aku mendesah panjang, bingung memikirkan cara terbaik untuk mengorek jawaban dari Anne.

Ya, itulah Anne.

Kalau dia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu, dia akan melakukannya. Begitu juga dengan masalah berbagi rahasia. Sedekat apapun kami, kalau Anne sudah memutuskan untuk menyimpan perasaannya sendiri, maka itu yang akan dia lakukan. Kalau aku betul-betul menginginkan jawaban, maka aku harus mencari cara lain.

"Sejak kapan?" Aku memutuskan untuk langsung main tembak saja. Cara itu berhasil karena Anne kini mengangkat wajahnya.Dia terlihat gugup.

"Ren..." suara Anne terdengar merajuk. "Aku bukannya suka sama Cello. Kamu lupa? Kayaknya aku pernah cerita kalau cuma suka sama tulisan-tulisan dia, deh. Trus kebetulan kami punya selera bacaan yang sama, jadinya agak nyambung. Itu aja, kok. Jadi..."

"Sejak kapan?" Ulangku sekali lagi, kali ini dengan nada yang sebisa mungkin terdengar lebih lunak. Padahal, jujur saja, sulit bagiku untuk menahan rasa gemas. Rasanya saat ini aku kepengin banget melabrak Cello dan memintanya untuk fokus saja mengurus pacarnya yang seram itu! "Ayolah, Ne. Aku tau sejak pertama kenalan sama Cello di perpustakaan, kamu jadi sering ngobrolin dia. Aku juga tau setelah itu kalian diam-diam sering saling pinjam buku trus tukeran pesan di sana. Iya, kan?"

"Kamu tahu, Ren?" Anne terlihat kaget.

"Oh, come on..." aku memutar bola mata. "Kita udah temenan berapa lama, sih? Tentu aja aku tahu—" setengah mati aku menahan diri supaya jangan sampai keceplosan kalau pernah melihat salah satu pesan Cello di buku milik Anne,"—cuma aku sengaja nggak nanya karena aku nungguin kamu cerita, Ne. Aku pilih diam sambil ngeliatin supaya kalian nggak lebih dari itu karena... Kamu tau Bianca, kan?"

"Dan sekarang kalian sudah lebih dari itu..." lanjutku perlahan, "...makanya aku nggak bisa diem lagi..."

Tanpa kuduga, Anne tak membantah. Dia hanya memejamkan mata dan menunduk, kemudian mengangguk pelan. Sangat pelan, sampai-sampai aku tak yakin kalau barusan ada sebuah gerakan kepala dari Anne.

"Makasih, Ren," gumamnya lirih. "Makasih buat nggak nanya-nanya. Kamu emang paling ngerti aku. Selama ini aku masih bingung dan, iya... Aku tahu Bianca. Tapi...."

Anne menggantungkan kalimatnya dan aku cukup tahu diri untuk nggak bertanya lebih lanjut. Persahabatan kami mungkin nggak seperti persahabatan cewek-cewek lain yang kadang sampai mengaburkan batas privasi, tapi mudah saling melukai bila ada yang tak sesuai ekspektasi. Aku dan Anne—kami berdua sama-sama bukan tipe yang mudah mencurahkan isi hati. Jika Anne tak mau bicara, maka aku takkan memaksanya. Aku akan kembali diam, menunggu sampai tiba waktunya dia memutuskan untuk cerita semuanya sampai tuntas.

Namun, walau Anne tak mengatakan apapun, tak perlu jadi ahli untuk tahu kalau sahabatku itu memang menyukai Cello.Nggak tahu, deh, bagaimana dengan perasaan Cello pada Anne, tapi—ASTAGA!Kenapa harus Cello, sih? Duh!Dalam hati aku bertekad akan membujuk Anne untuk membatalkan rencana kencannya dengan Cello, apapun yang terjadi. Namun....

Semua kata-kata bujukan itubatal meluncur saat melihat setetes air mata turun membasahi pipi Anne, yang buru-buru dia usap. Aku tertegun. Bertahun melabeli diri sebagai sahabatnya, tentu saja sudah lebih dari lusinan kali aku melihat Anne menangis. Namun ini pertama kalinya aku melihat Anne menangis bukan karena dirisak atau karena masalah keluarga. Aku sering mendengar pepatah kalau cinta bisa mengubah seseorang, tapi jujur saja aku tak mengira akan melihat Anne sampai seperti ini.

Dalam hati aku mengeluh.

Apa boleh buat.

Bingung harus mengatakan apa, tiba-tiba saja terpikirkan untuk mengalihkan perhatian Anne. Setidaknya sampai dia cukup tenang untuk mendengar nasihatku.

"Umm—"Pada akhirnya yang terpikir olehku hanyalah kode-kode kesukaan Anne. Semoga ini bisa membuat Anne sibuk untuk sementara waktu."Udah, kita setop sampai sini aja, ya?" aku mengeluarkan buku catatan kode dari Anne. "Lanjut belajar kode lagi, yuk? Aku masih bingung sama kode bahasa yang kamu buat kemarin. Yang bahasa Jepang, sih, aku masih agak ngerti. Tapi aku masih bingung sama kode yang pake Hangul. Terus...."

"Ren..." gumamnya lirih. "Kita pulang aja yuk? Aku lagi nggak mood."

Aku terkesiap.

Gawat.

Ternyata ini lebih gawat dari perkiraanku semula. Dan...

Mendadak jantungku berdesir hebat. Sebentuk perasaan asing mulai menggeliat; membuatku gelisah. Tak nyaman. Instingku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi, entah apa itu.

Gemetar, aku melempar tatapan langsung ke arah Anne.

"Ne... Sekali lagi...Plis, pikirin baik-baik kata-kataku tadi, ya?"

Anne tak menjawab, dan itu membuat perasaan tak nyaman semakin kuat menguasaiku.

Ya.

Sesuatu yang buruk akan terjadi.

Aku tahu itu.

Aku tahu.

Dan sayangnya aku tak tahu cara untuk mencegah itu terjadi....

* * * * *

BIIPPP! BIIPPP!

Bunyi notifikasi ponsel membuyarkan lamunanku. Dengan enggan aku meraih ponsel yang sengaja kuletakkandi pinggiran washtafel dekat bathtub. Aku betul-betul bersyukur ponselku masih utuh setelah ikut jatuh menggelinding di tangga sekolah waktu itu—thanks to casing anticrack yang awalnya kubeli untuk iseng saja.

Setelah kucek, rupanya ada pesan WA yang masuk. Mama.

Mama: Papa dinas ke Jakarta. Mama ada seminar ke Semarang. Kami pulang besok. Makanan di kulkas tinggal dipanaskan. Jangan lupa kunci rumah kalau pergi.

Mama: Uang jajan udah di transfer.

Mama: Jangan bawa cowok nginep.

Cih.

Aku menatap datar pesan dari Mama dan langsungmenutup aplikasi itu tanpa membalasnya. Untuk apa? Toh mereka selalu sibuk sendiri—Papa dengan pekerjaan kantornya dan Mama dengan bisnis MLM-nya. Mereka bahkan tak peduli—atau mungkin tak tahu kalau semalaman aku tidak pulang. Jadi, kurasa tak ada gunanya membalas pesan itu, kan?

Tanpa sadar aku menarik napas panjang. Diam-diam bersyukur karena semalam Cello sudah menolongku. Walau sosok itu masih membuatku alergi, tak bisa dipungkiri aku berhutang budi padanya. Kalau tidak ditolong oleh Cello, mungkin aku akan gila karena terkurung di kelas kosong itu sampai hari Senin tanpa ada yang sadar kalau aku nggak pulang ke rumah. Dalam kondisi baju basah kuyup dan ketakutan karena dikurung di ruangan tempat Anne gantung diri, bisa jadi aku akan lompat dari jendelasaking stressnya —seperti taruhan yang dilakukan oleh Tata dan Ellen.

Cello.

Perasaanku campur aduk saat menyebut nama itu. Di satu sisi aku membenci semua kesulitan yang dia timbulkan untuk Anne, sementara di sisi lain aku baru saja ditolong olehnya. Jadi, sebetulnya Cello ada di sisi mana? Dia kawan atau lawan? Sambil mengembalikan ponsel ke tempatnya semula, ingatanku memutar lagi obrolan dengan Cello dini hari tadi. Walau tak banyak yang kudapat, sepertinya ada beberapa hal yang perlu kugarisbawahi.

Bianca memegang rahasia Cello.

Itu fakta penting pertama yang harus kucatat.

Pertanyaan selanjutnya, apa rahasia Cello?Maksudku, dia cowok, gitu, loh. Apalagi kurasa Cello punya latar belakang keluarga yang cukup baik karena—gimana ya? Aura nggak bisa bohong, sih.Seantipati apapun aku pada Cello, kuakui kalau cowok itu terlihat berbeda dibanding cowok-cowok lain di kelas kami. Ada kesan berkelas yang sulit kujelaskan dengan kata-kata. Yang aku bingung, kenapa Cello nggak balas mengancam dengan kekuatan fisik?Atau mungkin sekalian saja dia pakai pengaruh keluarganya? Kenapa dia sampai segitunya nggak bisa membantah Bianca? Padahal aku yakin 100% cowok itu pasti juga muak menghadapi setan berwajah malaikat itu.

Tapi...

Kalau Bianca sampai sebegitunya mengikat Cello, kurasa cewek sialan itu yang memaksa Cello untuk pacaran dengannya. Dan itu berarti...

NAH!

Aku menegakkan tubuh.

Bianca. Cello. Anne.

Rasanya aku mulai memahami sesuatu; memahami bentuk kebencian dan juga ikatan tak terlihat yang menghubungkan ketiga nama itu. Sepertinya aku pun mulai memahami bentuk perasaan Bianca yang sesungguhnya dan—ugh, jujur saja, itu membuatku merinding. Sangat merinding.

Aku berani bertaruh Bianca mencintai Cello.

Oke, entah dengan cinta, tapi yang pasti Bianca menguasai Cello.Namun Cello malah mendekati Anne yang juga menyukai Cello. Padahal Bianca sangat membenci Anne yang pernah mengalahkannya. Itu... MENGERIKAN!Dalam keadaan marah biasa saja Bianca sudah lihai menyembunyikan jejak dan menggerakkan orang lain. Apalagi kalau dia sangat murka. Bukankah kebencian, keinginan untuk menguasai, dan kemurkaan adalah kombinasi hebat yang beberapa kali menjerumuskan dunia dalam perang besar?

"Kalau segampang itu nyari kelemahan dia, mungkin sekarang aku udah bebas..."

"Dan Bianca juga bukan tipe yang suka ngotorin tangannya sendiri. Kamu bakalan sulit nyari bukti kalau dia terlibat dalam masalah ini dan itu karena dia bisa ngebuat seolah-olah orang lain yang ngelakuin itu."

Kali ini kata-kata itu yang melintasi pikiranku dan seketika aku mengeluh. Ya, obrolan dengan Cello membuatku semakin yakin kalau Bianca lawan yang terlalu kuat untuk kuhadapi sendirian. Padahal aku sudah menggenggam bukti-bukti perisakan yang dialami oleh Anne. Padahal dugaan kalau Bianca terlibat dalam kematian Anne sudah semakin jelas—bahkan kini aku menemukan motif yang cukup kuat. Namun apa yang harus kulakukan untuk menyambungkan seluruh bukti itu dan mengangkatnya ke permukaan supaya Bianca cepat mendapat balasannya?Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan bukti tak bergerak yang akan membuat Bianca betul-betul mati kutu?

Tunggusebentar.

Rasanya Cello juga menyebutkan sesuatu; sesuatu yang mungkin terlalu penting untuk kuabaikan.

"Bianca memang terlalu kuat untuk dihadapi dari depan. Sangat kuat. Tapi bukan berarti dia nggak bisa dihadapi dari samping. Atau belakang."

"Kamu harus tahu, bahkan rahasia pun punya rahasia sendiri."

Rahasia yang punya rahasia.

Bianca yang terlalu kuat untuk dihadapi dari depan, tapi mungkin bisa dihadapi dari samping atau belakang.

HAH!

Aku mendengkus frustrasi.

Nggak jelas! Gerutuku sebal. Apa maksudnya dia mungkin bisa dihadapi dari samping atau belakang? Yang ada di samping atau belakangnya paling-paling cuma genk sialannya itu! Masa aku harus....

Tiba-tiba aku terdiam. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top