Knot#13: "Bye, Karen"

Saying goodbye is the painful way of solving a problem

unknown


JARUM JAM menunjukkan pukul setengah lima pagi, saat motor Cello melaju meninggalkan area sekolah SMA Bhakti Paloma menuju rumahku di kawasan Ciumbuleuit. Suhu udara kota Bandung yang saat itu mencapai angka 16 derajat Celcius terasa menusuk pipi dan beberapa bagian tubuh yang tidak tertutupi oleh jaket yang dipinjamkan oleh Cello. Untung saja pikiranku tengah sibuk mencerna semua cerita dan kata-kata Cello beberapa jam sebelumnya, jadi aku tak sempat meributkan udara pagi ini.

Aku masih mengingat jelas ekspresi Cello saat pertanyaan tentang hubungannya dengan Bianca terucap. Cowok itu terlihat gugup dengan wajah sedikit memelas; sepertinya mencoba meminta supaya dia nggak harus menjawab itu.

"Harus kujawab?"

Pertanyaan itu langsung kusambut dengan anggukan pasti, dan Cello kembali mengusap wajahnya. Setelah lama terdiam, akhirnya Cello menghela napas panjang.

"Soal Bianca..." dia mendengkus pelan. "Sulit untuk diceritain, tapi... Simply to say, aku nggak bisa lepas dari dia karena..." Cello terdiam sejenak,"dia pegang rahasiaku. Sori, cuma itu yang bisa kubilang."

"Oh!" Penjelasan singkat itu lumayan membuatku mendapat pencerahan kenapa Cello terlihat begitu takluk pada Bianca. Pantas saja cowok sebaik Cello mau jalan dengan Bianca! Tapi, rahasia? Rahasia apa?

"Rahasia apa, Cel?" Aku langsung menutup mulut saat pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja. Apalagi Cello langsung memberikan tatapan "plis deh!" sambil merengut sebal.

"Ngapain? Mau jadi Bianca kedua?" celetuknya ketus. Aku meringis malu. Keheningan ganjil pun terjadi lagi di antara kami sampai sebuah kalimat tiba-tiba meletup dalam ingatanku.

TENTANG BIANCA TANYA CELLO KAREN TOLONG

Ah iya! Benar!

Semua perisakan yang terjadi akhir-akhir ini membuatku lupa tentang hal itu. Waktu itu aku gagal bertanya pada Cello karena Bianca memergokiku. Namun saat ini hanya ada kami berdua. Ini saat yang tepat!

"Umm..." lagi-lagi aku bingung harus mulai dari mana. Duh, Ne, terus aku harus nanya apa?

"Ya?"

Kepalang basah, aku langsung tembak saja.Bukankah cara ini berhasil pada Kak Sam?

"Tentang Bianca... Kamu bisa ceritain sesuatu tentang dia?" tanyaku hati-hati. Cello mengerutkan keningnya dalam-dalam hingga alisnya nyaris saling bertaut.

"Kenapa?"

"Ngg—"

NAH!

Sudah kuduga dia bakalan nanya ini!

Kalau kayak gini, bingung, kan, harus jawab apa? Demi menyelamatkan harga diriku, aku langsung memasang tampang galak walau sebetulnya aku sangat gugup. "Jawab aja, deh!"

Ekspresi kaget menghiasi wajah Cello. Kayaknya dia nggak mengira aku akan menyentaknya seperti itu. Alhasil selama beberapa waktu dia hanya mengerjapkan mata, sementara aku berusaha tetap mempertahankan ekspresi galakku.

"Cerita apa?" tanyanya bingung. "Kayaknya hampir semua tentang Bianca bisa kamu temuin di medsosnya, deh. Atau jangan-jangan..."Kali ini Cello menatapku curiga. "Kamu lagi nyoba nyelidikin tentang Bianca? Kamu mau cari kelemahan dia?"

Oh....

OH!

Mungkin untuk itu Anne memintaku bertanya tentang Bianca pada Cello, ya? Supaya aku bisa menemukan kelemahan Bianca, yang mungkin akan mengungkap misteri dibalik kematian Anne. Berbekal keyakinan itu, aku balas menatap Cello dengan ekspresi serius.

"Ceritain apa aja," tukasku—masih dengan nada garang, "yang nggak bisa ditemuin di internet. Terserah dianggap lagi nyelidikin atau sekadar kepo. Kamu, kan, salah satu orang terdekat Bianca. Pasti kamu tahu banyak tentang dia. Apa yang dia sukai, apa yang dia benci, rahasianya. Apapun!"

Cello mendengkus.

"Kalau segampang itu nyari kelemahan dia, mungkin sekarang aku udah bebas," cibirnya. Wajahnya terlihat sebal. "Bianca itu.... Sulit untuk nyari kelemahan dia. Dia punya kekuasaan dan dia tau cara menggunakannya. Keluarganya selalu di belakang dia. Untuk urusan sekolah ini, semua betul-betul dalam kendali dia dan keluarganya. Dan Bianca juga bukan tipe yang suka ngotorin tangannya sendiri. Kamu bakalan sulit nyari bukti kalau dia terlibat dalam masalah ini dan itu karena dia bisa ngebuat seolah-olah orang lain yang ngelakuin itu."

Aku paham betul apa maksud Cello. Ingatan tentang bagaimana Bianca membuat Ellen dan Tata mengeluarkan ide-ide gilanya terbayang kembali.

"Bianca juga serius ngelola image publiknya," lanjut Cello, masih dengan nada muak. "Percaya atau nggak, dia udah konsultasi sama ahli konsultan branding untuk ngerumusin blue print karier nulisnya nanti. Dia udah ada gambaran tema apa yang boleh dan nggak boleh dia tulis, ciri khas apa yang harus dia tonjolin, strategi promosi yang cocok buat image-nya, you name itu. Dia juga serius ngelola medsosnya, punya orang IT yang siap jadi backingsekaligus ngebersihinisu negatif tentang dia di internet, fotografer profesional untuk motret barang-barang endorse, dan tim konsultan khusus untuk ngatur konten medsosnya. Dia betul-betul pengin dikenal punya beauty, brain, behaviour, dan classwalau... yah, you know, tau sendiri aslinya kayak gimana."

Penjelasan Cello langsung membuat semangatku terjun bebas ke level terbawah. Aku tahu Bianca bukan lawan yang mudah, tapi... ASTAGA! Tuhan, kenapa? Kenapa harus ada tokoh antagonis sesempurna itu, sih? Kalau memang benar kata-kata Cello, pasti bakalan sulit banget untuk mencari kelemahan Bianca.Namun....

Hm, tunggu dulu.

Sepertinya ada satu hal yang bisa kucoba. Ini beresiko mengundang kecurigaan Cello, tapi... Setidaknya aku bisa mencobanya.

"Cel... Umm, kamu selalu bareng sama Bianca?" tanyaku hati-hati.

"Hanya kalau dia mau dan, ya, itu artinya hampir selalu," lagi-lagi Cello tak bisa menyembunyikan perasaan jijiknya. "Kenapa?"

"Hanya penasaran," aku mencoba mencari cara untuk mengatakan ini tanpa membuat Cello waspada, "tentang Anne. Kamu, kan, yang pertama nemuin Anne. Apa... Apa saat itu ada Bianca di sekolah?"

Walau aku sudah mencoba untuk bertanya dengan hati-hati, tapi ternyata itu membuat ekspresi Cello berubah drastis. Cello tak hanya menatapku dengan mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Rona wajahnya kini memucat. Sangat pucat.

"Anne?" Suaranya terdengar seperti tersekat di tenggorokan. "Kenapa dengan Anne?"

Eh? Kenapa Cello terlihat begitu aneh?

Bingung, aku memutuskan untuk berterus terang saja. Tentunya tanpa menyebut soal kode-kode yang kutemukan itu.

"Sebetulnya, Anne sempat minta aku tanya-tanya tentang Bianca ke kamu, Cel," sebisa mungkin aku mencoba terdengar tenang. Dan wajar. "Makanya aku—"

"ANNE YANG MINTA?" Cello tersentak kaget. Shock. Dia seperti baru mendapat sebuah pukulan keras sampai-sampai terhuyung mundur dan membentur dinding di belakangnya. Selama beberapa waktu dia hanya menatapku dengan tatapan horor dengan wajah yang semakin pias saja.

"Cel?"

Tak ada respon.

"Cel? CELLO?"

"Ah!"

Aku mengerutkan kening, menatap Cello yang kini terlihat begitu linglung. Dia kenapa? Sadar kalau tengah kuperhatikan, Cello pun berdeham dengan gestur yang terlihat gugup—atau mungkin, ketakutan?

"U-udah jam segini," Cello melirik jam tangannya. "Kamu... Kamu tidur dulu aja, Ren. Jam lima pagi aku anterin ke rumah. A-aku, eh, aku tidur di kelas sebelah. See ya!"

Setelah ituCello terhuyung keluar dari ruang UKS. Langkah kakinya terdengar seperti terseok-seoksebelum akhirnya menghilang menyisakan keheningan dini hari.

* * * * *

Kenapa Cello keliatan aneh?

Pertanyaan itu terus menghantuiku hingga Cello membangunkanku jam lima kurang—walau sebetulnya aku nyaris tak bisa tidur. Awalnya aku berencana untuk memaksa Cello cerita. Namun melihat wajahnya begitu kusut dan capek banget—aku berani bertaruh dia nggak tidur sama sekali—alih-alih memaksa, aku malah jadi khawatir.Well, oke, sedikit khawatir.

"Cel, kamu baik-baik aja?" Perasaan khawatir itu makin kuat setelah melihat ada lingkar hitam di matanya. Bau rokok pun tercium samar dari bajunya, padahal setahu aku Cello bukan perokok. Gara-gara itu aku jadi makin yakin kalau dia bukan hanya nggak tidur, tapi mungkin sekaligus memikirkan banyak hal. Apalagi kini Cello terlihat sedikit gelisah.

"Humm." Hanya itu jawaban yang kudapat. Dia hanya menyerahkan jaket dan memberikan isyarat supaya aku mengenakannya.

"Eh? Trus kamu nggak pake jaket, Cel? Dingin, loh!"

"No probs," singkat dan padat. Setelah itu dia kembali bungkam.

Pagi itu Cello melarikan motornya seperti dikejar setan. Mungkin aku terlalu berprasangka, tapi kurasa dia sengaja melakukan itu supaya tak ada kesempatan bagi kami untuk ngobrol. Usahanya itu berhasil karena aku jadi lebih fokus berpegangan pada Cello supaya tidak jatuh dari motor dan hanya perlu beberapa menit saja tahu-tahu kami sudah ada di depan rumahku.

"Yaps, sampai."

Tanpa banyak bicara aku beringsut turun dari jok motor, kemudian membuka kaitan helm dan menyerahkannya pada Cello. Tak lupa aku melepaskan jaket yang masih menyisakan aroma musk itu. "Makasih. Untuk semuanya."

Cello menerima helm dan jaket itu dalam diam. Sesaat kupikir Cello akan langsung melesat pergi. Diluar dugaan, dia malah menatapku dengan wajah yang terlihat, err, gugup?

"Anu..." Cello mengusap wajahnya, "sori kalau waktu itu aku bikin kamu takut. Waktu kamu baru pulang dari rumah Anne, maksudku."

Loh? Jadi...

"Eh? Jadi yang waktu itu kamu, Cel?" Aku terbelalak. "Ta-tapi, kenapa? Kenapa nguntit aku, sih?"

"Jangan salah paham, aku bukannya nguntit kamu!" tukas Cello keki. "Cuma khawatir. Masalah Bianca, maksudku. Aku cuma mau ingetin kamu supaya hati-hati. Kebetulan aku tahu kamu ke rumah Anne. Makanya aku ikutin trus tungguin kamu pulang dari sana. Sayangnya baru juga aku bilang 'hai', kamunya kabur. Aku panik. Daripada digebukin massa, terpaksa aku kabur juga."

Ingatanku langsung memutar kembali saat si penguntit—maksudku, Cello—membuntutiku sepulang dari rumah Anne. Setelah kupikir-pikir, mungkin saat itu aku memang terlalu paranoid—dan sebetulnya wajar saja mengingat apa yang sudah kualami bersama Bianca.

"Sori...." Aku meringis. "Aku pikir kamu penguntit.... Makanya aku kabur...."

"No probs," jawab Cello.

"Eh, Cel... Kalau gitu, apa kamu juga yang kirim paket ke rumah aku?" Tiba-tiba aku jadi teringat pada paket berisi novel L yang dikirimkan secara misterius.

"Paket? Paket apa?" Cello mengeryitkan keningnya. "Aku nggak pernah kirim paket atau apapun." Jawaban Cello itu membuatku tertegun. Bingung. Jadi... Siapa yang sebetulnya mengirimkan paket buku dari Anne untukku?

"Udah, itu aja. Ah, satu lagi..." Cello terlihat menarik napas panjang. Kali ini ekspresi wajahnya terlihat seperti tengah memendam sesuatu yang sulit untuk diungkapkan.

"Tentang Bianca..." dia mengambil jeda sesaat, "...maaf aku nggak bisa bantu. Tapi kalau ini tentang Anne, mungkin ada hubungannya dengan Valentine kemarin. Dan, tunggu—aku selesaiin dulu," Cello mengisyaratkan supaya aku diam dulu. Apa boleh buat, aku langsung bungkam. "Satu lagi. Bianca memang terlalu kuat untuk dihadapi dari depan. Sangat kuat. Tapi bukan berarti dia nggak bisa dihadapi dari samping. Atau belakang. That's all."

"Huh?" Aku ternganga. "Dari samping? Belakang? Maksudnya?"

Cello menggeleng keras.

"Nanti juga kamu tahu, cepat atau lambat," jawabnya dengan nada sungguh-sungguh. "Ini memang belum pasti—dan seharusnya aku nggak bilang ini, tapi... Kamu harus tahu, bahkan rahasia pun punya rahasia sendiri."

Bahkan rahasia pun punya rahasia sendiri. Maksudnya?

"Cel, gi-gimana?" Sumpah, semua kata-kata Cello itu malah membuatku makin bingung. Kenapa aku nggak ngerti sama sekali apa yang dia bicarakan, sih? Namun lagi-lagi Cello hanya menggeleng keras.

"Oke, cuma itu yang bisa aku bilang. Dan, ingat janji kamu semalam, jangan sebut-sebut soal Mang Tarya, Bi Erus, dan juga aku."

Walau masih sangat-sangat bingung, aku mengangguk pelan.

"Aku janji," jawabku mantap.

"Nice," Cello terlihat lega. Senyum tipis pun terulas di wajahnya yang, entah kenapa, kurasakan ada kepahitan di sana. Bahkan tatapan matanya pun terlihat begitu sendu; begitu suram."I really wish you a very good luck. Jaga diri. Hati-hati dengan Bianca, karena setelah ini aku mungkin nggak bisa nolongin kamu lagi. Bye, Karen."

Setelah itu Cello segera memacu motornya, meninggalkan aku yang masih berdiri membeku; mencoba mencerna semua sikap dan juga kata-kata Cello tadi.

Bye?

Maksudnya?

Dan... Valentine?

Satu kata itu membuatku tertegun lama.Sebuah luka yang belum betul-betul kering itu pun mulai terbuka kembali. Namun kali ini bukan darah yang merembes keluar, melainkan kenangan pahit yang sangat ingin kulupakan.

Kenangan tentang hari-hari terakhir bersama Anne. []     

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top