Knot#12: Tell Me The Truth
Sometimes hearing the truth takes more courage than speaking the truth
Amit Kalantri, Wealth of Words
SEBUAH pemandangan yang familier masuk ke mataku yang mulai terbuka: langit-langit ruangan berwarna putih. Hanya saja kipas besar itu tak lagi berputar sedikit malas—mungkin karena udara malam ini cukup dingin.
HAH? Malam?
Refleks aku terlompat duduk dan mengedarkan pandangan ke ruangan ini dengan ketakutan. Ya, benar. Sekarang aku ada di ruang UKS. Namun, gimana caranya aku bisa sampai ke sini? Dan... Kenapa aku bisa langsung tahu kalau sekarang sudah malam?
Butuh waktu beberapa detik untukku mengingat kalau sebelum ini aku berada di ruang kelas kosong yang ada di lantai tiga—ruangan tempat bunuh diri Anne. Bianca menggerakkan genknya untuk mengurungku di sana dalam kondisi basah kuyup. Seingatku ruangan itu terkunci rapat. Lantas, gimana caranya aku bisa keluar dari sana?
Perlahan ingatanku memutar kembali potongan-potongan adegan yang masih terasa samar. Seingatku, rasanya ada yang membuka pintu ruangan kelas itu dan orang itulah yang menolongku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Dan, kalau aku tak salah ingat, dia adalah...
"Cello?" gumamku tak percaya.Ta-tapi itu enggak mungkin, kan?Aku menggeleng keras. Maksudku, gimana caranya Cello menolongku? Dia, kan, nggak tahu kalau aku dikurung di sana? Lagipula, Cello nggak punya alasan untuk menolongku. Kami sama sekali nggak berteman, bahkan bisa dibilang hubungan kami tidak baik. Jadi, untuk apa Cello bersusah payah? Atau jangan-jangan aku cuma berhalusinasi saja?
"Ngg—"
"Huh?"
Jantungku seolah melompat keluar dari rongga dada saat mendengar suara erangan halus itu. Ada orang lain disini? Siapa? Jangan-jangan.... Bianca?
Gemetar, aku kembali menarik selimut dan menggulung tubuhku di atas tempat tidur; mencoba menyembunyikan diri dari situasi yang tidak kupahami ini. Jantungku berdebar makin keras saat menyadari ada bunyi krosak-krosakdari balik sekat yang memisahkan tempat tidur ini dengan sofa, disusul dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahku. Aku terlonjak saat sebuah tepukan mendarat di bahuku yang berlanjut jadi sebuah guncangan pelan.
"Karen? Hey? Udah bangun?"
Eh? Suara itu?
Takut-takut, aku menyembulkan kepala dari balik selimut. Mataku membulat saat menyadari siapa yang baru saja mengguncangku.
"Ce... Cello?"
* * * * *
"Minum dulu," setengah menguap Cello menyodorkan secangkir teh panas yang kuterima dengan pandangan berterima kasih, yang buru-buru kusamarkan menjadi sebuah ekspresi datar. Tanpa basa-basi aku langsung menyeruput teh itu. Cairan merah kehitaman dengan rasa manis itu pun langsung tergelincir masuk ke tenggorokan, menyebarkan rasa hangat-manis yang sangat kubutuhkan setelah semua yang kualami tadi.
"Makasih..." gumamku enggan. Hati kecilku masih menolak percaya kalau Cello-lah yang telah menolongku—bahkan sampai membuatkan teh panas. Namun, yah, ini kenyataannya. Apa boleh buat, aku tak punya pilihan selain berterima kasih walau kuucapkan dengan nada segan.Seperti biasa, cowok itu cukup sadar diri kalau aku hanya setengah hati menanggapinya karena raut wajahnya kembali berubah. Hanya saja kali ini dia memilih untuk mengabaikan itu. Tangannya malah bergerak mengambil cangkir teh dari tanganku dan menggantinya dengan semangkok bubur dari atas nakas.
"Abis itu makan ini," ucapnya. "Bubur instan, sih, tapi lumayan buat isi perut."
Tepat pada saat itu ayam jantan di perutku berkhianat dan berkokok kencang sampai-sampai Cello membulatkan matanya. Astaga, malunya!Tapi, yah.... Apa boleh buat, sejak sore tadi perutku kosong, sih. Sekarang bukan saatnya mikirin tentang malu. Yang penting isi perut dulu, deh!
Tanpa basa-basi aku langsung melahap bubur instan itu.Di sela waktu makan, aku sempat melirik ke arah Cello. Aneh, cowok itutak mengucapkan apa-apa lagi dan hanya berdiri diam mengamatiku. Padahal biasanya dia cukup mahir membuka pembicaraan. Namun kali ini dia hanya bersandar di salah satu dinding ruang UKS sambil melipat tangan. Cello seperti sengaja membiarkan keheningan ganjil menyelimuti ruang ini sampai-sampai akhirnya aku menyerah. Rasanya tak enak hati kalau tidak mengatakan apapun. Tidak setelah semua yang dia lakukan ini.
Beberapa detik kemudian mangkok itu sudah licin. Sambil mengelap mulut dan meletakkan mangkok kembali ke atas nakas, aku berdeham untuk membuka pembicaraan.
"Umm—"aku menggigit bibir—mencoba meyakinkan diri kalau memang inilah yang seharusnya kulakukan. "Sekali lagi, makasih."
"Hm?!" Diluar dugaan, Cello terlihat kaget. Ish, nggak sopan!Emang segitu anehnya kalau aku ngucapin terima kasih, ya?Gerutuku dalam hati. Ini yang namanya manners dan, well, I'm not raised by wolves, right?
Kepalang tanggung, kulanjutkan kata-kataku.
"Makasih udah nolongin aku," ucapku dengan nada yang sebisa mungkin terdengar wajar. Semoga kali ini bisa terdengar lebih tulus. "Dan makasih juga untuk teh ini," tambahku, "dan buburnya."
"Oh... ya..." Sungguh sebuah jawaban yang canggung. SepertinyaCello betul-betul tak menyangka kalau aku akan mengatakan itu karena dia kini terlihat salah tingkah dan menyelipkan tangan ke saku celananya. Otomatis perhatianku jadi beralih padanya. Saat itulah aku baru sadar kalau malam ini Cello terlihat berbeda, lebih keren dari biasanya. Umm, okay, aku memang jarang melihat dia di luar sekolah. Namun dengan penampilan seperti sekarang—dia memadukan jeans warna biru dongker dengan kaus Polo warna biru muda, ditambah dengan sepatu Adidas keren yang tak kukenali tipenya—Cello terlihat begitu trendi, seolah baru pulang dari sebuah acara. Otomatis aku jadi bertanya-tanya.Dengan penampilan seperti itu, kenapa dia bisa ada di sekolah malam-malam begini?
"By the way, sori tadi aku nggak langsung anter ke rumah," suara Cello membuyarkan keheningan yang baru saja kami alami lagi. "Tadi kamu, umm, dingin. Banget. Dan aku pakai motor. Jadi aku bawa ke sini untuk pertolongan pertama."
Aku mengerjapkan mata.
Ah, benar juga.
Kalau Cello langsung mengantarku ke rumah, mungkin saja kondisiku akan semakin payah selama di perjalanan. Belum lagi kami mungkin harus menghadapi berbagai pertanyaan dari Papa dan Mama.
Mungkin, loh, ya.
Begitu juga kalau Cello membawaku ke rumah sakit, pasti nggak kalah repotnya. Apalagi ditambah dengan berbagai urusan administrasi dan kemungkinan masalah akan jadi panjang sampai ke pihak sekolah. Aku, sih,nggak keberatan melihat Bianca dan genk jeleknya itu dihukum.Enggak sama sekali. Namun jujur saja, membayangkan berbagai keriuhan yang mungkin terjadi sudah bikin capek. Setelah kupikir ulang, dari berbagai opsi itu, yang resikonya paling rendah sekaligus paling efektif adalah dengan membawaku ke ruang UKS ini.Cello melakukan hal yang tepat.
"Makasih," kali ini aku betul-betul tulus saat mengucapkan itu. "Tapi, kok kamu bisa nolongin aku? Maksudku, kok kamu tahu aku dikurung, Cel?"
Kali ini Cello betul-betul terlihat tak nyaman. Cowok itu kembali memasukkan tangannya ke saku celana sambil mengulum bibirnya. Selama beberapa waktu dia diam saja sebelum menarik napas panjang.
"Aku... Tadi lagi jalan dengan Bianca," suaranya lirih, "dan teman-temannya,"tukasnya buru-buru. "Ada live music di sebuah café dan kami tadi ke sana."
Dia berhenti sejenak, memberikan jeda yang memancing rasa penasaranku.
"Saat itulah aku nggak sengaja dengar Ellen ngobrol sama Tata, dan mereka ngebicarain kamu. Hanya sekilas, sih, tapi yang kutahu mereka pasang taruhan kira-kira kapan kamu bakalan loncat dari jendela. Dan, Bianca..." ekspresi jijik sekilas tergambar di wajah Cello,"dia yang mancing-mancing supaya ada taruhan itu."
Penjelasan Cello itu sukses membuat darahku mendidih. Emosiku menggelegak. Gemas, aku meremas selimut yang ada di tanganku.
Cewek-cewek itu keterlaluan! SANGAT KETERLALUAN! Mereka nggak punya hati! Mereka nggak cuma mengeroyok dan mengurungku di ruangan tempat bunuh diri Anne, tapi mereka juga pasang taruhan di atas kesulitan orang lain! HIIHH! Tuhan, kenapa tidak kau ubah saja mereka jadi keledai, sih? Kurasa mereka akan jauh lebih berguna jadi keledai dibanding jadi manusia!
"Sialan..." setengah mati aku menahan supaya supaya tak ada emosi yang melompat keluar, tapi ternyata aku gagal. Sulit rasanya menahan diri setelah semua yang kuterima tadi.
"Sori aku nggak bisa datang lebih cepat," kali ini nada penyesalan tergambar dari suara Cello. "Gawat kalau mereka curiga. Makanya aku baru ke sini setelah nganterin Bianca karena motorku ada di rumah dia. Kalau, kalau aku bisa datang lebih cepat, mungkin—"
Aku menggeleng keras.
"Paling nggak sekarang aku selamat," tukasku. "Tapi..." Aku mengamati diriku dan menyadari kalau seragamku yang basah sudah berganti dengan kaos santai dan celana kulot. "Tapi, bukan kamu yang gantiin bajuku, kan?"
Wajah Cello langsung berubah masam. Bibirnya merengut, membuat ekspresinya terlihat begitu kekanakan. Tidak seperti Cello yang biasanya.
"Hell no!" Gerutunya sebal. "Sori, tapi aku tahu etika. Aku tadi minta Bi Erus buat gantiin baju kamu. Itu baju anaknya, ngomong-ngomong. Bi Erus juga yang bukain ruang UKS ini dan Mang Tarya yang bantuin aku buat nyari kamu."
"Tapi," Cello buru-buru menukas, "aku minta tolong, jangan bawa-bawa Mang Tarya dan Bi Erus dalam masalah ini. Kasian kalau mereka sampai dipecat dan nggak jadi penjaga sekolah ini lagi. Aku udah janji kalau mereka akan aman, makanya mereka mau bantuin. Makanya, plis? Ngerti maksudku?"
Rupanya Cello betul-betul cerdas. Dalam situasi genting, dia bisa membujuk Mang Tarya dan Bi Erus untuk membantunya. Padahal mungkin saja mereka akan kehilangan pekerjaan karena berurusan dengan nona besar putri Ketua Yayasan. Aku harus berterima kasih untuk itu, jadi tak ada alasan buatku untuk membocorkan keterlibatan mereka—walau aku masih belum tahu harus bilang apa kalau ditanya oleh Bianca nanti.
"Ngerti," jawabku, "aku janji nggak akan bawa-bawa nama Mang Tarya dan Bi Erus. Kamu juga nggak usah khawatir, Cel, karena aku nggak akan sebut-sebut kamu."
Seketika wajah Cello terlihat cerah saat mendengar kata-kataku, sampai-sampai aku berpikir kalausebetulnya dia juga mengkhawatirkan nasibnya sendiri tapi terlalu gengsi untuk mengatakan itu. Namun, sedikit banyak aku jadi bertanya-tanya, gimana mungkin cowok kayak Cello bisa menjadi pacar cewek setan-berwajah-malaikat kayak Bianca?
"Cel... Sori kalau aku kepo, tapi..." aku berdeham sejenak, "...aku heran kenapa kamu bisa jadian sama Bianca. Jujur saja, kalian nggak kayak orang pacaran. Kamu kayak, umm, takut sama Bianca. Sebetulnya di antara kalian ada apa?"
Ekspresi Cello terlihat shock. Sepertinya dia nggak menyangka aku akan menanyakan hal itu. Namun sebelum dia menjawab apapun, aku segeramencecarnya dengan pertanyaan lain.
"Dan satu lagi, kenapa kamu tahu aku di sekolah—di ruang kelas tadi? Kamu cuma dengar soal taruhan, kan? Emangnya mereka bilang aku dikurung dimana?"
Lagi-lagi ekspresi Cello jelas menunjukkan kalau dia sangat kaget. Selama beberapa waktu cowok itu hanya menatapku dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar.
"Jawab, Cel!" Aku tahu suaraku pasti terdengar begitu menuntut, tapi peduli amat!Kami saling beradu pandang sampai akhirnya Cello mengusap wajahnya. Kupikir aku akan mendengar jawaban darinya, tapi ternyata aku salah.
"Sudah jam dua pagi," dia melirik jam tangannya, "aku antar pulang. Kayaknya kamu udah mendingan, kan? Yuk."
Cello mendekat dan tangannya terulur untuk membantuku turun dari tempat tidur. Namun aku menepisnya dengan kasar.
"Jawab!" bentakku. "Aku pengin tahu, kamu itu kawan atau lawan, Cel? Plis?"
Cowok itu kembali diam. Seperti biasa Cello cukup sensitif untuk mengerti kalau aku serius minta penjelasan darinya. Selang beberapa waktu dia hanya menatapku sebelum mengembuskan napas panjang. Raut wajahnya berubah—menjadi lebih suram dari biasanya.
"Tanpa mereka bilang, aku bisa nebak kamu dikurung dimana, Ren," bahkan suaranya pun terdengar sendu. "Di video rekaman itu emang nggak keliatan jelas, tapi..."dia menelan ludah, "akuyang pertama nemuin mayat Anne. Iya, di ruangan tadi. Dan, iya, akulah yang ngehentiin siaran live itu. Makanya pastahu soal taruhan itu, firasatku bilang kalau kamu mungkin ada disana."
Aku pernah mendengar sebuah kutipan kalau menerima kebenaran kadang lebih sulit dari mengucapkan kebenaran itu sendiri. Dan itulah yang terjadi padaku saat ini.
"HAH? APAAA?!" Pengakuan Cello membuatku shock sampai-sampai mataku terbelalak. Mulutku ternganga lebar. Cello... Dia serius?
"Ta-tapi..." aku kehilangan kata-kata."Ke-kenapa? Kenapa nama kamu nggak ada di berita?" Aku cukup yakin kalau nama Cello sama sekali tidak disebutkan dalam berbagai liputan artikel tentang kematian Anne. Teman-teman pun tak ada yang menyebut soal itu. Benarkah orang itu Cello?
Cowok itu kembali mengusap wajah dan mengedik lesu.
"Pihak yayasan dan pihak sekolah emang sengaja nutupin itu," desahnya. "Kebetulan saat itu aku pakai topi, jadi wajahku nggak kelihatan di kamera. Videonya juga nggak begitu jelas. Oke, sebetulnya aku udah dilarang ngomongin ini. Aku juga nggak ngerti, tapi... Kurasa mereka nggak mau Bianca ikut terseret. Mungkin..." suaranya terdengar mengambang saat mengucapkan kalimat terakhir.
Pihak yayasan dan pihak sekolah emang sengaja nutupin itu.
Mereka nggak mau Bianca terseret.
APA YANG BARU KUDENGAR TADI?
"Dan soal Bianca..." Cello kembali menggigit bibirnya. Lagi-lagi dia terlihat gelisah. Pandangan matanya kini malah terlihat memelas, seolah memohon supaya dia nggak perlu menceritakan itu.
Namun aku tak peduli.
Aku hanya perlu tahu semua kebenaran yang mungkin berhubungan dengan kematian Anne, sepahit apapun itu.
Aku perlu tahu, apa orang yang ada di dekatku saat ini kawan atau lawan.
Karenanya, aku balas menatap Cello tepat di matanya, tanpa keraguan.Jika dia pintar, harusnya dia mengerti kalau aku menunggunya untuk mengatakan yang sejujurnya.
Sekarang juga. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top