A Thing That is Not Accident


Maret 2018

Foto-foto papan permainan yang mereka mainkan waktu di Shuffle menghiasi galeri ponsel Oscar pada Januari 2017. Kemudian, satu foto terakhir di bulan itu, masih pada hari yang sama. Ketika Elna menghadap sekretariat ekskul Jepang dan sedikit berbalik saat Oscar memanggil.

Dia belum mendapat petunjuk dari foto-foto ini. Alih-alih titik terang, dia malah mengunjungi sejenak titik-titik gelap kenangan. Namun, bila sedikit saja ini bisa membantunya menemukan Oscar, dia akan terus melakukannya. Sembari menunggu hari lebih pagi dan dia bisa mendatangi kantor polisi.

Hari itu, setelah mereka dari Shuffle ID dan SMAN 3, kemudian Elna mengatakan dia tak akan menemui Oscar lagi, Oscar telah menghubunginya beberapa kali. Lebih tepatnya, Oscar bicara sendiri, lelaki itu mengirim pesan-pesan satu pihak, yang tidak berhenti menyakiti Elna.

Bukannya Oscar mengatakan kata-kata kasar atau bertingkah menyebalkan, tapi dia mengatakan perasaannya. Sebanyak itu, sepanjang itu, hingga Elna kesulitan untuk menghapuskan perasaannya pada Oscar.

"Aku merasa nggak enak semua disudahi begitu saja," tulis Oscar satu hari setelah mereka berpisah.

"Aku sudah pernah bilang, kan? Aku suka sama kamu, Na. Dan selama ini, kamu bikin aku bahagia. Aku nggak ingin berakhir, tapi aku juga nggak bisa memaksakan apa yang aku mau ke kamu. Walaupun aku mau. Aku mau kita sama-sama, aku mau kamu mengerti pandanganku. Aku ingin kamu berhubungan sama aku, Na. Lebih dari ini. Lebih dari teman."

"Makasih, Na, untuk selama ini."

Makasih, Car, untuk semua luka dan bahagia. Tapi, Elna tidak membalas.

Setelah beberapa lama, Oscar menghubunginya lagi. Mungkin dia tidak bisa menyudahi itu. Mungkin dia masih belum bisa menerima bahwa mereka tidak ada kontak lagi. Tidak berhubungan lagi, apapun itu namanya. Pertemanan yang dekat?

"Aku hanya bisa iri dengan orang yang dekat dengan kamu. Aku iri, bukan cemburu. Aku ingin aku juga orang itu."

"Aku masih ingin dengerin cerita-cerita kamu, Na."

Elna hanya membatin waktu membaca pesan-pesan itu dahulu. Aku juga. Tapi kita sama-sama tidak akan melakukan apa-apa untuk mengubahnya.

"Kalau berhubungan lebih jauh bukan yang kamu inginkan, aku harap kita bisa berteman," tulis Oscar pada beberapa hari berikutnya.

Teman? Aku nggak mau, meskipun hanya teman. Karena, untung di kamu. Kamu bisa senang karena tetap dekat dengan aku, tetap ngobrol sama aku, tapi di sisiku? Aku yang berat. Karena bila begitu, setiap kamu menghubungiku, aku akan kembali berharap kamu bakal berubah pikiran. Kamu akan mengubah prinsipmu karena aku.

Dan bila kamu bisa menghubungiku, kamu tidak akan menyadari bahwa perasaanmu itu besar, dan hanya memerlukan aku.

Aku tahu aku egois. Aku ingin memaksakan prinsipku padamu; prinsip yang umum seperti orang banyak, meski tidak kukatakan, sementara kamu tidak.

Seperti kebanyakan orang, Elna akan baik-baik saja dengan satu orang. Dan di sisi lain, bila dia ingin membagi Oscar dengan orang lain, itu berarti dia tidak menyukai Oscar cukup besar.

Elna berusaha mengerti cara berpikir Oscar. Oscar jelas menyukainya cukup besar untuk seharusnya hanya menginginkan dirinya, tapi tidak. Oscar ingin punya hubungan terbuka, dengan siapa saja yang dia inginkan dan menginginkannya.

Tidak bisa. Elna tidak bisa bertahan dengan orang seperti itu.

Suatu ketika, Oscar mengiriminya pesan lagi. "Kangen, Na."

Itu membuat hati Elna mencelus sedalam-dalamnya, tapi juga dipenuhi kekesalan. Kala itu, dia membalas, "Parah. Segitu banyak orang di sekitar lo, masa masih kangen gue."

"Ya, kan," balas Oscar.

"Kalau gue dekat dengan orang dan gue merindukan yang lain, itu berarti orang tersebut nggak cukup. Perasaan gue buat orang itu nggak cukup besar," tulis Elna lagi penuh api.

Namun, balasan Oscar tetap saja terus membuat kesal. "Perasaanku sama kamu, tidak ada pengaruhnya dengan perasaanku dengan orang lain. Aku bisa merindukanmu dan bukan berarti perasaanku pada yang lain berubah."

Setelah itu, sesekali Oscar masih mencoba mengontaknya, tapi didiamkan Elna. Hingga akhirnya lelaki itu betul-betul tak ada kabar. Hingga pada Januari Elna terkejut bertemu dengannya di kantor. Elna yang baru masuk Fraweb, rupanya ditakdirkan satu tempat kerja dengan Oscar.

Takdir. Barangkali Oscar tidak percaya ada yang disebut takdir. Ada tangan yang mengatur ini semua. Ada yang membawa mereka dari satu peristiwa menuju peristiwa lainnya.

Tidak ada kebetulan di dunia ini. Yang ada adalah kejadian yang sudah jadi suratan.

Elna menggulir foto di galeri, mencapai Juni 2017. Ada pemandangan pantai. Oscar berhasil menangkap momen-momen musim panas yang menyegarkan.

Elna sontak menahan napas serta menjauhkan ponsel dalam genggaman. Sebuah foto yang sangat berbeda, begitu mengejutkannya.

Ada mata.

Sebelah mata yang memandang tepat ke arahnya, dalam kegelapan.

***

Sinar matahari sudah mulai masuk, tetapi Elna hanya terpejam beberapa menit. Dia membuka ponsel Oscar dan melihat log panggilan. Dia sudah lihat ada telepon pada Januari awal dan akhir, tapi belum pernah mencoba menghubungi.

Pertama, dia menelepon ke nomor yang masuk ke ponsel Oscar pada awal Januari. Namun, nomor itu sudah tidak aktif. Kedua, dia mencoba menelepon ke salah satu nomor yang Oscar hubungi pada akhir Januari. Hanya ada nada sambung, tapi tidak kunjung diangkat. Dan selanjutnya, satu nomor lagi. Tetapi, terdengar suara operator mengatakan sedang sibuk.

Elna bersiap ke kantor polisi. Dia belum tahu apakah akan menyerahkan ponsel Oscar atau tidak. Tindakannya memang salah. Masuk ke kosan Oscar yang tidak dikunci, serta mengambil ponsel yang ada di sana. Namun, biarlah itu nanti dia putuskan.

Setelah siap, dia keluar dan membuka aplikasi ojek online. Pelataran apartemen masih sepi. Elna mau membeli roti, tapi tokonya masih tutup. Jadi, dia terus berjalan ke luar. Ponselnya bergetar. Telepon masuk. Nomornya terlihat familier. Bila tak salah, ini salah satu yang dia hubungi tadi.

Suara-suara yang dia dengar sangat menyakiti telinga. Seperti bunyi pisau yang digeretkan ke besi. Membuat ngilu.

"Halo?" kejar Elna. Suara yang menjalarkan dingin ke ujung-ujung jari hingga merayap ke lengan atasnya itu malah semakin keras. "Halo?!" bentak Elna.

Kemudian, Elna merasakan tubuhnya terdorong. Punggungnya melengkung ke belakang, akibat sebuah kekuatan. Badannya terempas ke jalan. Dia melihat mobil merah marun melaju kencang.

Mobil itu. Mobil itu menabraknya.

"Elna?!"

Elna menengadah dan merasakan sedikit sakit pada lengan serta kakinya. Selebihnya, tidak ada apa-apa. Mobil tadi mungkin hanya menabrak sisi tubuhnya yang dekat jalan raya. Kerusakan pada tubuhnya tidak parah.

Elna mengernyit menatap Prama yang menjulang di atasnya. Lelaki itu mengulurkan tangan. Ketika Elna hanya balik menatapnya, Prama merangkul pinggang Elna untuk memberdirikannya.

Di rangkulan Prama, Elna mempertanyakan mengapa lelaki itu ada di sini. Oh, benar. Rumah dia daerah sini.

Prama mengeksaminasi bagian kulit Elna yang tidak tertutup pakaian. "Ada yang luka?"

Perempuan itu mengangkat celana panjangnya sekilas, melihat darah di lututnya. "Lutut aja."

"Kita ke rumah gue dulu, ya," umum Prama sepihak.

Elna mendongak menatap lelaki itu. Untuk beberapa saat, dia berusaha membaca bila ada yang disembunyikan lelaki yang biasanya tersenyum cerah bak mentari itu. Namun akhirnya, Elna naik juga ke motor Prama dengan lelaki tersebut membantunya.

Elna berusaha membuat jalinan-jalinan.

Telepon tadi.

Mobil tadi.

Dan Prama.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top