A Thing on Final

Februari 2018

Sebelum dia menghilang


Elna hanya berjalan dari apartemennya menuju kafe Monomyth. Hanya menyeberang, ke kanan, lurus terus, hingga masuk kompleks rumah toko di Pasteur. Elna hanya berjalan di bawah sinar matahari sebelum siang yang tidak terik hari ini. Elna hanya berjalan dengan kecepatan biasa saja karena tidak diburu waktu.

Elna hanya berjalan, tapi rasanya seperti berlari dalam kegelapan, dikejar oleh sesuatu yang tidak bisa dia lihat, tapi bisa dia rasakan. Cemas. Lesu. Seolah di ujung sana dia tak yakin akan menemui jalan keluar.

Ketika sampai di Monomyth, ruko dengan papan logo kuning di depannya, dia menarik napas dahulu. Ini dia. Ini saatnya bicara.

Waktu berpapasan di kantor atau bertemu di ruang rapat, Elna kerap menghindari Oscar. Dan bila lelaki itu sempat bilang padanya meminta waktu untuk bertemu di luar dan bicara, Elna selalu bilang tidak. Hingga akhirnya dia setuju, untuk hari ini, di Monomyth. Bukan hanya ini adalah salah satu kafe yang dekat dengan apartemennya, tapi juga karena ini kafe berjenis board game cafe. Bukan karena Elna begitu gemarnya bermain papan permainan, tapi karena dulu mereka pernah ke board game cafe lainnya di Bandung. Di mana perpisahan mereka bermula.

Oscar berdiri ketika melihat Elna. Lelaki berponi biru itu menyambutnya dengan senyum tipis yang tampak merupakan campuran dengan kesedihan.

"Mau main atau makan aja?" tanya Oscar.

Elna tahu itu hanya pertanyaan sambil lewat. Tak satu pun di antara mereka berada dalam mood untuk bermain. Sudah tidak ada lagi permainan dalam kisah mereka.

Begitu tiba di meja, tidak ada yang bicara untuk beberapa saat. Elna membalas pandangan Oscar, balik menatap ke kedua mata hitam itu. Mata tajam yang hampir selalu menatapnya lembut.

Hilang. Elna hilang di dalamnya.

Sendu. Hanya itu yang bisa Elna tangkap dari balik memandangi Oscar saat ini.

Tidak ada keriaan dalam kerling matanya seperti ketika mencegat Elna di kantor. Tidak ada percik kebahagiaan seperti saat bersama Elna di Tahura dulu.

"Apa kabar?" tanya Oscar.

Pertanyaan itu membuat Elna tertawa kering. "Kita baru ketemu kemarin."

"Apa kabar perasaanmu?"

Itu, seketika membuat Elna beku. "Apa kabar perasaan lo?" tanya Elna balik. Dia menolak kembali ber-aku-kamu dengan Oscar.

"Kamu nggak mau jawab?"

"Boleh gue dengar perasaan lo dulu?"

"Itu nggak akan mengubah apa yang bakal kamu bilang, kan? Kamu nggak akan mengubahnya? Kamu nggak akan bohong?"

"Gue ingin dengar lo mau bilang apa," kata Elna. "Lo yang mengajak gue ketemuan."

Ekspresi wajah Oscar seolah mengatakan 'benar juga'. Namun, ucapan berikutnya membekukan Elna, lagi. "Aku cinta sama kamu, Na. Dulu dan sekarang, semua itu nggak berubah." Oscar mengulurkan tangan, tapi sebelum Elna sempat bereaksi apa-apa, dia menarik tangannya kembali.

Cinta?

"Bagaimana dengan kamu, Na?"

Elna memundurkan punggungnya. Oscar memang masih di seberang meja, tapi rasanya lelaki itu bergerak semakin dekat.

"Apakah kamu baik-baik aja tanpa aku? Selama ini?"

Baik-baik aja?

"Na? Ngomong, dong.... Aku nggak bisa tahu kalau kamu nggak bilang apa-apa."

"Lo bagaimana? Baik-baik aja?" tanya Elna, membuat nada bicaranya dingin. "Kan ada Lila," sambungnya cepat.

"Bisa kita ngomongin tentang kita aja?"

"Tentu aja nggak bisa." Elna sadar suaranya meninggi. Pegawai kasir Monomyth melirik ke arahnya.

"Kita ... kita ngobrolin hal lain aja."

Sungguh? Apa tujuanmu mengajakku bicara, Car? Buat apa aku datang kalau kita hanya beramah-tamah.

Tidak biasanya Oscar lari dari pembicaraan semacam ini. Namun, Elna tidak mengejar karena dirinya juga tadi menolak bicara.

"Kamu dekat dengan Prama, ya, Na?"

Percakapan lain, tapi tetap tak jauh-jauh sekali tentang perasaan. "Kenapa?"

Oscar menatap tangannya sendiri yang saling meremas, tapi lalu mengurai jalinan tangannya segera. "Aku iri."

Aku iri, bukan cemburu.

Elna hampir tertawa karena kesal, tapi menahan diri. Sabar.

Bersabarlah seperti selama ini kamu bersabar hingga perasaanmu pada Oscar terhapus.

"Lo ada masalah apa, sih, sama Prama?"

"Selain karena dia dekat dengan kamu?"

Jawaban dari pertanyaan itu sudah jelas. Namun, Oscar terlihat menunggu Elna menjawab. "Ada masalah kerjaan?" tanya perempuan itu lagi.

"Hanya kamu."

Elna mengibaskan tangan. "Sebelum aku masuk Fraweb juga pernah kejadian, kan?"

Oscar jadi mengernyit. Mungkin karena Elna mengetahui hal tersebut. Dan jelas siapa yang memberi tahunya. "Ya tanya aja sama Prama."

"Tapi gue lagi sama lo."

Lelaki itu menggumamkan sesuatu yang kalau tidak salah Elna tangkap, adalah, "Sama aku apanya." Dia memperhatikan wajah Elna, setiap incinya. Dari pangkal rambut, ke kedua mata, ke hidung, ke bibir. Lalu, kembali ke mata lagi. "Nggak ada apa-apa. Dia kelewat emosian aja."

Serius? Benarkah itu? Atau, ya, dari sisi Oscar masalah itu tidak terlihat besar. Karena toh yang marah-marah Prama, bukan dia.

"Nggak usah sama orang emosian. Nggak asyik," kata Oscar, membuat Elna sebal.

"Terserah gue mau sama siapa," balas Elna setengah menggumam. Lagi pula, setahu Elna, Prama tidak emosian. Hanya waktu di toilet saja marah pada Oscar. Jadi, Elna yakin memang ada hal besar di antara mereka. Dan dari yang Prama ceritakan, Elna rasa wajar Prama bersikap seperti itu.

Ketika memandang Oscar, Elna sedikit terkejut. Lelaki berponi biru itu memperhatikannya dan ekspresinya meneriakkan kesedihan.

Lo nggak bisa dekat dengan gue seperti Prama berteman dengan gue?

Kasihan.

Itu pilihan lo, Car.

Pandangan Elna terasa kabur. Matanya berair dan dia mengerjap. Ini malah semakin mengeluarkan air matanya yang tadi mengintip. Untung, hanya hingga sudut mata. Elna menyekanya dengan jari telunjuk.

Oscar masih memperhatikan dan Elna tahu dia tak salah lihat.

Mata Oscar berair lebih dari semestinya.

Lelaki itu tersenyum sedih. "Kamu belum tahu, kan? Aku pernah nangis. Menangisi kita."

Elna diam saja. Tidak sulit memercayai bahwa Oscar pernah menangisi hubungan mereka yang tak ada. Karena, Elna mengerti, dia bisa pahami, perasaan Oscar padanya demikian besar. Hanya saja, dia tidak mengerti mengapa apa yang dia dan Oscar inginkan berbeda.

"Bagaimana dengan Rekky?" Elna mengalihkan pembicaraan. "Lo juga pernah berantem sama dia. Dia pernah marah-marah sama lo."

Kepala Oscar meneleng, tampak berpikir. Apakah dia sudah lupa? Atau, sedang memikirkan jawaban? Elna tak bisa membacanya. "Sama," sahut lelaki itu pada akhirnya. "Dia juga kadang emosian."

Elna memang tidak terlalu mengenal Rekky. Hanya, bila melihat kulit luar, Rekky memang tidak terlihat seperti orang yang emosinya suka meledak. "Kalian masih suka bikin game bareng?"

"Pernah," jawab Oscar begitu saja. "Ortu kamu ... apa kabar?"

"Baik." Mau tak mau, ini membawa kenangan menyedihkan pada Elna. Waktu kuliah dan kos di Tubagus, dia pernah tak sengaja mendengar orang tuanya membicarakan kapan akan memberi tahu Elna perihal rencana perceraian mereka.

Saat itu, Elna runtuh seruntuh-runtuhnya. Dia sama sekali tidak tahu orang tuanya memikirkan untuk berpisah.

Kemudian, dia menceritakannya pada Oscar di Tahura. Elna hanya mengharapkan bisa lebih tenang setelah bicara dengan Oscar. Namun, yang terjadi melebihi harapannya. Oscar berpendapat lebih baik Elna bilang langsung ke orang tuanya bahwa dia telah tahu.

Elna melakukan itu. Selebihnya, dia bilang juga bagaimana perasaannya bila mereka berpisah.

Dia tahu seharusnya bilang, "Tak apa bila kalian memang lebih bahagia masing-masing.". Tetapi, dia tak bisa. Dia sudah dewasa, tapi dia tak bisa mengatakan itu. Setiap bertemu mereka, Elna telah bersiap untuk mengatakannya, tapi tidak juga berhasil.

Meskipun setiap bertemu mereka, dia seolah melihat kedua orang yang disayanginya itu menderita.

Namun, itu tidak berlangsung lama.

Lambat tapi pasti, Elna melihat kembali keharmonisan kedua orang tuanya, seperti tahun-tahun terdahulu. Kedekatan serta keromantisan mereka, yang dia tahu tidak dibuat-buat demi dirinya, membuatnya sangat bahagia.

Dan mengingat kedua orang tuanya, membuat Elna juga mengingat Oscar.

"Mau pesan apa?" Elna sudah menghentikan sesi bicara mereka dan mengambil lembaran menu. Setelah dilihat-lihat, tidak ada menu vegetarian. Ini membuat perempuan itu penasaran apa yang akan dipesan Oscar.

"Beef burger," kata Oscar, sukses membuat Elna melongo. Namun, segera dia menutup mulut dan menjaga sikap.

Memangnya kenapa kalau Oscar pesan menu ter-daging dibandingkan lainnya?

Memangnya kenapa kalau Oscar seolah berusaha menunjukkan sesuatu?

Elna beranjak, ingin cepat berpaling sejenak dari Oscar. "Minumnya?"

Oscar melirik menu lagi sebentar. "Es jeruk."

Di kasir, Elna menyampaikan pesanan makanan serta minuman Oscar, juga memesan mashed potato with chicken strip dan ice lemon tea untuk dirinya.

"Belum diminta bayar, kan, Na?" tanya Oscar ketika Elna duduk kembali.

"Belum." Elna menyibukkan diri dengan meluruskan meja. "Kenapa lo pesan burger sapi?" Dia kemudian tidak bisa menahan diri.

"Kamu tahu. Kenapa nanya? Memang mau dengar jawabannya?" cerocos Oscar. "Karena aku ingin kamu, Na. Apa aku belum membuatnya cukup jelas? Aku ingin...," Oscar mengacak poni birunya, terlihat frustrasi, "aku ingin kamu menginginkanku, Na."

Membahas ini tidak akan ada habisnya.

"Gue nggak akan berubah demi lo, Car," kata Elna pelan. Gue rasa lo juga nggak akan berubah demi gue.

Selanjutnya, sorot mata Oscar sangat mengejutkan.

Mata Oscar memang tajam, tapi lelaki itu hampir selalu menatapnya lembut. Dan kini, sesaat, mata Oscar berkilat. Kemudian, ekspresi sedih yang begitu kentara, membayangi wajahnya.

Sebetulnya, hal itu seperti sudah jelas sejak sekian lama. Namun, baru kini Elna bicara.

Saat makanan datang, saat itulah pembicaraan mereka terhenti. Dan tidak berlanjut lagi.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top