A Thing in That Thing
Februari 2018
Pintu kamar Oscar bisa dibuka.
Elna menahan napas, masuk, dan buru-buru menutup pintu lagi.
Ingatannya kembali pada malam dia terbangun di kamar ini. Penerangan tak menyala. Sekelebat bayangan di jendela membuatnya terlonjak. Dia yang serasa harus kabur keluar meskipun tak ingat mengapa dia di sana. Dia yang terkesiap karena bertemu pengurus kosan dan wanita tersebut bilang telah cukup lama tak melihat Oscar.
Laptop di meja Oscar terbuka sedikit, seperti saat Elna menemukannya malam itu. Saat itu, layar menampilkan fotonya di Tahura. Kini tampak laptop tersebut sudah kehabisan daya. Di sebelah benda yang barangkali kesayangan Oscar itu, terdapat sebuah ponsel.
Seingat Elna, rupa ponsel Oscar memang demikian. Warna hitam, sudut tajam, beberapa tombol sentuh, serta kamera depan dan pengeluar suara yang sesuai.
Klik.
Suara pintu dibuka.
Elna cepat-cepat menoleh ke pintu, tapi pegangannya tidak terayun ke bawah. Namun, tetap dia bergerak ke balik pintu sambil masih membawa ponsel Oscar.
Duk. Klik.
Tetangga kamar mungkin baru masuk. Atau baru keluar. Elna menunggu beberapa saat sembari menenangkan diri. Dia akan keluar. Dan semoga saja, tak ada yang memergoki.
Sunyi, itu yang didengar Elna. Dia kantongi ponsel Oscar, membuka pintu serta menutup pelan-pelan. Kemudian segera celingak-celinguk. Hampir dalam hitungan yang sama, serta-merta menuruni tangga. Dia berhenti sejenak di balik dinding, menoleh ke dapur, merasa tak ada orang, dia menuju pintu depan kosan.
Sudah di depan pintu, tangan terulur, dia berteriak tertahan.
Pasalnya, sebelum tangan mencapai pegangan pintu, daun pintu terdorong ke arahnya.
Menampakkan seseorang yang familier.
Orang itu menatapnya dengan kening berkerut. Rambutnya rapi dan kacamata membingkai wajah, membuat dirinya terlihat serius.
Elna memang mengingat lelaki itu sebagai orang yang cukup kaku. Mereka hanya bicara satu dua kali. Mungkin lebih, tapi Elna tidak ingat saja. Jelas, arti mereka bagi satu sama lain nyaris tak ada.
Lelaki tersebut seperti mengenali Elna, tetapi tergurat ketidakyakinan pula. Jadi, Elna mendahului. "Rekky, kan?"
Rekky mengangguk samar. Dia membetulkan letak kacamata dan posisi berdirinya tidak berubah. Tidak beranjak ke kamar ataupun mengajak Elna duduk di ruang tamu. Atau, sekadar berbasa-basi menanyai Elna habis mengunjungi siapa.
"Lo ngekos di sini?" tanya Elna tak yakin.
Rekky menggeleng, tapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Mau ke siapa?" kejar Elna. Tidak mungkin dia lupa Rekky pernah jadi rekan Oscar dalam beberapa lomba membuat game. Dia juga sudah bertanya sambil lalu ketika bicara dengan Oscar di Monomyth, kafe dekat apartemennya. Yang saat itu juga mereka berbincang banyak, mengenai perasaan masing-masing serta kelanjutannya. Dan betapa Oscar bahagia mendapati Elna masuk ke kantornya.
"Teman," jawab Rekky singkat.
"Oscar?" tembak Elna. Perempuan itu memperhatikan bagaimana mata Rekky bergerak cepat. Gugup.
Elna mulai waspada. Apakah mereka masih ada masalah? Namun, waktu dia bertanya pada Oscar, Oscar bilang tak ada apa-apa.
Mungkinkah Oscar mengatakan itu supaya aku nggak cemas?
Elna melangkah ke kiri selangkah. Gestur untuk lebih mudah keluar kosan. Apakah Rekky yang ngelakuin ini semua?
Dia jadi tahu aku sedang mencari Oscar.
Dia tahu aku mencurigainya.
"Bukan," kata Rekky setelah jeda yang lama. "Mau ke sepupu." Kemudian, dia pergi, menuju lantai atas.
Elna tahu, bisa saja kali ini tepergok, tapi dia dapat beralasan datang bersama Rekky, lalu pergi secepatnya sebelum dikonfirmasi. Yang penting, dia harus melihat ke mana Rekky. Dari susuran tangga atas, dia mengintip ke koridor kamar. Rekky berdiri di depan sebuah kamar, lalu pintu tersebut terbuka dari dalam, dan Elna melihat seorang lelaki melongokkan kepala. Lelaki itu berambut agak panjang dan acak-acakan; barangkali karena sedang bersantai, mengacungkan telapak tangan. Rekky menempelkan telapaknya di sana singkat, lalu masuk.
Mungkin itu cara mereka menyapa satu sama lain. Mungkin itu memang benar sepupu Rekky.
Lalu, kenapa dia gugup waktu aku menebak dia mencari Oscar?
***
Begitu sampai di apartemen, Elna mengisi daya ponsel Oscar. Tak bisa menunggu lama, dia langsung menghidupkannya. Ponsel tersebut tidak disandi. Hampir segera, ada pesan masuk. Berdebar, Elna membukanya. Ternyata hanya pesan operator. Dia menggulir pesan-pesan lain di sana. Operator, operator, kementerian. Tidak ada pesan dari nomor kontak. Ada satu pesan dari nomor yang tidak disimpan. Bertanggal Desember. Tampaknya cuma sopir transport online.
Oscar kelihatannya jarang menghapus pesan-pesan yang masuk.
Namun, Elna hanya menemukan satu pesan Oscar ke dirinya. Cari gue, please.
Tidak ada pesan-pesan sebelum itu.
Elna tahu, seharusnya dia tidak mengurusi perasaannya. Fokus saja pada mencari Oscar. Barangkali ponsel ini bisa memberikan petunjuk.
Tetapi, dia tak bisa.
Kenyataan bahwa Oscar tidak menyimpan pesan-pesan mereka menghantamnya.
Apakah itu terlalu menyakitkan buat lo, Car?
Apakah saat itu, lo benar-benar mencoba melepas gue?
***
Sambil makan siang, Elna meneruskan membuka-buka ponsel Oscar. Seperti yang dia duga, kontak Oscar tidak banyak berisi. Ada nomor beberapa HR Fraweb; termasuk Audrey, ada nomor manajernya, nomor dirinya; dinamai "Elna AE", kontak Lila; bernama "Lila" saja, beberapa kontak dengan nama belakang UI, dan terakhir adalah Rekky.
Elna pindah ke menu panggilan. Dia melihat log dan menemukan yang terbaru adalah ke nomornya sendiri. Panggilan yang tak terangkat. Panggilan yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Selebihnya, pada Januari akhir, ada dua panggilan ke nomor berbeda, tetapi nomor tersebut tidak disimpan di kontak. Serta satu panggilan masuk pada awal Januari.
Layar ponsel tiba-tiba berubah. Mata Elna membesar. Tangannya sedikit bergetar.
Ada panggilan masuk.
Sederet nomor tak bernama. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top