A Thing from Memory
Februari 2018
Sederet nomor tak bernama.
Elna terdiam beberapa saat dan telepon tersebut masih tersambung. Siapa pun di seberang sana, dia menunggu hingga panggilannya diangkat. Akhirnya, Elna menyentuh tombol terima.
Ada suara gemerisik. Suara udara.
Namun, tak ada sapaan.
"Halo," mulai Elna pendek, mencoba berpikir positif.
Tak ada sahutan.
"Halo," kata Elna lagi. Suaranya semakin dingin.
Tidak ada balasan. Kali ini, bahkan suara gemerisik angin nyaris tak terdengar. Elna menjauhkan ponsel Oscar dari telinga, hampir menekan tombol tutup telepon.
"Argh!!!"
Suara itu.
Teriakan itu.
Lalu, sambungan terputus. Meninggalkan Elna yang terdiam, mematung memandangi ponsel hitam di tangannya.
Oscar.
Teriakan tadi betul-betul mirip suara Oscar. Meskipun terdengar jauh, meskipun seperti dipotong atau dihentikan paksa di tengah teriakan, itu adalah Oscar.
Dia mencoba menghubungi balik. Oscar. Oscar dalam bahaya. Dia tak bisa tenang. Dia tak bisa berpikiran jernih. Tentu saja telepon tersebut tak diangkat. Dia tahu. Dia tahu. Rasanya sakit mendengar teriakan Oscar. Rasanya sakit, ketika telah beberapa lama tidak bertemu lelaki itu, tidak kontak dengannya, tidak mendengar suaranya, suara yang dia dengar malah berupa teriakan.
Elna tidak bisa mengira Oscar sedang diapakan dari teriakannya. Dia tidak bisa menilai seberapa sakit hal tersebut. Lagipula, buat apa dia menilainya? Sakit sedikit maupun sakit banyak, itu semua sama saja. Tidak mengubah fakta bahwa Oscar disekap entah di mana dan besar kemungkinan disiksa.
Seseorang harus membenci Oscar begitu besar hingga melakukan hal itu.
***
Mengingat sesuatu yang sempat hilang dari sudut ingatan ternyata bisa terjadi begitu saja. Dengan memanggil ulang keadaan sekeliling pada waktu tersebut, juga bisa dengan terdekat pada hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Seperti sebelumnya, kali ini ketika mencium bau toner yang didekatkan ke hidung secara sengaja, ingatan mengenai bau kuat menyerbunya. Elna melihat kejadian hari itu berkelebat dalam pikirannya.
Siang menuju sore, dia keluar dari kafe Monomyth. Tak lama kemudian, terlihat Oscar juga keluar. Oscar menatapnya dengan kesedihan yang tersurat jelas, lalu mereka berpisah. Saat itu, yang bisa Elna pikirkan hanya bagaimana hari-hari mereka di kantor nanti. Bagaimana kerja tim mereka di proyek Sukualas. Apakah tidak akan terganggu oleh perasaan sakit ini?
Ketika akan datang ke sini, Elna tahu kemungkinannya nyaris 100% bahwa itu akan menjadi kali terakhir mereka membicarakan soal perasaan pada satu sama lain. Dia tidak mau ada hal-hal mengganggunya, jadi dia meninggalkan ponsel secara sengaja di apartemen. Tidak, itu hanya dusta. Dia tidak mau tergoda menyimpan Oscar dalam galerinya, apalagi potret mereka bersama. Cukuplah semua itu tersisa dalam benaknya.
Ketika Elna berusaha menata pikirannya agar fokus saja pada jalanan yang dia lalui dengan berjalan kaki, dia mencium bau kuat. Serta merta hidung dan mulutnya ditutup kain. Dalam kesadaran yang mulai berkurang, dia tidak melihat orang-orang di depannya. Pengguna jalan yang berada di kendaraan pun sepertinya tidak ada yang memperhatikan. Mereka melaju cukup kencang. Bila ada yang melihat pun, agaknya hanya akan berpikir itu sebuah candaan.
Elna ingat, sebelum berhasil melihat pelaku, kesadarannya hilang.
Berada di unit apartemennya tiba-tiba membuat sesak. Seketika penat dengan serbuan memori tersebut.
Elna berjalan keluar dan memicing melihat seseorang cukup jauh di depan. Sekelebat, poni orang tersebut terlihat biru. Tanpa merasa orang itu melihat ke arahnya, tiba-tiba saja orang tersebut berlari.
"Oscar?" Elna berlari di sepanjang koridor apartemen, berusaha mengejar Oscar yang seperti mencoba lari dari sesuatu. "Car!" panggil Elna lagi. Namun, sia-sia saja.
Lari Oscar begitu cepat. Lelaki itu sudah sampai di ujung koridor. Dibukanya pintu ke tangga darurat dan terus memelesat. Elna hampir berhasil memperpendek jarak mereka. Oscar berada satu lantai di bawahnya. Tiba-tiba sepasang tangan terulur dari belakang Oscar. Orang itu tadi tak dilihat Elna di sana. Entah baru masuk dari pintu darurat lantai lain, atau tersembunyi di balik anak-anak tangga.
Kedua tangan itu mendorong Oscar sangat keras, hingga tubuhnya berguling berkali-kali menuruni tangga.
Elna sontak berteriak, sebelum bisa bergerak ataupun memilih menolong Oscar atau mengejar si pendorong laknat yang kini kabur.
Barangkali suaranya begitu keras hingga dia sendiri tak bisa mendengarnya. Kerongkongannya terasa kering. Matanya berair.
Dia mengerjap.
Lalu mengerjap sekali lagi.
Dia tidak melihat Oscar. Dia tidak melihat tangga darurat. Melainkan, dia melihat televisi serta meja rias. Ini kamarnya. Tadi itu hanya mimpi.
Elna mengedarkan pandangan sembari menyadari dia pasti telah tertidur. Mengenai ingatannya soal bau-bauan, dia merasa itu nyata. Bukan sekadar mimpi yang acak sumbernya.
Elna menangkap kertas putih terselip di bawah pintu apartemennya. Mungkin orang menyebarkan iklan atau selebaran pengumuman. Dia beranjak, mengambil kertas tersebut, dan baru sadar itu adalah amplop.
Seseorang meletakkan amplop putih dari balik pintu ini, ketika dia tertidur tadi.
Tak ada cap atau perangko apapun. Dibukanya perlahan, melihat isinya, tak merasa yakin, kemudian memasukkan tiga jari dan mengeluarkan sebagian isinya. Saat sudah jelas, sontak dia menjatuhkan amplop beserta isinya ke lantai. Sebagian keluar, memberi corak lain pada lantai.
Helai-helai rambut berwarna biru.
***
Galeri foto Oscar memberikan cerita. Semoga juga dapat membawa petunjuk. Beberapa di antaranya memang membangkitkan memori, seperti foto yang satu ini.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top