A Thing from Another Fight
Mei 2015
Hari itu, seperti biasa kampus Institut Teknologi Bandung terlihat ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan kepentingan berbeda. Ada yang diburu waktu untuk masuk kelas pertama hari itu. Ada yang sudah bersegera pulang. Ada yang menyeberang menuju masjid Salman sekaligus memilih jajanan sore.
Sore itu, Elna baru saja menyelesaikan ujian akhir semester. Ibu dan ayahnya bilang ingin janjian di gerbang utama ITB. Rencananya, mereka akan makan di luar dahulu, baru menuju kosan Elna di kawasan Tubagus Ismail. Ibu dan ayah akan menginap di kamar yang disewakan harian.
Ketika belum melihat mereka, Elna membuat dirinya nyaman di salah satu tempat duduk di selasar penuh batu kali tersebut.Perempuan itu membuka ponsel dan memang belum ada kabar baru dari orangtuanya. Sekarang belum masuk jam macet, tapi seringkali pintu keluar tol Pasteur begitu padat.
Elna sempat menimbang untuk menunggu di sekretariat himpunan. Namun, sepertinya ibu dan ayah sudah dekat, jadi dia langsung ke depan saja. Lagipula, mungkin hanya satu dua temannya yang ada di sekretariat. Beberapa yang sudah selesai biasanya langsung pulang. Apalagi ini hari terakhir ujian di jurusan mereka.
Seorang lelaki juga tampak sedang menunggu. Orang itu berdiri bersandar di dinding seberang Elna. Tangan kanannya masuk ke saku celana jins warna gelapnya, sementara tangan kiri menggulir layar ponsel. Lelaki itu memakai jaket, tapi terlihat tubuhnya cenderung kurus. Rambutnya panjang, menutupi telinga, dan bagian tengkuk sedikit tertutup bibir capuchon-nya.
Ada sesuatu yang familiar dari postur tersebut. Elna merasa mengenalnya. Elna merasa tahu dia siapa.
Mungkin....
Lelaki itu memutus pandangan dari ponsel. Elna memperhatikan kepala itu bergerak, hingga sepasang mata tersebut balas menatapnya.
Ada yang familiar dari wajah tersebut. Elna merasa mengenalnya. Elna merasa tahu dia siapa.
Mereka berpandangan cukup lama. Tanpa kata. Tanpa Elna mencoba mengetahui apa yang mungkin dan tidak mungkin. Tanpa Elna bisa membaca apa yang dipikirkan lelaki itu. Apakah merasa mengenalnya juga?
Lalu, seorang lelaki berkacamata dan berjaket himpunan sama dengan Elna, menepuk pundak lelaki itu. "Hoi." Elna mendengar sapaan itu. Namun yang selanjutnya, tidak terlalu jelas sampai ke tempat dia duduk.
Elna mencerna apa yang dilihatnya. Lelaki yang baru datang itu, dia juga merasa mengenalnya. Mereka memang satu himpunan, tapi Elna rasa belum pernah bertemu dengannya di kampus. Bila memang orang yang sama, Elna mengenalnya dari tempat lain. Beberapa tahun sebelum ini. Sebelum dia masuk kuliah.
Dan saat yang sama, bertahun-tahun lalu, dia juga mengenal si lelaki ber-capuchon. Bila itu memang orang yang sama dengan yang dikenalnya.
Lelaki berkacamata itu bernama Rekky. Salah satu kenalan di ekskul kebudayaan Jepang.
Lelaki ber-capuchon itu bernama Oscar. Sewaktu SMA, Elna punya rasa tertentu padanya.
Apa itu lo, Car?
Perempuan itu memerhatikan orang yang mungkin Rekky dan Oscar berbincang mengenai sesuatu. Ditutup dengan jabat tangan.
Jabat tangan? Kesepakatan soal sesuatu?
Elna ingat, dulu pernah tak sengaja memergoki pertengakaran Oscar dan Rekky. Seingatnya, Rekky marah-marah pada Oscar perihal kerja sama mereka waktu membuat game untuk kompetisi nasional. Tim mereka berhasil menang. Namun sepertinya, uang hadiah dibagi tidak sesuai keinginan Rekky. Barangkali Oscar mendapatkan lebih.
Waktu itu, Rekky bahkan berusaha memukul Oscar. Seingat Elna serangan itu tak kena dan Oscar tidak melakukan apa-apa. Tapi Elna cukup yakin, keadaan saat itu sangat panas. Rekky yang sebetulnya polos dan tenang itu keluar batas hingga sangat marah. Oscar pun teguh pada pendapatnya.
Sejak itu, Elna tidak tahu apakah mereka kemudian kembali berteman.
Apakah mereka sudah menemui titik tengah?
Apakah mereka berkarya bersama lagi untuk berbagai lomba membuat game? Bila ya, apakah hal sama nggak bakal terulang lagi? Apakah suatu saat nanti, perkelahian dan kemarahan yang begitu besar nggak akan terelak lagi? Yang satu akan menyerang yang satunya dengan segala cara?
Orang yang mungkin Rekky itu berbalik kembali ke dalam kampus. Sedangkan orang yang mungkin Oscar, menatap Elna sekali lagi, lalu berjalan keluar gerbang.
Elna terus memperhatikan punggung ber-capuchon itu. Katanya, pandangi tengkuk seseorang untuk membuatnya sadar diperhatikan. Elna memusatkan pandangannya.
Mungkin saja itu Oscar. Tapi, dia nggak seperti mengenal aku. Ataukah, Oscar nggak ingat? Atau, nggak yakin juga?
Dan kemudian, setelah berjarak barangkali 7 meter, lelaki itu menoleh. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top