A Thing at the Parking Lot


Januari 2018

Amarah Prama terus bergaung di telinga Elna. Kerja yang becus. Jangan bikin orang lain susah.

Apa yang sebenarnya dilakukan Oscar hingga membuat Prama yang kelihatan cerah seperti mentari menjadi mendung dan penuh api?

Besar kemunginan kedua lelaki itu mendapatkan proyek yang sama. Mereka harus bekerja sama dengan menggabungkan pekerjaan mereka. Oscar membuat desain tampilan website, sementara Prama mengurus tampilan dari segi yang lebih teknisnya.

Tentu saja Elna malu karena ketahuan menguping pembicaraan mereka. Apalagi pembicaraan penuh emosi seperti itu. Sedikit mengingatkannya pada beberapa tahun lalu ketika Rekky, teman SMA-nya, emosi pada Oscar. Saat itu ada tinju melayang. Untunglah tadi tak ada tinju dilayangkan. Setidaknya begitulah yang dilihat dan didengar Elna.

Dibanding malu, Elna lebih merasa ingin tahu. Apa yang menjadi masalah antara Prama dan Oscar. Seburuk apa hal itu.

Dibanding penasaran, Elna lebih merasa khawatir.

Ya. Tentu saja Elna peduli.

Dia hanya mencoba membohongi dirinya tiap mengatakan dia tidak peduli.

Elna melihat sekeliling sembari menunggu pengendara ojek daring untuk mengantarnya pulang ke apartemen. Dia melempar senyum dan mengangguk sedikit pada beberapa pekerja Fraweb yang bertemu pandang dengannya. Ada yang menuju motor atau mobil masing-masing, ada yang menaiki angkutan umum, ada yang menunggu jemputan ataupun seperti Elna.

Dan, di sanalah dia.

Si jangkung berkulit putih, rambutnya lumayan pendek dan rapi. Dia memancarkan senyum cerah mentarinya. "Elna, pulang?"

"Iya, lagi nunggu ojek." Sungguh kebetulan. Motor Prama diparkir di pinggir, dekat Elna sejak beberapa menit lalu berdiri menunggu pengantarnya.

"Rumah di daerah mana?" tanya Prama lagi, masih dengan senyum. "Eh, atau ngekos?"

"Dulu waktu kuliah kos di daerah Tubagus Ismail. Sekarang di Pasteur Gateway."

"Serius? Rumah gue di Gunung Batu. Tiap hari ngelihat Pasteur Gateway." Prama tertawa kecil. "Next time pulang bareng, ya."

Elna hanya memberi senyum.

Ekspresi Prama terlihat tidak berubah mendapati Elna tidak menjawab ajakan untuk di masa mendatang itu. Keceriaannya seakan tidak berkurang.

"Oh, soal tadi siang," ujar Prama, "maaf lo dengar hal nggak enak."

Perempuan itu menelan ludah. Mungkin Prama mau terbuka. Elna bisa mengetahui kejadiannya dari Prama. Tentu tak perlu bertanya pada Oscar. Tentu tak perlu mencari-cari orang yang dia hindari karena kepeduliannya sebelas dua belas dengan kehancurannya.

"Ada apa?" Ketika Prama terlihat menimbang apakah baik bicara, Elna menambahkan, "Bisa jadi catatan buat gue yang baru kerja di sini." Dia melempar senyum tipis.

"Dia memang begitu. Terkadang suka seenaknya." Prama menyudahi penjelasannya di sana.

"Gue kenal Oscar," umum Elna.

"Wah, kenal dari mana? Teman kuliah?"

"Teman SMA." Elna memejamkan mata, memikirkan kedekatan dirinya dan Oscar, terutama setelah tak sengaja bertemu di dekat gerbang ITB. Ketika itu memang tak ada yang terjadi. Hanya saling lihat dan ingatan yang samar setelah tak bertemu beberapa tahun. Kemudian, Elna memutuskan menghubungi Oscar lewat pesan. Memastikan. Benar saja, itu Oscar. Oscar bertemu Rekky, rekan tim untuk kompetisi membuat game, juga yang pernah bertengkar dengannya.

Setelah itu, Oscar dan Elna mulai dekat.

Elna memutuskan benaknya. Hancur. Dia akan hancur bila berlama-lama di sana.

Matanya membuka dan mendapati Prama sedang memandanginya. Barangkali dia memejam terlalu lama. Dia larut terlalu jauh.

Elna mengalihakan pandangan ke gedung kantor dan menemukan Oscar di pintu depan Fraweb.

"Mbak Glenna?" Kehadiran pengendara ojek menyelamatkannya. Perempuan berambut lurus sepundak itu mengangguk dan tersenyum pada Prama.

"Balik dulu, ya, Prama." Dan tentu saja, ketika melirik ke arah Oscar dan motornya, lelaki itu sedang memandangi Elna dan Prama. Elna melihat, Prama membalas pandangan Oscar, juga melambai sedikit. Entah apakah ditambah senyum mentarinya. Atau, seringai menantang. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top