(Minggu, 03 Desember)
ANNISSA ANASTASYA
(Minggu, 03 Desember)
UJIAN Akhir Semester Ganjil sudah di depan mata. Hari ini aku memutuskan untuk membeli perlengkapan ujian di salah satu mal di daerah Senayan. Setibanya di sana aku lekas masuk ke bagian stationary dan mengambil semua yang dibutuhkan, membayarnya lalu segera keluar dari tempat itu. Namun atas perintah lambungku, aku terpaksa memutuskan untuk mampir di foodcourt yang terlokasi di lantai 5 mal.
Saat pintu lift terbuka, aku terkejut melihat Debby dan kedua orangtuanya seakan menyambutku dari dalam ruangan lift. Berbeda dengan saat terakhir kali aku melihat anak itu, kali ini dia berpakaian layak dan sopan—yang lebih cocok untuk dirinya. Aku yakin beberapa waktu yang lalu itu, Wanda memarahinya karena berpenampilan tidak senonoh.
Aku mengerlingkan mata lalu melangkah masuk ke dalam dan berdiri di pojok belakang. Saat pintu lift tertutup aku sengaja berdeham. Lalu seakan membaca sapaanku Debby sontak menoleh ke belakang dan tersenyum girang kepadaku. Ibunya, Wanda, mengawasi gerak-gerik anaknya hingga akhirnya dia juga ikut-ikutan menatapku, tetapi dilakukannya dengan sebelah mata. Aku tahu rahasiamu, bodoh!Jangan macam-macam denganku, batinku. Aku bahkan tidak segan-segan melaporkan rahasianya pada suaminya. Tiba-tiba melihat wajah suaminya yang terlihat begitu dermawan membuatku merasa iba kepada pria itu.
"Apa kabar, Tante?" ujarku memecahkan keheningan di dalam ruang lift.
Wanda terkesiap. Badannya terlihat menegang, dia bingung dengan situasi yang menimpanya sekarang. Aku berpengalaman dalam membaca gerak-gerik orang yang sedang panik. Itu semacam keahlianku, membuat orang di sekitarku merasa tidak nyaman dengan diri mereka.
Suaminya menoleh ke arahku dengan ragu-ragu lalu berkata, "Saya kira kalian tidak saling—"
"Tahu?" potongku, sambil tersenyum.
Suaminya mengangguk.
"Ah, tidak kok. Kita sudah saling kenal. Bahkan kita sama-sama terikat dalam satu—"
"Kita pernah ketemu sebelumnya," potong perempuan berwajah katak itu.
Ah, sialan. Aku melihat ekspresi Debby yang sedang kebingungan, mencoba memahami maksud perkataanku sebelumnya. Dia menatap ibunya lalu kembali menatap diriku. Terjadi keheningan selama beberapa detik, lalu pintu lift terbuka dan mereka keluar tanpa berpamitan, bahkan sama sekali tidak menatapku, terkecuali Debby, anak itu terus tersenyum kepadaku selagi pintu lift menutup. Senyumannya yang mengerikan sudah mampu kuatasi. Sedetik sebelum pintu lift tertutup sempurna, aku melambaikan tangan kepada anak itu dengan jemariku yang lentik, lalu aku mengedipkan mata.
***
Aku tidak berlama-lama di mal karena aku harus melatih staminaku dengan berlari mengelilingi blok perumahan. Sebuah pesan dari Kak Thomas masuk dan dia baru saja mengabari bahwa lomba pemilihan utusan sekolah se-Jabodetabek untuk Indonesian Open Aquatic Championship menetapkan kategori breastsroke khusus perenang putri dengan lintasan 50 meter. Setelah membaca pesan itu jemariku dengan cekatan membalas pesannya dengan serentetan kalimat keluhan. Lantas saja itu membuat Kak Thomas langsung meneleponku dan menceramahiku balik. Pada akhirnya aku tetap saja harus berlatih lebih giat menggunakan gaya dada.
Saat matahari di luar sudah mulai bersahabat, aku bergegas memakai pakaian olahraga, lengkap dengan sepatu dan ikat kepala. Aku berlari mengelilingi jalanan dalam blok. Bentuk setiap jalanan blok di Parkville sama, semuanya berbentuk nyaris menyerupai lingkaran karena tembok pembatasnya seakan melingkari rumah-rumah di dalam. Setiap jalanan dalam blok terdapat beberapa sisi. Jika dihitung ada empat sisi atau belokan. Ada rumah yang terletak di tengah-tengah, dan ada rumah yang terletak di sisi sebelahnya, tetapi tidak ada rumah yang posisinya persis berhadapan. Setiap blok di Parville hanya berjumlah 8 rumah dan di blok D3 hanya 5 rumah yang berpenghuni, sementara 3 rumah lainnya tidak ditempati atau mungkin belum laku terjual. Pohon-pohon lebat berdiri di setiap sisi beton yang melindungi blok.
Kolam renang dan pondok yoga (penghuni perumahan sering menyebutnya Sport Center) terletak di dekat lahan kosong yang tidak ditanami rumput sama sekali, hanya ada sebuah pohon besar yang tumbuh di sana.
Saat aku melintas di gerbang masuk, ada satu orang satpam yang sedang duduk di pos. Dia memicingkan matanya dan menyapaku. "Sore Annissa, olahraga terus ya."
"Sore," balasku. Aku sedang tidak tertarik bercakap-cakap jadi aku mempercepat langkah lariku. Tak lama setelah melewati gerbang masuk, rumah nomor 13 sudah menyambutku, aku berhenti di depannya karena bagian perut sebelah kiriku tiba-tiba terasa sakit. Aku meringkukkan badan, menahan rasa sakit itu. Saat aku mengangkat kepala, aku melihat Radit dan Lisa sedang berjalan berdampingan. Mereka juga sedang berolahraga. Kenapa harus berpapasan seperti ini? Aku mengutuk situasi yang sering terjadi belakangan ini, mereka seakan tidak berpihak kepadaku lagi.
Radit sedang berupaya untuk tidak menoleh ke arahku, aku dapat melihat itu. Alih-alih Lisa yang tengah menatapku dengan ekspresi yang tak terbaca olehku. Mengapa perempuan itu sangat lihai menyembunyikan apa yang dia pikirkan. Astaga. Setelah kalimat itu selesai kuucapkan dalam hati, Lisa mengerutkan bibirnya, seperti memberi kode kepada suaminya bahwa aku tengah memperhatikan mereka berdua. Radit seketika menoleh ke arahku kemudian dia melambaikan tangan. "Hai," sapanya. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top