MIKAEL (40 TAHUN); DOSEN

POSTUR tubuh laki-laki itu terlihat tegap, rahangnya kokoh. Ada satu hal yang membuat penampilannya lebih terlihat lengkap. Rambutnya. Dia memiliki rambut yang tebal dan halus, yang disisir ke samping kanan dengan sangat rapi. Dia mengenakan kemeja merah—yang jelas sekali terlihat belum selesai disetrika—dan celana bahan berwarna abu-abu lengkap beserta sepatu pantofel berwarna coklat kehitaman.

Bagas mengikuti laki-laki itu memasuki ruangan dari belakangnya. Tanpa dipersilakan, laki-laki itu sudah duduk terlebih dulu dengan memangku kaki dan menyilangkan tangan di dada.

"Mikael," dia memperkenalkan diri. Sudut bibir kanannya terangkat kaku ke atas, sebuah senyuman yang tidak dikehendakinya. Namun, dia merasa puas dengan lagak demikian.

Bagas mencatat namanya. Kali ini Bagas tidak ingin berbasa-basi, dia langsung memulai. "Saat ini Anda sedang dalam keadaan sehat untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya?"

Mikael mengangguk.

"Jawab dengan ya atau tidak," sudut mata Bagas menatap layar ponsel kantornya yang saat ini masih sedang merekam.

"Ya." Jawab Mikael, lekas.

"Di mana saudara pada minggu malam, tepatnya pada tanggal tiga puluh satu bulan Desember lalu?" tanya Bagas.

"Di rumah. Bersama istri, anak dan pembantu saya," jawab Mikael.

Bagas ingin bertanya lebih mendetail, tetapi dia masih menunggu hingga saat yang tepat.

"Pembantu?" tanya Bagas lagi.

Laki-laki itu mengangguk. "Asisten rumah tangga," jelas Mikael sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, seakan merasa tidak nyaman dengan bangku yang dia duduki sekarang.

"Oh," jawab Bagas. Sudah lama Bagas tidak mendengar kata. Pembantu. Meski sekadar istilah, Bagas lebih memilih menyebut Asisten Rumah Tangga. Dan sebagai dosen, sudah seharusnya Mikael dapat menggunakan istilah tepat. Ya, ini sekadar perasaan Bagas.

"Ya, pembantu. Dia ada di sini. Dwi," Mikael mengarahkan telunjuknya ke arah luar melalui kaca, menunjuk perempuan dengan rambut yang sudah lepek dan tampak acak-acakan itu. Perempuan itu sedang berdiri di samping anaknya.

Bagas melihatnya dengan sepintas lalu kembali menatap laki-laki itu. Mikael kembali menyandarkan tubuhnya ke belakang dan bersiap untuk membuka mulutnya, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia segera mengurungkan tekadnya itu dan kembali mengatupkan bibirnya.

"Kalau boleh saya tahu, kapan terakhir Anda melihat korban?"

Setelah menyelesaikan kalimatnya itu, Bagas segera menyadari bahwa nada suaranya terdengar sangat sopan. Kalau–boleh–saya–tahu, ucapnya sekali lagi dalam hati. Astaga, ayolah bersikap lebih tegas. Dia meneriaki pikirannya.

Bagas menatap Mikael, menunggu jawaban.

Mikael berusaha berpikir, sudut matanya mengarah ke pojok atas ruangan. Dia bergumam, tungkai kaki sebelah kanannya tidak bisa diam—sengaja digoyang-goyangkan olehnya—dan dia mengetuk lantai dengan hak sepatu pantofel sebelah kirinya sehingga menciptakan irama dari lantai berkeramik itu.

"Agak sedikit lama, hmmm... Saya hampir lupa kapan terakhir kali saya melihat gadis itu," ujar Mikael dengan tidak yakin. Tampak betul dia telah berusaha untuk mengingat. Mungkin ingatan lelaki itu ditumpuk rutinitas mengajar dan menyusup dalam banyak lipatan.

Bagas membalas dengan memberikan ekspresi yang tidak diinginkan Mikael. Semacam ekspresi kurang percaya, dengan mata yang dibuatnya menyipit, penuh banyak arti. Seolah menaruh kecurigaan terhadap Mikael.

Melihat tatapan itu, Mikael segera berusaha mengingat-ingat lagi.

"OHHH," seru Mikael, wajahnya berubah lega.

"Pekarangan," imbuhnya. "Pekarangan rumahnya. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan, dia terlihat seperti sedang bermeditasi. Saya baru pulang mengajar pada saat itu."

"Mengajar?"

"Ya, mengajar. Saya dan istri saya sama-sama dosen."

Bagas mengangguk. Menurut Bagas sudah seharusnya begitu, kebanyakan seorang dengan profesi dosen atau dokter (atau yang sederajat dengan itu) akan memilih seorang pasangan dengan profesi yang juga sama (atau sejalan), setidaknya itu dapat dia buktikan dengan kerabat-kerabat yang pernah dia kenal.

"Anda ingat tanggal dan waktunya?" tanya Bagas, bersiap mencatat.

Mikael bungkam sesaat. Dia ingat kali terakhir dia melihat gadis itu pada sore hari, tapi dia tidak tahu kapan tanggal persisnya.

"Sekitar satu bulan sebelum anak itu dinyatakan hilang, kurang lebih." Mikael mengangkat kedua ujung bibirnya sehingga membuat senyuman di wajahnya dan langsung memunculkan kerutan di bagian pelipisnya. "Saya benar-benar tidak dapat memastikan tanggalnya kapan, tapi saya ingat waktunya, itu sekitar pukul lima sore," jelasnya lagi.

Mikael terpaksa menutup kedua matanya, memaksakan dirinya untuk mengingat, tapi dia benar-benar tidak dapat mengingatnya.

Bagas mencatat sesuatu di catatannya. "Baik," sambil mengangguk-angguk kecil.

Mikael akhirnya menyerah, dan kerutan yang tadi ada di pelipis dan di atas dahinya pun menghilang.

"Bagaimana sosok korban menurut Anda?"

Mikael mengernyitkan dahi.

"Maksud saya, apa yang Anda tahu soal anak ini, soal Annissa?" Bagas memperjelas tanpa memasang ekspresi berarti. Entah dia sedang serius atau kurang peduli.

Ekspresi itu membuat Mikael paham bahwa situasi percakapan mereka sudah masuk ke tahap sarat keseriusan. Dia yakin bahwa dia sebaiknya mulai menanggapi pertanyaan-pertanyaan petugas itu dengan sungguh-sungguh. Kenyataannya, apa yang dirasakan Bagas berbanding terbalik dengan pemikiran Mikael. Bagas sebenarnya masih belum cukup peduli dengan kasus yang baru saja dia terima ini. Lebih tepatnya, dia masih belum merasa terbebas dari sebuah kurungan yang dia ciptakan sendiri.

"Annissa," mulai Mikael. "Anak itu berparas cantik, dia terlihat pintar, terlebih itu dia juga suka olahraga. Aku sering melihatnya di kolam renang. Kolam renang bersama di Blok D3."

Persis ucapan Rini, batin Bagas.

"Tetapi anak itu sepertinya memiliki kepribadian yang ... kurang ... baik." Ada jeda sedikit, lalu Mikael melanjutkan, "Menurut saya, anak itu sombong. Jika kau mengenalnya, pasti kau juga akan berkata hal yang serupa."

Bagas mengangkat alis sebelahnya. "Bagaimana sampai Anda bisa berkata seperti itu? Apa yang anak itu lakukan sehingga Anda menyimpulkan demikian?"

Itu pertanyaan jebakan. Mikael menyadarinya. Dia tidak mau menjawabnya, karena setelah itu pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan, akar-akar kecil yang mungkin tidak dapat dijawab olehnya.

"Iya itu benar. Aku jamin itu. Kau akan mendengar hal senada dari para saksi lain, setelah kau menginterogasi mereka. Anak itu memang dikenal arogan." Mikael mencoba meyakinkan.

"Baik kalau begitu, bagaimana dengan orangtua korban? Apakah Anda cukup mengenal mereka?" tanya Bagas, penasaran.

"Saya cukup mengenal mereka. Tapi, hanya sekadar cukup. Terkadang kita bertemu dan bertuka sapaan. Hanya sekadar berbasa-basi. Hey apa kabar? Hari ini macetnya luar biasa, sangat melelahkan bagiku. Hal semacam itu," Mikael menjelaskan dan memperagakannya.

Melihat gelagat Mikael yang mulai menyebalkan itu, membuat Bagas terpaksa harus menahan gejolak tawa yang mungkin akan melucur. Alhasil, Bagas hanya memasang wajah datar lalu mengangguk, sebelum melanjutkan pertanyaan.

"Pada minggu malam, saat korban menghilang, Anda bisa memberitahu saya di mana keberadaan Anda?"

Lagi-lagi terdapat kesopanan dalam nada suaranya. Astaga ayolah!, dia menggigit lidahnya seakan menghukumnya. Sifatnya itu sepertinya tidak akan lepas dan akan terus menempel dalam diri Bagas. Dia tidak bisa menjadi pihak yang jahat, bahkan dalam maksud baik sekalipun. Bagaimanapun itu, dia sudah dipilih. Bagas seharusnya sudah paham dengan seluruh prosedur dan bagaimana seharusnya dia bersikap.

"Minggu malam itu," Mikael memulai.

Bagas menegakkan tubuhnya, bersiap mendengar.

"Pagi sampai siang hari, saya dan istri saya menghabiskan waktu dengan melihat perabotan rumah di IKEA Alam Sutera. Diskon tahun baru," Mikael melempar senyum.

Bagas menunggu apa yang akan diucapkan Mikael. Ekspresi Bagas terlihat mirip singa yang sedang mempelajari gerak-gerik mangsa, sebelum menerkam.

"Malam harinya, saya menemani anak saya berjam-jam menonton marathon salah satu film seri yang ditayangkan di televisi."

Ternyata dia Family-man, batin Bagas dengan melempar tatapan heran.

"Ceritanya cukup menarik," imbuh Mikael, meyakinkan Bagas bahwa dia tidak sering melakukan itu; menonton acara-acara yang tidak penting.

Setelah itu Bagas mempersilakan Mikael untuk keluar ruangan, menjelaskan bahwa interogasinya bersama Mikael sudah selesai. Seekor singa itu memutuskan untuk tidak menerkam mangsanya. Dia menyimpan dalil mangsanya untuk nanti dijadikan umpan bagi dua orang mangsa lain, yang salah satunya adalah anak dari mangsa yang baru saja dia lepaskan itu.

Tepat setelah Mikael keluar, Bagas menarik napas, letih. Dia teringat kembali perkataan Nurman, atasannya di telepon pagi tadi saat dia melangkah masuk ke mobil sedan butut miliknya. Baik atau buruk kasus ini mulai membayangi Bagas.

Nurman, atasannya, adalah sosok yang sangat dia segani semenjak enam tahun lalu bergabung dengan Bagian Reserse Kriminal. Selain dia bertangan dingin dalam penanganan kasus kriminal, Nurman hampir selalu benar dalam prediksi.

Kematian Annissa adalah kasus pembunuhan pertama Bagas, setelah lama dinyatakan lulus dalam program pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.

Wajah Bagas mulai terasa berat, energinya terkuras setiap dia membuat gerakan dalam ruangan interogasi itu. Dalam waktu sekian menit, konsentrasinya berangsur-angsur buyar. Ini sudah pukul sebelas siang, seharusnya Bagas sudah pulang sekitar tiga jam yang lalu—dia sudah bekerja semalaman. Tapi dia harus bersikap profesional, karena tugas ini diberikan secara langsung oleh atasannya dan mau tidak mau dia harus menerima dan merampungkan ini semua. Kasus pembunuhan pertamanya ini... harus segera dia tuntaskan.

Bagas membuka pintu dan menentukan siapa dari dua orang itu (mangsa lain) yang akan ikut masuk bersamanya ke dalam ruangan. Keduanya terkesiap. Batin Bagas tergoda dengan anak itu, yang sedari tadi dilihatnya duduk termengung di tempat duduknya. Semoga kau dapat membantuku, ujarnya dalam hati. Kemudian, dia menunjuk Eric. []   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top