Lisa (28 tahun); Headhunter

MELIHAT suaminya berdiri di depan pintu ruangan interogasi sesaat petugas berbadan besar yang membawa amplop itu masuk ke dalam, membuat jantung Lisa berdebar lebih kencang dari peristiwa yang dia saksikan sebelumnya. Dia menatap seorang anak perempuan yang tadi menjadi pusat perhatian semua orang. Lalu dia melihat ibu korban yang sedang meringkuk di atas pangkuan suaminya. Semua yang terjadi di kantor itu mengganggu jalan pikiran Lisa.

Kasus-kasus semacam ini adalah santapan favorit suaminya. Kegemaran antara Lisa dan suaminya itu terpaut jauh. Lisa tipikal yang lebih banyak bicara namun terlalu cepat risau, sementara Radit tipikal yang santai namun responsif—tapi juga kadang-kadang kritis. Jika Radit sudah membicarakan hal-hal yang menurutnya benar sementara menurut Lisa salah, pada saat itulah kesabaran Lisa sebagai seorang istri yang taat pada suami bakal di uji. Meski demikian, dia ingin menggali lebih dalam sifat-sifat suaminya, karena itulah yang dipelajari Lisa sejak dulu, dia gemar mempelajari sifat dan karakter orang lain.

Pada saat bertemu dengan seseorang yang pertama kali terbesit di kepala Lisa adalah menentukan orang itu masuk ke dalam kategori sifat yang mana. Kemudian, barulah dia akan menyesuaikan. Sebagai seorang headhunter dengan jumlah networking yang berlimpah. Lisa harus pandai dalam melakukan hal-hal semacam itu. Dia menyebut itu sebagai konformitas. Dengan begitu dia dapat melaksanakan pekerjaannya, mempelajari karakter orang-orang yang akan dia culik dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya. Profesinya itu juga sering disebut sebagai executive search.

Radit keluar dan duduk di samping Lisa. Dengan dihujani tanda tanya besar, Lisa memandang suaminya itu.

"Giliranmu," ujar Radit.

Lisa berdiri, menghela napas, kecemasan masih terlukis di wajahnya. Dia memandang wajah suaminya sekali lagi sebelum melangkah masuk. Tidak, pikirnya. Jangan kau memberiku senyuman itu. Radit memasang sebuah senyuman yang sudah lama dibenci Lisa. Senyuman yang sering terlukis di wajah suaminya itu saat dia berhasil. Berhasil beradu argumen dengannya. Berhasil mengungkap fakta-fakta yang padahal sudah berusaha Lisa sembunyikan dengan sangat rapi—seperti tentang masa lalunya. Senyuman kebanggaan dari sang suami. Senyuman itu yang terkadang membuat Lisa ingin sekali memulas dan memerah wajah suaminya itu, lalu menggilasnya dengan sesuatu—apa pun itu.

Lisa sejujurnya tidak sepatutnya bertingkah demikian. Mengapa pula dia harus takut? Sudah seharusnya mereka dikumpulkan dan ditanyai, bukan? Ya, karena mereka adalah orang-orang yang secara kebetulan tinggal dalam satu lingkungan yang sama dengan korban. Lisa memang terkadang membiarkan dirinya hanyut dalam kecemasan yang berlebihan, bahkan dalam hal sepele sekalipun. Dia senang bermain-main dengan perasaannya.

Perempuan itu memantapkan dirinya dengan mengatur napasnya lalu berjalan mendekati pintu masuk. Dia melihat Bagas yang sedang duduk memperhatikan sesuatu di atas meja. Lisa mulai mengatur ekspresinya. Kedua sudut bibirnya diangkatnya setengah. Binar matanya mulai terlihat bersahaja. Lalu dia melangkah masuk.

Bagas menyadari keberadaan perempuan itu lewat sudut matanya. "Silakan duduk," ujarnya tanpa memandang Lisa. Bagas masih terfokus pada potret-potret yang mengerikan itu—yang sekarang terhambur di atas meja.

Penasaran dengan apa yang dilihat oleh petugas itu, sorot mata Lisa langsung jatuh pada salah satu potret di atas meja. Segera saja Lisa langsung mengalihkan pandangan dan menatap langit-langit ruangan. "Mengerikan," ujar Lisa dengan spontan.

Pandangan Bagas berpindah, dia mengangkat kepalanya menatap perempuan itu, dia seakan terganggu oleh refleks gerakan yang dibuat Lisa. Perempuan itu yang masih berdiri di samping bangku dengan ekspresi yang mulai berubah padam. Lisa merasa takut dan sedih secara bersamaan. Sedih karena kematian anak itu pasti akan berdampak besar pada kondisi psikis kedua orangtuanya. Takut karena mayat gadis itu ditemukan di kompleks tempat tinggalnya.

"Mungkin Anda tahu siapa orang yang melakukan hal keji ini kepada korban? Kepada gadis malang ini?" Bagas bertanya, membuat setengah alisnya terangkat, tanpa dia sadari nada suaranya tiba-tiba terdengar seperti memelas. Memohon bantuan.

"Tidak." Lisa menggelengkan kepalanya.

"Sayang sekali," Bagas menyentuh pelipisnya. "Sedari tadi tidak ada informasi secuil pun yang saya terima dari kalian."

"Mungkin memang salah incaran." Balas Lisa, tanpa dia sadari nada suaranya terdengar sedikit ketus. Jantungnya langsung saja berdebar-debar karena jawaban yang barusan dia lontarkan itu. Kata-kata itu tidak seharusnya dia ucapkan. Tetapi itu keluar begitu saja dari mulutnya. Suatu jawaban refleks yang tak dapat dia hindari.

Kedua alis Bagas menyatu, dia memiringkan kepalanya dengan maksud ingin mengetahui apa maksud dari perempuan itu sehingga dia berkata demikian.

Tanpa tedeng aling-aling, Lisa melanjutkan pembicaraan agar perkataan yang tadi dia lontarkan segera hanyut di udara dan terlupakan. "Suami saya lumayan dekat dengan gadis itu." Dia membuat tanda kutip di udara dengan jari telunjuknya saat mengucapkan kata 'lumayan' itu. "Kata suami saya mereka pernah membincangkan sesuatu. Saya yakin perbincangan mereka itu mengenai hal-hal yang menjadi ketertarikan pribadi suami saya." Lisa memutar bola matanya.

Terjadi keheningan sebentar. Bagas menunggu perempuan itu melanjutkan.

"Ya, kadang saya tidak merasa cocok dengan suami saya, mengenai banyak hal yang sering kami perdebatkan. Dan mungkin suami saya dan gadis itu memiliki persamaan sudut pandang. Mungkin jalan pikiran mereka sama."

"Anda tidak merasa suami Anda yang—"

"Bahwa Radit yang melakukannya?" Lisa tertegun. Dahinya berkerut, lalu dia tertawa kecil. "Tidak mungkin," sambungnya.

"Bagaimana Anda bisa yakin?" tanya Bagas.

"Dari sekian orang yang dipanggil ke kantor ini. Menurut saya, suami saya itulah yang paling tidak berkaitan dengan kasus ini. Yang pertama, dia tidak ada di tempat saat malam tahun baru, dan yang kedua dia—"

"Bisa saja gadis itu telah di sekap di tempat lain sebelumnya?" Bagas menyela. Dia ingin bermain-main.

"Tidak." Ujar Lisa, ekspresinya tidak senang karena Bagas memotong pembicaraannya. "Kedua, suami saya tidak mungkin melakukan itu, karena melihat darah saja pun dia takut."

"Itu tidak menjadi alasan kalau dia—"

"Saya tahu." Sorot mata Lisa menyala-nyala.

Bagas akhirnya berhenti bermain-main. Dia pun mengangguk.

"Saya tidak dapat membayangkan apa yang dirasakan kedua orangtuanya. Melihat anaknya meninggal dengan keadaan terkubur seperti itu." Tiba-tiba saja kedua sudut bibir Lisa membentuk garis melengkung ke bawah. Ekspresinya penuh simpati.

"Apalagi jasadnya ditemukan oleh seekor anjing." Imbuh perempuan itu.

Bagas memperhatikan Lisa dengan lebih cermat lagi. Perempuan itu sedang mengangkat kedua bola matanya ke atas, seperti sedang berupaya mencegah air matanya keluar.

"Apa yang membuat Anda begitu sedih?" tanya Bagas.

Lisa terkejut dengan pertanyaan petugas itu, dia menenangkan dirinya beberapa detik sambil mengambil napas.

"Tidak apa-apa," jawab Lisa. Perempuan itu tidak akan menceritakan masa lalu tentang keluarganya. Kesedihan yang sudah lalu itu telah berhasil dia kubur dalam-dalam dan tidak akan pernah lagi ingin dia bahas kepada siapa pun, termasuk suaminya.

"Membuat saya teringat keluarga saya, tapi saya tidak ingin menceritakannya. Maaf." Ujar perempuan itu.

Bagas mengangguk paham. "Baiklah, boleh saya tahu nama Anda?"

"Lisa." Jawab perempuan itu. "Saya Lisa," terangnya lagi, sedikit mencondongkan tubuhnya, menarik bangku yang dia duduki agar sedikit lebih dekat dengan meja di depannya.

"Apa yang Anda lakukan sehari-hari?" tanya Bagas.

Pertanyaan itu ambigu. Itu membuat Lisa sedikit bingung sebelum dia menjawab, tetapi dia tahu apa maksud dari petugas itu. "Maksudnya pekerjaan saya?" tanya Lisa, sekedar memastikan.

"Ya." jawab Bagas.

"Saya seorang executive search consultant."

Mata Bagas sedikit menyipit. Dia kurang mengerti dengan profesi itu tetapi dia tidak ingin terlihat bodoh di hadapan perempuan itu. Jadi Bagas memasang senyuman dengkul dan memalsukan anggukan.

"Saya mencari orang-orang yang pas dengan posisi yang diminta klien saya." Lisa seakan tahu bahwa petugas yang duduk berhadapan dengannya itu tidak paham. Ekspresi semacam itu tidak mungkin tidak terbaca oleh Lisa.

"Ohh." Bagas tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke belakang. Bagas bergumam dalam hatinya. Sudah pasti lulusan psikologi.

"Saya, bukan lulusan psikologi, saya lulusan manajemen." Ujar perempuan itu, sekali lagi. Membuatnya terdengar seperti seorang cenayang.

"Manajemen sumber daya manusia." Lisa memperjelas.

Bagas ingin sekali tertawa, tetapi dia menahannya.

"Di sana saya mempelajari sistem perekrutan dan bagaimana cara mengelola sumber daya manusia. Akan tetapi, saya mempelajari sifat dan karakter seseorang dari buku-buku dan riset. Sebetulnya lebih banyak lewat seminar atau workshop."

"Sudah berapa lama tinggal di Parkville?" bagas mengalihkan topik pembicaraan.

"Baru dua tahun." Jawab Lisa tanpa berpikir lama. Dalam hatinya sebenarnya terpukul karena petugas itu tiba-tiba saja mengganti alur pembicaraan. Itu bukan suatu hal yang etis di dunia kerja Lisa. Semuanya harus didasari pola yang benar, dalam sebuah proses interview. Tetapi mengingat Bagas adalah seorang polisi, mungkin pola yang diajari pada mereka jelas berbeda. Lisa tetap dapat menangani peralihan pembicaraan itu tanpa masalah.

"Ahh..." gumam Bagas, rahangnya turun, matanya mengerjap paham.

"Iya, saya dan suami saya baru saja pindah, dulu kita tinggal di Jakarta Utara, dekat dengan rumah orang tua saya." Lisa menjelaskan.

Bagas mengangguk dan menanyakan pertanyaan yang sangat ingin ia tanyakan sejak tadi.

"Suami Anda tidak berada di rumah saat malam tahun baru," ujar Bagas mengembalikan topik sebelumnya.

Lisa mengangguk, membenarkan.

"Anda tahu dia berada di mana?"

"Bogor."

"Anda tahu di mana dia bermalam pada hari itu?"

"Elle Hotel," jawab Lisa, sedikit menantang. Rasa kesal mulai menghinggapi dirinya.

Bagas tampak terkejut melihat perempuan itu yang sudah terlihat gusar akibat pertanyaan-pertanyanya.

"Dia tidak pulang malam itu," Lisa menegapkan badannya. "Dia sedang mengerjakan satu kasus sengketa lahan."

"Dan Anda sendiri? Di mana pada malam itu?" Bagas seperti sedang menggertak perempuan itu.

"Saya berada di rumah," Lisa tertegun sebentar lalu cepat-cepat dia menangkap sorot mata Bagas dan mengunci pandangan mereka agar tak terlepas. Dengarkan baik-baik, ujarnya dalam hati. "Sehabis makan malam, saya menunggu kepulangan Radit, sempat saya tertidur selama beberapa jam lalu terbangun mendengar panggilan telepon dari suami saya itu. Dia bilang dia tidak sempat pulang malam itu dan akan menginap di salah satu hotel di sana."

"Apakah suami Anda menyebutkan nama hotel tempat dia menginap pada malam itu?" tanya Bagas, masih belum puas.

Lisa tersenyum dan membuat cekikan kecil. Pria yang ada di depannya saat ini sangat bersikeras sekali. "Ada apa sebenarnya dengan suami saya? Kenapa? Anda mencurigainya?" tanya Lisa. "Sudah saya bilang dia tidak mungkin me—"

"Tidak, saya hanya mencoba membenarkan apa yang dia katakan." Sela Bagas, sekedar menerangkan.

Lisa sudah terlanjur kesal sekarang, kedua alisnya sudah saling menyatu, membuat kerutan di atas dahinya. Dia mengeluarkan ponselnya dari sakunya, mencoba mencari sesuatu.

"Saya mempunyai bukti bahwa suami saya berada di sana." ujar Lisa sambil menatap layar ponselnya, masih sedang mencari-cari, jari telunjuknya menyapu-nyapu layar dengan kesal.

"Ini." Lisa memberikan ponselnya kepada Bagas.

Ada sebuah email dari salah satu situs booking hotel yang mengirimkan bukti receipt dari Elle Hotel. Bagas melihat tanggalnya: 31 Desember 2017. Celah yang diciptakan Bagas kini telah tercoreng. Kecurigaan sekejap sirna. Dengan pundak naik-turun Bagas mengembalikan ponsel perempuan itu.

Senyum tergelincir di wajah Lisa, kedua alisnya terangkat. Ekspresi itu mengartikan isi hatinya. Perasaan menang dalam argumen yang sering dirasakan suaminya, kini dapat Lisa rasakan.

"Baik, adakah informasi yang Anda tahu yang dapat membantu saya dalam penanganan kasus ini?" Bagas bersiap mencatat sesuatu, dia mengambil kertas catatannya dari balik tumpukan potret-potret yang ada di atas mejanya.

"Tidak ada." Terang Lisa. "Seperti yang saya katakan di awal tadi, saya tidak begitu tahu gadis ini. Saya hanya mendengar tentang gadis itu dari mulut suami saya. Bahkan saya jarang sekali melihatnya gadis itu di sekitar perumahan. Mungkin saya yang terlalu sibuk sampai-sampai saya tidak pernah sekalipun bersua dengan gadis itu secara langsung."

Bagas menghela napas sembari menatap Lisa untuk terakhir kalinya, sebelum mengakhiri wawancaranya dengan perempuan itu. Seluruh gerakan, ekspresi, dan jawaban yang keluar dari sosok yang duduk di hadapannya itu tampak benar dan apa adanya.

"Baiklah kalau begitu, saya sudah selesai." Tutup Bagas, bersiap merapikan potret-potret yang berserakan di atas mejanya.

"Baik. Terima kasih." Lisa berdiri dan berjalan melangkah menuju pintu keluar. Langkah perempuan itu terhenti. Sekali lagi dia ingin melihat potret-potret Annissa itu. Tanpa menoleh ke samping, sudut mata Lisa menangkap potret-potret yang mengerikan itu.

Potret lokasi.

Potret hasil galian tanah.

Potret sekujur tubuh korban yangdipenuhi bercak tanah.

Potret pergelangan tangan korban.

Potret belatung di bagian belakang kepala korban.

Potret wajah korban dengan bibirnya yang sudah berwarna biru kehitaman.

Lisa melangkah keluar dengan menggandeng rasapuas, meninggalkan Bagas sendirian di dalam ruangan. Wajah itu. Wajah anak gadis itu, Lisa bersuara dalam hati. Adaperasaan bahagia yang menyulut dalam dirinya. Dan itu disebabkan karena melihatpotret-potret Annissa. Dia bahagia karena akhirnya gadis itu sudah tiada. Diabahagia karena Annissa Anastasya akhirnya ditemukan dengan keadaan sudah takbernyawa.Dengan begitu, sudah tak ada lagi yang perlu Lisa khawatirkan. []     

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top