KELUARGA WOTANTOBlok D3 No. 11
SANDI (40 TAHUN); ANGGOTA DPRD
PINTUNYA ditutup kembali. Sandi dan istrinya saling bertukar pandang. Mereka menunggu giliran mereka untuk masuk. Sandi sekilas menatap dua orang yang sedang duduk termengung di sudut ruangan: orangtua korban. Sang suami sedang merangkul istrinya sementara kepala sang istri sedang bersandar di bahu sang suami, tatapannya kosong dan matanya begitu sembab.
Ester—ibu mertua Sandi—sedang terduduk diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut perempuan tua itu semenjak mereka sampai di kantor. Dia terlalu lelah dengan semua proses ini. Sebagai orang pertama yang menemui jasad korban, Ester telah menjadi santapan utama para reporter berita. Kalau bukan karena anjing peliharaan milik Ester, jasad Annissa mungkin masih tersembunyi di dalam tanah, di tempat yang bukan seharusnya menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Di sebelah perempuan tua itu duduk istrinya Sandi yang bernama Helen. Tiba-tiba saja Helen berdiri dari tempat duduknya dan mendatangi salah satu petugas yang sedari tadi hanya terfokus pada layar komputernya, jarak meja petugas itu berkisar dua meter dari tempat di mana orangtua korban sedang duduk berkabung.
Sandi hendak memanggil istri dan menanyakan apa yang hendak dia lakukan, tapi Sandi terlalu kaku untuk menggerakkan mulut dan tulang-tulangnya. Ruang tunggu itu terasa sangat sepi sekali, sehingga hanya terdengar suara embusan napas dari setiap orang yang tersisa. Helen terpaksa harus berbisik kepada petugas berkumis lele itu agar tidak memecahkan keheningan dalam ruangan.
Helen berbalik badan menatap Sandi dan memberi isyarat dengan mulutnya: toilet. Lalu menunjuk pintu yang ada di depannya.
Sandi mengangguk paham.
Beberapa detik setelah istrinya menutup pintu menuju toilet, Bagas membuka pintu ruangan interogasi. Sandi seketika langsung menegakkan tubuhnya dan bersiap.
Bagas melirik-lirik orang yang tersisa dan mendapati Sandi yang wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia tengah menunggu gilirannya. Bagas mengangguk ke arah Sandi. Sandi langsung memahami arti anggukan itu.
"Sudah sembilan orang," ujar Bagas sesaat Sandi melangkah memasuki ruangan. Bagas tidak tahu orang yang berada di hadapannya adalah seorang anggota dewan.
Sandi berwajah lonjong dan penampilannya sangat sederhana. Dia hanya mengenakan kaus oblong berwarna putih beserta celana pendek berwarna coklat muda. Bukan penampilannya yang seharusnya dia tampilkan.
Sandi menatap mata Bagas dalam-dalam. Dari sorotan matanya, Sandi dapat melihat kelopak mata Bagas yang mulai mengecil, seperti ada satu pikiran yang tersirat di dalam kepalanya, tetapi Sandi tidak dapat membacanya.
Bagas menoleh ke kaca sekat dan mendapati Helen yang barus saja duduk di samping perempuan tua itu.
"Saya yakin Anda sudah—setidaknya—mendapatkan informasi-informasi yang mengarah kepada kasus ini dari kesembilan orang tersebut," ujar Sandi.
Bagas berpaling menatap Sandi dan berjalan menuju kursi putarnya. "Silakan duduk dulu," ujarnya,
Sandi mengangguk dan membuat senyuman, kemudian dia duduk.
"Beliau yang berada di luar itu..."
"Dia ibu mertua saya," Sandi langsung menjawab.
Bagas mengangguk, tiba-tiba saja dia merasakan bagian dalam lubang hidungnya terasa gatal. Secara refleks dia langsung memasukkan jari manisnya dan menggaruk dinding bagian dalam hidung.
Sandi takjub melihat apa yang baru saja dilakukan Bagas.
"Maaf." Bagas menghentikan apa yang baru saja dia lakukan. Tetapi rasa gatal itu luar biasa menggoda. Susah untuk ditahannya.
"Tidak apa-apa, kita sebagai manusia tidak dapat menolaknya, itu salah satu keanehan dalam hidup ini. Kita dibuat susah untuk menahan rasa gatal dan gelitik." Sandi terkekeh kecil.
Bagas membalasnya dengan tersenyum simpul.
Sandi lalu melanjutkan, "Kita akan terus tergoda untuk mencoba menahan rasanya, tetapi sulit. Benar, tidak?" Dia mengangkat alis sebelah kanannya. "Hampir tidak bisa. Sama halnya dengan menahan hawa nafsu."
Mendengar respons Sandi, Bagas langsung kembali menggaruk hidungnya. Rasa puas langsung terasa dalam dirinya.
"Membahas soal ini: kepuasan dan hawa nafsu. Saya punya teori tentang kasus ini." Sandi meletakan kedua lengannya di atas meja. "Setidaknya hanya ini yang mungkin dapat saya berikan sebagai seorang yang berkewajiban untuk..." Sandi langsung meloncatkan kalimatnya. "Saya tidak kenal dengan korban, maupun keluarganya. Hanya saja pemikiran saya ini datang dari pengamatan saya terhadap kasus-kasus seperti ini, dari cerita-cerita lama, dari buku-buku dan juga dari berita-berita yang punya kasus serupa." Sandi mendongkak, lebih mendekatkan tubuhnya ke tengah meja.
"Mengapa dikuburkan di sebuah lahan kosong dekat rumah?" tanya Sandi, dia kemudian menyapu dagu dengan jemarinya.
"Apa yang coba Anda sampaikan?" tanya Bagas.
Sandi kembali mundur dan bersandar. Dia memalingkan wajah ke kanan selama beberapa detik, lalu langsung kembali menatap Bagas. "Sering kali pada kasus-kasus seperti ini yang menjadi pelaku utamanya adalah kekasih korban sendiri, atau orang-orang terdekatnya."
Bagas hanya menatap laki-laki itu, tidak memberikan tanggapan apa pun, kecuali dengan mengangguk.
"Maksudku, bagaimana mungkin gadis cantik yang menggoda seperti Annissa tidak memiliki seorang pacar, kalaupun memang tidak, dia pasti telah didekati oleh banyak anak laki-laki di sekolah maupun di luar sekolahnya," ujar Sandi, mengada-ada.
"Jadi maksud Anda?" Bagas akhirnya mendongkak dari sandarannya.
"Apakah salah satu dari kesembilan orang sebelumnya ada menyebutkan bahwa gadis ini memiliki seorang kekasih atau semacamnya?" tanya Sandi, penasaran, dia terlihat seperti sangat menyukai dengan hal-hal yang berkaitan dengan seorang kekasih.
"Tidak," jawab Bagas.
"Nah, di sinilah biasanya seorang yang melakukan penyelidikan terkecoh, mereka lebih terfokus pada pihak-pihak yang dapat dijangkau dan dilihat, tidak dengan mereka yang bersembunyi di balik tembok, mereka yang benar-benar bersalah."
Bagas menuliskan sesuatu pada catatannya dengan huruf kapital. Lalu dia menggaris bawahi tulisannya itu.
SEORANG KEKASIH? ORANG TERDEKAT?
Bola mata Sandi jatuh membaca apa yang Bagas tulis pada buku catatan kecilnya. Lalu dia mengangkat pandangannya, meminta Bagas untuk mendengarkan perkataannya.
"Bisa saja pelakunya dengan sengaja menguburkan mayat itu di perumahan kami agar terhindar dari perbuatannya. Pengalihan tersangka yang cerdas bukan? Orang-orang akan berpikir bahwa pelakunya pasti adalah salah satu dari kami. Para penghuni blok sekitar."
Sandi berhenti sejenak dan berpikir. "Atau mungkin ... memang salah satu dari kami." Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya, seakan berucap bahwa dia tidak tahu siapa di antara tetangganya yang mungkin melakukannya. Lalu dia teringat satu orang. Satu kejadian yang terjadi pada tahun lalu. Satu konflik yang melibatkan Annissa Anastasya di dalamnya.
"Apakah sudah ada saksi sebelumnya yang menceritakan tentang kejadian yang terjadi di akhir bulan Oktober pada tahun lalu itu kepadamu?"
Bagas menggeleng. Tidak ada satu pun orang kecuali Debby yang memberikannya keterangan yang meyakinkan.
"Kejadian apa?" tanya Bagas.
"Saya tidak tahu persis bagaimana itu terjadi. Tetapi istri saya berada di sana saat itu terjadi. Kau mungkin dapat menanyakan hal itu kepadanya."
Rasa penasaran Bagas mulai meluap-luap ke permukaan.
Kejadian apa yang dimaksudkan.
Apa sebenarnya yang terjadi.
Apa sebenarnya yang dilakukan Annissa.
"Saya hanya ingin tahu kapan kali terakhir Anda melihat Annissa? Di mana?" Bagas melempar dua pertanyaan sekaligus.
Ekspresi Sandi berubah datar dalam sesaat. "Sudah lama sekali. Berbulan-bulan yang lalu. Sebelum kejadian yang saya bilang tadi itu terjadi."
"Oh ya, perlukah saya menjabarkan aktivitas yang saya lakukan pada hari saat gadis itu menghilang? Bukankah itu yang ingin kau cari tahu?"
Bagas hanya memberikan isyarat dengan mengedipkan matanya dan membuat satu anggukan pelan. Dia masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa para saksi lain tidak ada yang memberikannya keterangan mengenai kejadian yang dimaksudkan Sandi tadi. Bagas ingin buru-buru mendengar cerita itu dari Helen, setelah dia selesai dengan Sandi.
"Baik, saya keluar rumah dari pukul delapan pagi. Setiap hari minggu saya pergi ke studio gymyang ada di salah satu mal dekat sini, karena saya tidak begitu suka dengan studio gym di sport center yang disediakan di blok kami. Kemudian saya mengajak istri dan ibu mertua saya untuk makan siang di sana."
Bagas tidak tertarik dengan penjelasan Sandi. Dia tidak mendengarkan.
"Istri dan ibu mertua saya pulang terlebih dahulu, mereka pulang sekitar pukul enam sore. Sementara saya lanjut pergi menonton salah satu film yang baru ditayangkan di bioskop. Seorang seperti saya juga perlu hiburan," ujarnya tersenyum. Lalu Sandi baru menyadari bahwa Bagas tidak mendengarkan ucapannya.
"Ehm," Sandi berdeham. Dia tidak ingin membuang tenaga pada orang yang tidak mendengarkan.
"Maaf, terus?" Bagas berusaha untuk fokus kembali. Tetapi jelas masih terlihat bahwa dia tidak tertarik dengan semua perkataan Sandi. Dia ingin mendengar kisah soal Annissa itu sekarang.
"Saya memesan tiket midnight yang pemutarannya dimulai dari jam setengah sebelas malam."
"Saya rasa kita sudah selesai."
"He?" Sandi terhenti. Dia bingung. Dia merasa dirinya tidak dihargai. Dia merasa dirinya seperti orang konyol. Sudah banyak orang yang memandangnya remeh. Pada akhirnya Sandi sadar bahwa tidak ada gunanya dia menjelaskan. Dia harus bersikap lebih, seorang polisi seperti Bagas tidak pantas mendapatkan bantuan dan perhatian lebih dari dirinya. "Intinya saya merayakan malam pergantian tahun di dalam studio bioskop," Sandi menutup kalimatnya.
"Baik." Bagas mengangguk.
Sandi geram, tapi dia harus bersikap biasa saja. Lagi pula tenaganya sudah terkuras. Jarum jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Dia harus segera makan siang.
"Kalau begitu terima kasih... hmm?" Bagas tergagap.
"SandiagaWotanto, kau tidak mengenal saya? Anda tidak pernah melihat wajah saya di sekitar wilayah sini?"
Lagi-lagi Bagas tidak tertarik. Dia hanya melempar senyuman kikuk dan mengangguk.
Mengangguk. Mengangguk. Mengangguk. Bagas percaya bahwa sebuah anggukan adalah jawaban terbaik yang dapat diberikan setiap orang dalam situasi apa pun, kepada siapa pun dan di mana pun. Dengan sebuah anggukan lawan bicara dapat langsung membaca maksud dan tujuan kita, apakah kita benar-benar paham atau mungkin kita sudah bosan dengan topik yang menjadi bahan pembicaraan, bisa juga dikeluarkan dengan penuh kesadaran saat kita ingin terlihat 'memperhatikan' lawan bicara kita. Bentuk non-verbal dari ucapan 'aku mendengarkanmu'. Semua bergantung pada situasinya.
"Bisa tolong panggilkan istrimu?" pinta Bagas dengan sopan.
Sopan. Sopan. Sopan. Tiba-tiba saja Bagas teringat ucapan ayahnya. Kau harus sopan! BUG. Memori tentang kekerasan yang sering dilakukan ayahnya kepada Bagas kini kembali mengambang di atas kepalanya. Saat masih bocah dulu ayahnya sering menampar wajah kecil Bagas. Dia tidak paham mengapa ayahnya sedemikian kejam terhadap dirinya.
Semua itu dilakukan ayahnya agar membuat Bagas menjadi anak yang patuh. Anak yang penurut. Alasannya sesederhana itu. Memang bukan suatu alasan yang kuat, Bagas baru menyadari itu saat dia sudah dewasa.
Tidak. Cukup. Bagas tidak ingin mengingat-ingat tentang ayahnya lagi. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top