KELUARGA ANGKASA; Blok D3 No. 10
CHRISTIAN (42 TAHUN); DOKTER
SAAT memasuki ruangan, Christian menyaksikan Bagas tengah melamun, terpaku pada sesuatu di atas sudut ruangan. Tubuh dan pikiran Bagas tidak sedang menyatu. Bagas mengail sesuatu di balik tumpukan memori, celah dan bukti yang harus dia gali lebih lanjut. Tetapi nyatanya, dia tidak menemukan bukti yang resmi—yang dapat dia gunakan dalam menyelesaikan kasus ini. Tidak ada satu pun, kecuali pernyataan yang keluar dari mulut para saksi. Tidak ada yang berwujud dan berbentuk fisik.
Bagas mengerjapkan matanya, lalu dia memijat-mijat area pelipisnya dengan kedua jari jempolnya.
"Ehm," Christian berdeham.
Bagas langsung menoleh, dia merasa sedikit terganggu karena baru saja dia merasakan puncak kenikmatan pada pijatannya. "Oh. Maaf, silakan duduk, dengan?..." responsnya dengan sopan.
"Christian," jawab pria berbadan jangkung itu.
Kilauan rambut Christian langsung menarik perhatian Bagas. Rambut hitam dan tebalnya itu, pagi tadi, sudah diatur sedemikian rupa sebelum dia berangkat ke kantor polisi, sehingga Christian tampak begitu formal di antara yang lain. Rambut pria itu digunting belah pinggir dengan jambul kecil membentuk lingkaran pada daerah poninya. Kemeja yang dia kenakan dimasukkan ke dalam celana jeans berwarna biru tua. Dan dari semua pria yang berada di situ, yang wajahnya terlihat awet muda dari umur mereka yang sebenarnya hanya Christian.
"Profesi Anda?" Bagas bertanya.
"Saya seorang dokter," jawab Christian.
"Oh, spesialis?"
"Tidak. Umum."
"Oke." Suara Bagas terdengar serak dan tak bersemangat. Itu membuat Christian merasa sedikit risi sekaligus khawatir. Petugas itu sudah tampak lelah. Kantung matanya yang memang sudah besar menjadi semakin membabi buta, juga ditambah dengan wajahnya yang tak bersemangat.
"Anda baik-baik saja?" tanya Christian.
Langsung saja sesaat mendengar pertanyaan itu, Bagas mulai menegapkan badan dan berpura-pura bahwa dia baik-baik saja. Bagas menyadari bahwa dia tadi bersikap kurang profesional, nada bicaranya pada kalimatnya yang terakhir nyaris terdengar acuh tak acuh.
"Saya baik-baik saja. Maaf. Saya mulai saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama—yang sudah saya tanyakan kepada orang-orang sebelumnya," ujar Bagas, tangan kanannya meraih catatan kecilnya. "Apakah Anda mengenal gadis ini? Annissa?"
Christian tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak lalu menjawab dengan nada yang penuh dengan rasa empati terhadap kejadian yang menimpa korban dan keluarga korban. "Secara langsung, tidak," jawabnya, lalu dia melanjutkan, "tapi saya kenal dia dari putri saya, Debby. Putri saya yang tadi—"
Kalimat Christian terhenti karena Bagas sudah melemparkan anggukan paham. Bagas tahu yang dimaksud Christian adalah anak perempuan yang tadi sempat menggemparkan semua orang yang berada di ruang tunggu.
"Sejak dulu putri saya selalu ingin berada satu sekolah dengan Annissa. Setelah lulus SMP, pada awalnya kami ingin mendaftarkan Debby ke salah satu SMA negeri yang tidak kalah baiknya dengan sekolahnya yang sekarang, tetapi dia memilih untuk tetap mengikuti Annissa di sekolah swasta. Memang sih sekolah itu berprestasi hampir di segala bidang." Christian terdiam sebentar, mengetahui Bagas tidak menanggapi dia lalu melanjutkan. "Entah apa yang dilihatnya dari Annissa. Tidak ada yang patut dia ambil contoh dari gadis itu. Ya, kecuali soal bakatnya dalam bidang olahraga. Tapi tetap saja, saya dan istri saya selalu berharap agar Debby berhenti menyanjung-nyanjungkan gadis itu. Namun, tampaknya dia tidak mendengarkan kami."
Bagas menulis nama anak perempuan itu pada buku catatannya: Debby. Lalu dia melingkarinya, dengan tujuan untuk dia tanyai lebih lanjut. Bagas merasa anak itu punya satu informasi besar dalam kasus ini.
"Oh ya. Pada malam tahun baru itu, jika itu yang ingin kau bahas, saya berada di Rumah Sakit. Saya sedang shift malam." Christian sudah mengetahui lebih dulu soal pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan Bagas kepada para saksi lain. Lagi pula, itu memang pertanyaan yang bertujuan untuk mencari tahu alibi mana yang terdengar benar dan mana yang terasa dibuat-buat. Suatu hal yang sudah lumrah.
"Ada yang dapat membuktikan bahwa Anda benar berada di Rumah Sakit? Dan daftar penganganan Anda selama malam itu?" Bagas bertanya.
Pertanyaan itu langsung menggugah hati Christian. Dia menegapkan tubuhnya. "Ya, Anda bisa langsung menanyakan perawat yang menjaga pos jaga pada malam hari itu, dia pasti memiliki catatannya. Juga sekaligus semua daftar penganganan dokter yang bertugas di malam itu."
Ada sedikit jeda di antara mereka, selama beberapa detik Bagas menatap Christian, namun sorot matanya terlepas dan jatuh pada wajah pria itu yang sangat bersih, pori-pori wajah Christian hampir tak tampak sama sekali.
"Alamatnya?" tanya Bagas.
"Rumah Sakit Putra Erlangga, di Bintaro."
Bagas lalu mencatat nama Rumah Sakit itu. "Kalau begitu, saya rasa saya sudah selesai."
Tidak ada lagi yang perlu ditanyakan. Pria itu tidak mengenal Annissa, hanya mendengar tentang gadis itu dari putrinya. Sekarang Bagas sudah mempunyai sasaran baru. Dia ingin lekas bertemu dan menanyai anak perempuan itu.
Bagas mengikuti Christian dari belakang saat pria itu melangkah keluar menuju tempat anak dan istrinya duduk menunggu. Melihat Christian duduk di antara mereka—kedua perempuan yang sangat Christian sayangi—tangan kirinya merangkul anaknya yang bernama 'Debby' itu, lalu dia berbisik di telinga anak itu.
Entah apa yang dia bisikkan. Bagas tak tahu. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top