ERIC (18 TAHUN); PUTRA TUNGGAL


ANAK laki-laki tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dia hanya merasa takut berada di tempat itu dengan semua aparat yang ada, terlebih lagi karena melihat seluruh tetangganya ada di tempat itu. Menunggu. Ditanyai. Satu per satu.

Dia memikirkan apa yang harus dia katakan, sebelum petugas itu keluar dari ruangan dan memanggilnya. Jangan gugup, semangatnya dalam hati. Tetapi, dia tidak bisa menyembunyikan rasa gugup karena sedari tadi dia terus saja menggosok-gosok telapak tangannya.

Eric menoleh ke samping kiri, ada Dwi yang sedang berdiri bertumpu pada tembok. Umur perempuan itu hanya lebih tua beberapa tahun darinya.

"Dwi," sahutnya.

Dwi tersadar dari lamunannya, "Iya? Kenapa?"

Eric menggelengkan kepalanya melihat kebiasaan perempuan itu. Dwi sering melamun. Eric sudah tidak heran lagi soal itu. Dia sering melihat Dwi termenung, entah itu di dapur, di kamar Dwi sendiri, bahkan saat Eric sedang mengajaknya bicara sekalipun.

"Eric?" sahut Dwi, kikuk.

Eric tidak menghiraukannya. Bersamaan pula dengan itu, Dwi terjun kembali masuk dalam angan-angannya yang tadi sempat dia tinggalkan.

Saat pikiran Eric dan Dwi sama-sama sedang menggelegak ke mana-mana, Bagas membuka pintu dan seketika itu Eric dan Dwi tersontak dari tempat mereka masing-masing.

Eric dapat merasakan bahwa kali ini adalah gilirannya, dan dia benar. Petugas itu menunjuk dirinya untuk masuk. Kedua tungkai kakinya gemetar, telapak tangan dan kakinya basah. Dia bangkit berdiri dan memasuki ruangan, melewati Bagas yang sedang berdiri menunggunya di ambang pintu.

Bagas sengaja membiarkan Eric mengamati seisi ruangan terlebih dulu.

Ruangan itu tidak sama seperti yang sering dilihat Eric pada film-film ataupun di serial acara televisi. Terlalu banyak cahaya yang masuk melalui sekat kaca pembatas itu, yang menjembatani mereka yang berada di dalam ruangan dan mereka yang berada di ruang tunggu. Setelah selesai menilai-nilai seisi ruangan, Eric menatap Bagas bingung—tidak tahu harus berbuat apa—tangan sebelah kirinya menggenggam sandaran bangku. Bahasa tubuh yang langsung dipahami Bagas.

"Duduk," kata Bagas.

Eric tidak segera duduk.

"Mau interogasi sambil berdiri?" Bagas mengejek Eric, menciptakan senyuman penuh di wajahnya yang sudah mulai redup itu.

Eric akhirnya duduk, lalu merespons ejekan Bagas dengan satu hal yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan namun tak dapat dia dihindari, dia melempar senyuman canggung. Senyuman yang memiliki arti buruk. Senyuman yang mungkin akan membuat Bagas mencurigai dirinya.

"Saya yakin Annissa itu temanmu?" tanya Bagas penuh keyakinan. Tinggal di satu kompleks yang sama dan bersekolah di sekolah yang sama, tidak mungkin mereka berdua tidak saling kenal satu sama lain bukan?

"Bukan," jawab Eric. "Annissa tidak mau bergaul dengan orang seperti saya." Dia tertawa.

Bagas menatapnya heran, "Mengapa begitu?"

Eric membenarkan kacamatanya. "Karena memang begitu. Annissa bergaul dengan teman-teman perempuannya, mereka lumayan sering dipandang kalau di sekolah."

"Dipandang?" Bagas mengerti apa maksud Eric, tapi dia tetap saja masih melontarkan pertanyaan itu. Bagas penasaran.

"Iya. Mereka populer," Eric menjawabnya dengan ekspresi tidak senang. Pandangan matanya berpindah ke arah lain saat mengucapkan kalimat itu, menghindari tatapan Bagas.

Bagas mengangguk. "Memangnya kamu tidak dipandang di sekolah?"

Eric ingin menjawab ya, tetapi dia sadar dia hanya sebatas siswa kesayangan bagi para sebagian guru. Sementara Annissa, dia bagaikan tajuk mahkota semua orang. Pujaan. Idola, baik seluruh siswa maupun guru. Sampai pada kalangan pekerja seperti satpam, penjaga koperasi, bahkan staf tata usaha sekali pun—mereka mengenal Annissa. Satu sekolah mengenal Annissa.

"Tidak, Annissa itu seperti seorang bintang panggung di sekolah. Unggulan. Best of the best. Tidak ada yang berani menyentuhnya. Sementara saya?" Eric mengangkat kedua bahunya.

"Jadi... kalau kalian tidak berteman, apa status kalian?"

Pertanyaan itu membuat Eric bingung sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak. Alih-alih Eric hanya memberi Bagas tatapan heran. "Tetangga mungkin?" Eric benar-benar merasa kesal dengan pertanyaan Bagas, dia tambah kesal lagi karena sekarang Bagas sedang tersenyum kepadanya. Eric yakin ada maksud 'merendahkan' dalam senyuman itu.

"Oke Eric, kalau begitu apakah ada informasi lain yang kamu tahu? Masalah atau sesuatu yang terjadi sebelum Annissa menghilang pada hari itu?"

Eric menggeleng.

"Terakhir kali saya melihatnya, di kantin sekolah, sebelum liburan akhir tahun."

Bagas mencondongkan tubuhnya.

"Hmmm... ada informasi lain yang kau tahu? Yang mungkin dapat membantu saya mengungkapkan kasus ini?" ulang Bagas dengan penuh pengharapan bahwa Eric menyimpan sesuatu yang berguna.

Anak itu hanya terdiam, tidak berusaha memikirkan apa pun.

"Informasi? Apa pun?" ulang Bagas.

"Sayangnya tidak ada, saya lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Saya hanya melihat Annissa di sekolah."

Melihat wujud fisik serta bagaimana cara Eric menjawab pertanyaan, jelas membuat Bagas dapat menebak kepribadian anak itu. Dia melihat sosoknya yang dulu ada di dalam diri Eric. Sosok sebelum dia mulai membuka dirinya pada semua orang yang ada di sekitarnya. Hampir sepanjang masa remaja Bagas, dia habiskan dengan membaca dan menonton. Aktivitas monoton yang dilakukannya berulang-ulang. Sama halnya dengan Eric.

Bagas menanyakan pertanyaan yang sama."Eric, kau berada di mana pada minggu malam saat korban menghilang?"jemari-jemarinya memainkan pulpen.

Eric menelan ludah lalu menjawab pertanyaan itu.

"Seharian saya di rumah saja pada hari itu. Saya bangun-bangun sudah siang, ibu dan ayah sudah pergi. Jadi saya menghabiskan waktu saya seharian dengan menonton."

"Pada malam hari?" tanya Bagas. Dia ingin memastikan bahwa Eric dapat membenarkan alibi ayahnya, alibi Mikael.

Anak itu menjawab, "Menonton. Lalu Ayah datang menemani. Sekitar pukul sebelas saya sudah kembali ke atas, ke kamar saya, membaca beberapa menit, lalu tidur."

"Lalu ayahmu? Apa yang dia lakukan setelah kamu kembali ke kamarmu?" Rasa penasaran Bagas semakin menjadi-jadi, didekatkannya wajahnya di hadapan Eric agar dia dapat melihat kejujuran yang tersirat dari wajah anak itu.

"Ayah sudah tertidur di pertengahan film. Sekitar pukul tiga pagi—saat saya turun untuk mengambil air, ayah sudah tidak ada. Dia berpindah ke kamar dan tidur bersama ibu. Kemudian—"

"Tunggu dulu, kau mengecek kamar mereka?" sela Bagas.

"Tidak, tapi pintu kamar mereka terbuka. Saya dapat melihat mereka berdua di dalam, sedang tertidur pulas." Eric tidak sengaja menggerakkan bangku yang dia duduki sehingga membuat bunyi derit di lantai.

Interogasi mereka selesai. Bagas mengangguk dan berdiri membukakan pintu. Saat Eric sampai di ambang pintu, Bagas membungkukkan setengah badannya lalu berbisik di telinga Eric. "Tolong panggilkan perempuan itu." Bagas menunjuk Dwi yang sedang sibuk merapikan penampilannya.

Eric mengangguk tanpa menatap wajah Bagas, pandangannya fokus ke depan. Lalu dia berjalan sembari memberi isyarat kepada Dwi, bahwa gilirannya telah tiba. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top