DWI (24 TAHUN); ASISTEN RUMAH TANGGA

DWI merasakan rambutnya sudah lengket—saat dia mencoba mengikat rambutnya dengan karet gelang. Dia tahu setelah ini adalah gilirannya untuk di tanyai, dan dia juga tahu apa yang akan dia katakan.

Dwi merapikan penampilannya. Dia mengenakan kaos polos berwarna krem dengan rok panjang berwarna cokelat tua berbahan kain. Kaos itu terlalu besar untuknya, sehingga terpaksa harus dia masukan ke sela-sela roknya. Itu bukan kaos miliknya, kaos itu pemberian dari Rini. Majikannya itu sering menghibahkan kaos-kaos tua milik Mikael kepadanya. Mungkin jika para majikannya datang ke rumahnya untuk berkunjung, mereka akan terkejut melihat semua anggota keluarganya memakai pakaian bekas mereka itu. Terutama adik-adik Dwi yang semuanya masih kecil-kecil.

Saat jari-jarinya berhasil menyelipkan bagian belakang kaos itu ke dalam roknya, pintu ruangan wawancara terbuka. Eric keluar memberi isyarat untuk menyuruhnya masuk ke dalam ruangan interogasi. Dwi segera maju dan masuk ke dalam ruangan.

Umur Bagas dan Dwi tidak terlampau jauh. Dengan satu lirikan saja, Bagas dapat langsung menilai bahwa perempuan semacam Dwi ini adalah sosok yang penurut, dan mungkin sedikit susah untuk fokus dalam merespons sesuatu. Bagas banyak bertemu dengan orang semacam Dwi ini. Kebanyakan dari mereka semua sifatnya hampir sama. Mereka adalah orang yang pantas diberi julukan 'sang pelamun'.

"Silakan duduk," ujar Bagas sambil menunjuk bangku yang ada di depannya.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya.

"Tidak usah, Mas," Dwi menolak.

Bagas tidak mau bertanya lagi mengapa—dia sudah tidak peduli lagi—jadi dia melanjutkan.

"Sudah berapa lama bekerja di rumah keluarga Edyanto?"

"Baru mau dua tahun, Mas." Ungkap Dwi dengan wajah polosnya, seluruh badannya menjadi kaku. Terlihat jelas matanya mencari-cari sesuatu, tetapi dalam seisi ruangan itu hanya terdapat meja dan bangku. Apalagi yang perempuan itu cari?

"Tidak ada kamera CCTV di sini," Bagas seakan membaca pikiran Dwi.

Dwi tertegun menatap Bagas lalu wajahnya berubah malu.

"Tapi semua percakapan saya rekam dengan alat ini," Bagas mengangkat ponsel kantornya yang layarnya sudah menunjukkan bahwa rekaman suara sudah hampir mencapai satu jam.

"Sedang sehat?" tanya Bagas.

Dwi mengangguk tapi tak yakin.

Bagas menggerakkan ponsel yang sedang merekam itu dari tangannya, dan Dwi segera menangkap artian itu.

"Ya." Jawab Dwi.

"Sudah siap untuk ditanyai?"

Ada jeda sedikit. "Siap," lanjut Dwi dengan sebuah anggukan penuh keyakinan.

"Selama tinggal di Parkville, pernah ada hubungan sebelumnya dengan korban?"

Dwi menaruh kedua tangannya di belakang pinggang, "Maksud... Mas?" dahinya mengernyit, tak paham.

"Maksud saya pernah ada hubungan dengan korban? Berbincang atau bertemu?"

"Pe—pernah," jawab Dwi tergagap. Dia berhenti sejenak. "Saya ingat terakhir kali melihat korban saat masih hidup itu..." dia memejamkan matanya mengingat. "Oh ya, saat itu dia sedang berdiri di balkon kamarnya, dengan headsetterpasangdi telinganya."

"Itu kali terakhir?" tanya Bagas.

"Be—benar, itu kali terakhir, waktu itu saya di suruh Bu Rini ke pasar sore-sore." Dwi merasa bahwa dia sepatutnya memberi keterangan yang lebih lagi soal gadis itu. "Menurut saya sih Mas, korban itu dibunuh." Dwi berpendapat.

"Iya, itulah yang sedang coba saya ungkapkan di sini."

Dwi mengangguk paham, mulutnya dibiarkan menganga.

"Jadi, menurut kamu bagaimana?" tanya Bagas.

"Bagaimana apa, Mas?"

"Kamu kan bilang menurutmu tadi korban meninggal karena dibunuh. Menurutmu siapa?"

"Sa—saya juga bingung sih, Mas." Dwi terkikik dan segera menutup mulutnya. "Korban suka pakai pakaian terbuka, Mas."

"Terus?" Bagas mengangkat alis sebelahnya.

"Iya Mas, kan itu kurang baik untuk anak perempuan yang masih seumur dia ya," ujar Dwi sambil memperhatikan bangku di depannya, dia maju dan menyentuh bangku itu. Dia masih belum duduk sejak tadi.

"Saya kaget betul saat tahu Nenek Ester menemukan jasad si Annissa," Dwi memulai. "Pagi itu, saya orang kedua yang berada di tempat itu setelah Nenek Ester menemukan jasadnya. Anjingnya..." dia berhenti menelan ludah. "Anjingnya Nenek Ester yang menemukan jasadnya si Annissa."

Bagas sudah tahu itu, bukan itu yang seharusnya dia ucapkan dalam interogasi ini, tapi Bagas memakluminya. "Pada minggu malam, saat malam tahun baru, juga bersamanya saat korban menghilang kamu di mana?"

"Oh, saya tidak berada di sana," Dwi mengambil langkah dan berhenti di belakang bangku. "Hari itu juga saya izin pulang selama lima hari ke rumah saya. Di Jonggol."

Ini dia. Akhirnya Bagas menemukan apa yang dia cari. Menurut keterangan Mikael, pada malam itu Mikael sedang berada di rumah bersama istri, anak dan pembantunya. Entah siapa di antara mereka berdua yang berbohong. Itu akan segera diketahui Bagas.

"Adik saya mau sunatan, sekalian tahun baruan bersama keluarga saya. Di rumah cuma ada ibu dan adik-adik saya. Mereka manja, jadi terpaksa saya harus datang ke sana, Mas. Untung diberi izin pulang sama Bu Rini."

"Jadi, benar kamu tidak berada di Parkville pada malam tahun baru itu?" Bagas memberi umpan.

Bola mata Dwi bergerak berpantul ke dua sisi matanya, dia bingung.

"Iya, Mas, saya sudah pulang ke rumah saya dari tanggal tiga puluh satu, sore hari."

Bagas mengangguk.

"Menurut majikanmu, Mikael, kamu berada di rumah pada malam itu."

Dwi tampak kaget, "Haa?" dia menarik bangku yang ada di depannya lalu duduk.

"Iya, menurut keterangan Mikael begitu," jelas Bagas.

"Ah! tidak Mas, saya di rumah saya di Jonggol. Pak Mikael pasti lupa. Beliau sering tidak menyadari keberadaan saya di rumah karena sibuk dengan mengajar sana sini." Dwi melipat kedua tangannya di atas meja bak seorang anak kecil di bangku SD. "Mas bisa tanya sama Bu Rini. Beliau yang tahu. Toh dia yang memberi saya izin waktu itu," Dwi meyakinkan.

Rini sudah tidak ada di kantor itu. Bagas menghela napas. Memikirkan siapa di antara Mikael dan Dwi yang sebenarnya memberi keterangan yang tidak sesuai.

"Maaf, Mas," potong Dwi di sela-sela Bagas sedang menyimpulkan.

"Kenapa?"

"Maaf kalau saya dari tadi tidak jelas. Tapi benar saya tidak ada di Parkville sehari saat malam pergantian tahun. Saya baru balik lagi ke Parkville tanggal tiga Januari."

Bagas merasa ada yang tidak beres dengan perempuan ini. Dia terus menerus mengulang perkataannya—mencoba meyakinkan Bagas tentang keberadaan dirinya. Trik ini adalah trik yang paling dasar menurut Bagas. Trik yang digunakan orang-orang awam jika ingin berdalih.

"Tapi, Mas," ucap Dwi.

Bagas masih merenung.

"Mas," sahut Dwi.

Bagas tersadar dan menatap perempuan itu. "Ya?"

"Tidak apa-apa Mas, barangkali Mas ingin tahu apa yang saya lakukan sebelum berangkat pulang ke rumah saya."

"Apa?" tanya Bagas, tidak tertarik.

Alis Dwi menyatu. "Saya disuruh berbelanja banyak di pasar. Bahan-bahan makanan dan beberapa botol minuman, Saya juga disuruh mengatur halaman rumah dan memindahkan alat panggangan ke halaman samping rumah."

Bagas melempar senyuman heran. Dia tidak ingin mendengarkan apa yang akan dikatakan perempuan ini lagi. Dia tidak ingin membuang waktunya untuk mendengar kekonyolan dari mulut si pelamun ini.

"Baik saya rasa saya sudah selesai," ujar Bagas. Dia kehilangan konsentrasi dan suasana hatinya memburuk.

"Sudah, Mas?" Dwi tidak menyangka akan secepat ini. Ada sesuatu yang tidak beres dengan petugas itu. Dia terlihat kelelahan.

"Iya." Ubun-ubun kepala Bagas berkedut. Penglihatannya sesaat menjadi samar-samar. Dia menatap dinding ruangan yang terlihat seperti sedang meleleh. Buram. Wajah Dwi terlihat bagaikan patung lilin yang rusak di mata Bagas.

"Baik, Mas," ujar Dwi, yang juga sudah ikut berdiri.

Bagas merogoh pil di dalam lacinya dan langsung menelannya. Didorongnya obat itu dengan satu tegukan air. Lalu dia memejamkan matanya beberapa detik. Tangannya mengurut-urut bagian antara kedua matanya.

"Sehat, Mas?" Dwi, prihatin.

Bagas membuka matanya dan perlahan-lahan ruangan sudah tampak kembali seperti semula. Dia dapat melihat wajah Dwi dengan jelas lagi.

"Ya," jawab Bagas.

Bagas segera mengambil langkah dan membukakan pintu untuk Dwi. Tepat setelah pintu terbuka, terlihat seorang perempuan menerjang buas kepada seorang anak perempuan di ruang tunggu itu. Perempuan itu berteriak, lalu dilanjutkan dengan suara tangisan penuh duka. Bagas dan Dwi saling bertukar tatap dan mereka berdua segera melesat keluar dari ruangan.

Perempuan itu adalah ibu dari korban, yang sekarang sedang menangis tersedu-sedu di dekapan sang suami. Dia menatap anak perempuan yang berdiri beberapa langkah dari tempat dia tersungkur.

"Jawab! Kamu kan yang datang di rumah mengendap-endap dan menaruh potongan-potongan kertas itu? Jawab!" teriak ibu korban, matanya yang bengkak dan basah dibukanya lebar-lebar, membuat semua orang di ruangan dapat merasakan denyut nadi mereka ikut menegang bersama dengan dirinya.

Sementara anak perempuan yang dimaksudkan itu sedang berdiri, badannya mengeras di pelukan ibu dan ayahnya. Anak itu menggeleng menjawab tuduhan dari ibu korban terhadapnya. Di area bawah matanya mulai terlihat luapan air mata yang sebentar lagi jatuh membasahi pipinya.

"Bohong!" teriak ibu korban. Perempuan itu berusaha menerjang lagi. Tapi ternyata dekapan sang suami terlalu kuat, sehingga tak dapat dia tandingi. Aparat yang berada di situ segera meleraikan tontonan yang penuh dengan tangisan itu.

***

Dengan suasana yang masih menegang Bagas kembali masuk ke dalam ruangan wawancara—tanpa memanggil seorang pun. Dia memutuskan untuk rehat selama beberapa menit sebelum kembali melanjutkan.

Bagas berdiri di depan sekat kaca pembatas. Dia melihat ternyata ada sepasang suami istri yang tampak lebih muda di sana. Mereka sedang berpegangan tangan. Pasangan baru, Bagas menebak. Sang istri lebih terlihat cemas daripada sang suami. Melihat itu membuat Bagas langsung menentukan siapa saksi berikutnya yang akan dia tanyai.

Lima menit sudah terlewatkan. Bagas segera melangkah keluar dan memanggil... Radit. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top