DEBBY (16 TAHUN); PUTRI TUNGGAL


BAGAS menunjuk anak perempuan itu sambil tersenyum kepadanya. Ibunya terkejut, karena merasa seharusnya bukan Debby yang akan dipanggil petugas itu, melainkan dirinya. Christian mengusap lembut kepala Debby, dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam ruangan bersama Bagas.

Debby lantas berdiri dan berjalan memasuki ruang interogasi. Dia menatap wajah ayah dan ibunya. Ayahnya terlihat percaya diri sejak keluar dari ruangan itu. Ibunya terlihat khawatir. Anak itu berbalik badan dan bersiap. Dia mengatur napas untuk mencegah dirinya agar tetap luput dari tangisan, lalu dia masuk ke dalam.

Debby tidak menyangka bahwa sosok idolanya itu akan ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Apalagi dalam keadaan terkubur, ditemukan setelah dua minggu menghilang sejak peristiwa yang dia saksikan pada malam tahun baru itu. Siapa yang tega melakukan semua itu terhadap Kak Annissa, pikirnya.

Annissa Anastasya tetangganya.

Annissa Anastasya kakak kelas di sekolahnya.

Annissa Anastasya sosok yang diidolakannya.

Meski, Anissa Anastasya selalu jahat kepadanya.

Sejak Debby berumur 12 tahun dia sudah sering memperhatikan tetangganya itu. Perempuan yang memiliki kesempurnaan yang Debby inginkan. Kehidupan sosok idolanya itu selalu bernasib baik, setidaknya sebelum kejadian itu. Menurut Debby, Annissa tidak hanya berprestasi, tetapi dia juga diberkati dengan bentuk fisik yang sempurna. Debby selalu terobsesi dengan wajah cantik Annissa. Dia ingin memiliki rahang pipi yang naik dan dagu yang lancip seperti Annissa. Dia ingin mengubah matanya yang kecil menjadi besar dan menyorot tajam seperti mata sosok idolanya itu. Dia ingin mempunyai rambut panjang yang super menawan, alis yang sempurna, hidung kecil dan runcing dilengkapi dengan bibir bawah yang padat, penuh dan terbelah. Suatu perpaduan yang sempurna jika semua itu dipersatukan. Itulah Annissa Anastasya.

Meskipun begitu, Annissa Anastasya hanya memandang Debby sebagai seorang anak kecil yang menjengkelkan dan memprihatinkan. Di satu waktu Annissa pernah menegur Debby untuk tidak selalu memberi komentar pada setiap foto yang dia unggah di akun Instagram-nya.

"Hai," tegur Bagas kepada Debby. Anak perempuan itu berbadan kecil tapi penuh isi. Dia mengenakan kacamata berwarna pink. Rambutnya yang pendek dipakaikan bando berwarna kuning sehingga terlihat mencolok. Bentuk wajahnya sama seperti ayahnya, tetapi hidung dan bibirnya dia dapatkan dari ibunya.

Debby tersadar dari ingatan-ingatannya terhadap sosok Annissa. Dia meminta maaf dan terlihat linglung di hadapan Bagas.

"Tidak usah khawatir, Debby" ujar Bagas.

Bagaimana dia bisa tahu namaku, pikir Debby.

"Debby..." ulang Bagas.

Oh, ayah pasti menyebut namaku tadi, pikir Debby lagi.

"Kenal dengan Nissa?"

Entah kenapa Bagas menyebut nama gadis itu dengan sebuah singkatan. Nissa. Mungkin sekedar membuat Debby merasa lebih nyaman dan barangkali dia akan membuka mulutnya tentang sesuatu yang dia simpan.

Dia menyebutnya Nissa, astaga, pikir Debby, matanya melebar dan kedua bibirnya saling berkatup.

Melihat ekspresi Debby berubah seakan tidak senang dengan kalimatnya barusan membuat Bagas bertanya-tanya apakah tindakannya salah. Lantas Bagas bertanya kepada anak itu. "Kenapa Debby?"

Wajah Debby tiba-tiba kembali normal, dia melempar senyum. "Tidak apa-apa, hanya saja tidak ada yang memanggil nama dia dengan sebutan itu: Nissa."

"Kenapa begitu?" tanya Bagas, heran.

Debby tersenyum dan membenarkan kacamatanya. "Dia tidak suka dipanggil dengan panggilan itu, teman-temannya lebih sering memanggilnya dengan sebutan, Ica atau Annissa saja—sekalian lengkap, daripada memanggilnya 'Nissa', karena dia akan marah."

"Loh mengapa begitu? Kamu tahu alasan kenapa dia tidak suka begitu?" Bagas penasaran dan dia tidak ingin mengalihkan topik pembicaraan, ini kesempatan baginya untuk menggali lebih dalam tentang Annissa. Mungkin Debby salah satu orang yang dapat membantunya menyelesaikan kasus ini.

Debby terdiam, dia terlihat sedang berpikir, lebih tepatnya mengenang.

Selama hampir dua puluh detik Bagas menunggu jawaban dari Debby, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut anak itu. Bagas menaikkan kedua alisnya dengan penuh tanya.

Akhirnya Debby merespons. Dia menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu. "Saya tidak tahu, Mas," suara Debby memelas. "Saya sudah pernah menanyakan dan mencoba mencari tahu kenapa Kak Annissa tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, tapi saya tidak mendapatkan jawaban darinya. Jadi daripada terus menerus mencari tahu maka saya membuat asumsi sendiri saja."

Bagas menopangkan dagu dengan tangan kanannya. Jari telunjuknya menyapu-nyapu kulit bagian atas bibirnya. "Jadi?" Bagas bertanya. Dia suka dengan anak ini. Bukan hanya karena anak ini terdengar seperti mengenal baik sosok korban, tetapi karena dia tampak polos dan lugu.

"Saya asumsikan karena 'Nissa' lebih terdengar feminin dan tidak merepresentasikan identitas Kak Annissa. Sementara Ica lebih terdengar, semacam..." dia mencoba mencari kata-kata yang pas, "semacam ganas." Dia mengangguk. "Ya, lebih terdengar buas. Sangat cocok untuk sifat dan paras Kak Annissa," tambahnya.

Bagas mengatupkan kedua bibirnya, dia terlihat seperti sedang menahan tawa.

"Saya tahu, itu terdengar aneh," Debby tertawa memelas. "Saya memang sedikit aneh," dia menambahkan.

Bagas tiba-tiba merasa ada ketegangan dalam dirinya. Dia tidak ingin membuat Debby merasa tidak nyaman, terutama terhadap dirinya.

"Kau tahu? Menurut saya tidak ada yang aneh dari dirimu. Dari semua orang yang masuk di ruangan ini, kamulah yang paling mengenal sosok Annissa dengan baik. Mungkin kamu dapat membantu saya?"

Senyuman muncul di wajah anak itu. Debby sedikit tersipu, lalu dia mengangguk.

"Baik Debby, saya akan melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan lebih terfokus kali ini."

Tiba-tiba saja Debby merasa gugup, seisi ruangan terasa semakin sunyi saja. Jantungnya berdetak lebih kencang. Debby mengangguk lagi, tetapi dia terlihat tidak yakin dengan dirinya sendiri.

"Kamu—berada—di—mana—saat—malam—tahun—baru?" Bagas mengacungkan pertanyaan itu dengan kata per kata.

Kenapa dia membuat ini menjadi lebih menegangkan, pikir Debby.

"Maksud, Mas, saat malam hari Kak Annissa menghilang dan tidak pulang rumah?" tanya Debby, suaranya bergetar.

"Benar."

"Saya berada di rumah, Mas," Debby memajukan bangku, lalu mengatur bandonya agar lebih terarah ke belakang. "Saya selalu melewatkan malam tahun baru. Saya selalu pergi tidur sebelum langit menjadi ramai. Keesokan harinya saya dapat kabar bahwa Kak Annissa tidak pulang ke rumah sejak semalaman."

Bagas mencoba membaca Debby. Dia menatap mata Debby yang berwarna cokelat gelap dari balik kacamata tebal yang dia pakai. Anak itu berkata jujur.

Debby terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi dia masih ragu. Dia menelan ludah sambil menatap Bagas. Beri tahu atau tidak beri tahu, anak itu bertanya-tanya dalam hati. Dia memiliki informasi yang mungkin dapat membantu, tetapi dia tidak merasa yakin. Tadinya dia ingin menyelidiki hal itu sendiri dengan mendatangi mereka secara langsung. Atau secara diam-diam mengikuti mereka hingga menemukan petunjuk yang benar-benar dapat membuktikan bahwa merekalah pelakunya.

"Debby?" panggil Bagas.

"Saya tidak tahu ini akan membantu atau tidak, tapi..." dia menghela napas.

"Apa?" tanya Bagas.

"Saya melihat perkelahian pada malam itu."

"Perkelahian?" pertanyaan itu melesat dari mulut Bagas secepat kilat.

"Ya, Kak Annissa berkelahi dengan tiga orang perempuan pada malam itu." Ungkap Debby, akhirnya. Bibirnya gemetaran, matanya mulai berkaca-kaca. Dia mencoba mengatur napasnya, tetapi kedua bahunya tidak berhenti naik turun. Dia terus saja teringat akan malam itu—dia merasa bersalah karena tidak membantu Annissa.

"Itu berlangsung tidak jauh dari pekarangan rumah saya, saya melihatnya, seharusnya saya membantunya, seharusnya dia tidak dipukuli seperti itu. Dia dipukuli sampai babak belur." Ujar Debby. Air mata mulai meluap di area bawah matanya.

"Debby..." Bagas mencoba menenangkan.

"Kalau saja saya membantunya, dia tidak akan kalah dari mereka." Debby mengepalkan tangannya. Punggungnya naik turun.

"Debby..."

"Kalau saja saya membantunya, dia tidak akan merasa terpuruk." Anak itu menyalahi dirinya sendiri.

"Debby..."

"Kalau saja saya membantunya, dia tidak akan ditemukan dalam keadaan tewas seperti itu!" air matanya tercurah. Debby menangis tersedu. Dia membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, menahan amarah terhadap dirinya sendiri.

Bagas berdiri dan mendekati anak itu, dia mencoba menenangkan.

"Mas juga harus menginterogasi mereka!" teriak Debby, dia menoleh ke samping menatap Bagas, ekspresinya penuh amarah.

Secara refleks Bagas menoleh melihat orang-orang di luar dari sekat kaca. Mereka tampak penasaran dan ibu korban terlihat berdiri dari tempat duduknya. Sejak tadi, tidak ada yang membuat Bagas menegang seperti ini. Teriakan Debby akhirnya membuat proses interogasi ini menjadi tidak monoton. Bagas merasakan kembali euforia dari pekerjaannya.

"Siapa?" tanya Bagas.

"Mereka! Teman-temannya Kak Annissa, sahabat-sahabat Kak Annissa! Mereka yang memukuli Kak Annissa hingga seperti itu!" Debby terisak lagi. "Saya tidak mencurigai mereka sejak Kak Annissa dinyatakan menghilang pada tanggal satu pagi. Awalnya saya pikir Kak Annissa melarikan diri atau memang sengaja menghilang ke suatu tempat, menyendiri. Karena itu memang terdengar seperti dirinya." Dia terdiam sebentar. "Tetapi saat mendapatkan kabar tadi pagi bahwa Kak Annissa telah ditemukan tewas dan dikubur di sebuah tanah kosong di dekat rumah, membuat saya kesal terhadap mereka. Teman-teman kak Annissa." Debby memukul meja.

Pikiran Bagas mulai terbuka.

"Apakah mungkin mereka yang melakukannya? Pada malam itu? Usai bertengkaran itu?" tanya Debby, wajahnya dipenuhi genang air mata.

"Siapa mereka Debby? Sebutkan nama-namanya."

"Mereka teman-teman Kak Annissa dari club renangnya. Cindy, Aulia dan..." dia terhenti menelan ludah. "Maya," lanjutnya.

Bagas menarik napas setelah Debby menyebutkan nama orang terakhir itu. Lalu dia mencatat nama-nama itu pada catatannya. "Kau tahu di mana mereka tinggal?"

Debby menggelengkan kepalanya.

"Tapi, Mas, mungkin bisa tanyakan soal itu ke pihak sekolah atau mungkin ibunya Kak Annissa."

Bagas mengangguk.

Suara tangis Debby mulai berangsur padam.

"Jadi, itu terakhir kalinya kamu melihat Annissa?'

"Iya, setelah melihat perkelahian itu saya bermaksud untuk menolongnya, tetapi dia langsung berjalan pergi, jadi saya kembali masuk ke dalam rumah." terangnya.

"Kapan kira-kira itu terjadi? Pukul berapa?"

"Sekitar pukul sepuluh malam."

Bagas mencatat itu pada catatannya.

"Baik, Debby, terima kasih."

Bagas membantu Debby berdiri dan mengiringnya keluar dari ruangan. Semua wajah orang yang menunggu, termasuk orang tua Debby tercengang melihat wajah anak mereka sudah begitu sembab. Bagas memberi sebuah isyarat kepada semuanya bahwa Debby tidak apa-apa.

Ibunya Debby langsung berdiri dan datang menghampirinya. Dia memeluk putri kesayangannya itu. Sebelum perempuan itu mulai mengacungkan pertanyaan pada Bagas soal apa yang menyebabkan anaknya menangis, Bagas sudah lebih dulu menyelanya. "Sekarang giliran Anda," ujar Bagas kepada perempuan itu.

Perempuan yang bernama Wanda itu kaget dan terdiam. Dia mencoba menenangkan anaknya sekali lagi dan langsung mengikuti Bagas masuk ke dalam ruangan. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top