BAGAS (25 TAHUN); INSPEKTUR POLISI DUA
TANGISAN bayi. Tubuh kaku ayahnya. Tangan ibunya yang berlinang darah. Tiga hal itulah yang diingat Bagas. Saat itu mereka berada di halaman rumah mereka di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Selanjutnya, memori penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap ibunya sering mengganggunya lewat mimpi di malam hari. Terutama akhir-akhir ini. Sebetulnya gejala trauma itu sudah membaik sejak Bagas lulus SMA, tetapi dengan adanya kasus yang sedang dirampungnya sekarang, seakan menarik Bagas kembali masuk ke dalam lautan hitam itu dan menenggelamkannya jauh ke dasar yang paling dalam.
Bagas terperanjat dari atas kasur. Keringat menempel di seprai dan punggungnya. Dia membuka laci nakas dan merogoh botol plastik yang berisi beberapa pil antidepresan dan antiansietas. Setelah Bagas menandaskan pil-pil tersebut dengan air putih—yang selalu dia sediakan di atas nakas—dia bersandar di kepala kasur, mencoba menenangkan diri dengan mengatur napasnya. Sekian detik setelah dia mencapai puncak ketenangan, dia mendengar suara pintu kamar yang ditutup dengan sangat hati-hati. Itu mungkin adiknya yang hendak pergi berlatih. Sejak dua hari yang lalu adik perempuannya itu selalu pergi meninggalkan rumah saat fajar. Adiknya mendapat utusan untuk menjadi salah satu perenang remaja putri yang berhak ikut serta dalam seleksi akhir memasuki ajang Asian Games.
Intensitas cahaya matahari di pagi itu mampu membuat kamar tidur Bagas yang tadinya bernuansa kelam menjadi kian temarang. Cahaya merah bercampur jingga itu melesak masuk lewat cela pintu, jendela, dan ventilasi. Pada dinding kamar itu tergantung lukisan-lukisan abstrak dengan corak tinta hitam yang mendominasi. Sebagian lukisan dibiarkan tergeletak di atas lantai karena sudah kehabisan tempat pajangan.
Bagas beralih dari kasur menuju cermin yang terpasang di belakang pintu kamarnya. Dia menatap wujudnya yang masih mengenakan pakaian yang sama dengan hari kemarin; celana bahan cokelat lengkap dengan ikat pinggang yang belum dicopot beserta kaus singlet yang sudah berbau keringat. Bagas meregangkan badan. Dia sudah merasa siap menjalani hari. Dalam hati dia berdoa: semoga tidak ada lagi kenangan buruk yang mengganggunya kali ini.
Pintu kamar mandi seraya memanggil Bagas untuk melakukan aktivitas rutinnya setiap dia bangun tidur. Membuang apa yang harus dibuang. Sembari duduk di ataskloset dia memutar tuas pancuran ke sebelah kiri hingga kandas, mengubah suhuair yang berjatuhan menjadi super panas. Satu menit kemudian, ruangan kamar mandi itu sudah dipenuhi dengan uap. Pori-porinya kini terbuka dan Bagas mulai mengeluarkan keringat. Dia menunggu sampai molekul-molekul air itu berevaporasi dengan sempurna. Saat napasnya mulai tersengal dia segera membuka pintu. Sebagian udara dingin dari AC kamarnya menebas masuk dan sebagian uap yang disebabkan air panas melebur keluar sehingga menciptakan perubahan suhu yang terjadi secara mendadak. Sensasi yang dirasakan pasca melakukan hal tersebut terasa menyegarkan dan selalu membuat Bagas menjadi relaks. Proses itu kini sudah menjadi ritual wajib sebelum Bagas pergi bertugas.
***
Mobil sedan itu berhenti di depan portal blok D3 Parkville. Bagas melihat ibu korban tengah cekcok dengan dua orang pria di depan pos masuk. Salah satunya pria mengenakan seragam satpam—lengkap dengan pentungan di pinggang. Pria yang satunya lagi berpakaian semi formal dengan senyum yang tampak dipaksakan, pria itu berupaya menjelaskan sesuatu kepada kedua perempuan yang berdiri di hadapannya.
Bagas keluar dari dalam mobil dan tak sengaja membanting pintu mobilnya dengan kasar, lantas itu membuat ketiga orang itu kompak menengok ke arahnya. Bagas melambaikan tangan, dengan tegap dia berjalan menghampiri mereka.
"Waktu yang pas," ujar Melva sambil melipat kedua lengan di dadanya. "Saya sedang menanyakan tentang rekaman CCTV yang dipasang di gerbang masuk dan meminta keterangan kepada pihak perumahan siapa yang menjaga gerbang pada malam tahun baru itu."
Sekarang Bagas tahu siapa pria yang satunya. Dia adalah orang utusan perumahan yang bertanggung jawab soal perkara keamanan dan kebersihan Parkville. Bagas memandang pria yang ditunjuk Melva. Pria itu menggelengkan kepalanya lalu diikuti tarikan napas letih.
"Sudah saya jelaskan dan saya juga sudah meminta maaf kepada ibu. Rekaman CCTV di depan gerbang sudah diperiksa petugas kepolisian kemarin, dan rekaman hanya sampai pada pukul 08:28. Sisanya blank. Kameranya rusak, hancur," jelas pria itu.
"Bagaimana dengan CCTV yang terletak di sudut jalan dekat dengan tempat jasad anak saya ditemukan tewas terkubur, huh? Rusak juga?" tandas Melva.
"Polisi juga sudah memeriksanya, hasilnya sama sekali nihil. Tidak ada apa-apa yang terjadi pada malam hari itu. Semuanya gelap dan penuh dengan kepulan asap." Pria itu juga berusaha memberitahu Bagas ketika dia menjelaskan.
"Bagaimana mungkin kalian memeriksanya tanpa memanggil saya ataupun suami saya?" Kali ini Melva mengacungkan pertanyaan itu kepada Bagas.
Bagas berusaha mengeluarkan nada suara yang sekiranya dapat menenangkan perempuan itu. "Anda bisa melihatnya sekali lagi, tim pembantu saya memiliki salinannya di kantor. Mungkin kita bisa ke sana setelah urusan kita hari ini."
"Oh ya," Melva tersadar. "Hari ini kita ada janji dengan temannya Annissa, Cindy," nada suara perempuan itu mulai menurun. "Saya pergi siap-siap dulu. Hanya mengganti pakaian saja."
Melva melangkah pergi namun langkahnya terhenti karena ada satu pertanyaan lagi yang belum terjawab. Dia berbalik badan menatap kedua pria itu lagi, dan menanyakan pertanyaan yang sebenarnya sudah dia tanyakan sebelumnya. "Bagaimana dengan yang menjaga pos pada malam itu? Siapa?" tanyanya.
Dua pria itu tidak membuka mulut, seperti sudah bosan menjelaskannya berkali-kali tetapi tidak didengar. Bagas bantu menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada dua pria itu. "Kami juga sudah mewawancarainya kemarin."
Melva berpaling menatap Bagas.
Bagas lalu melanjutkan. "Dia satpam baru dan malam hari itu dia hanya bertugas sendirian, dia mengaku tidak melihat siapa-siapa yang masuk dan keluar. Kami menanyakan kepadanya apakah dia sempat meninggalkan pos pada waktu-waktu tertentu dan dia bilang ya, beberapa kali. Alasannya dia mengidap diare berat."
"Bodoh!" umpat Melva dengan jengkel lalu dia pergi menuju rumahnya.
Bagas menoleh kepada kedua pria itu, mereka berdua sama-sama mengembuskan napas. Bagas kembali ke dalam mobilnya dan masuk ke dalam blok lalu berhenti di depan rumah korban. Rumah nomor dua belas. Suasana di dalam tampak tenang, pohon-pohon ditanam di pinggiran jalan. Tetapi keasriannya belum mampu menyamarkan perihal mengerikan yang terjadi di sana. Sejarah yang akan terus melekat pada setiap penghuni dan warga sekitar. Mereka akan selalu mengingat bahwa pembunuhan pernah terjadi di dalamnya.
Sekitar lima belas menit Bagas menunggu. Dia mendongkak dari kursi saat kaca jendela mobilnya diketuk. Melva berdiri memicingkan matanya karena diterpa cahaya matahari. Bagas beringsut dan membuka pintu mobil penumpang dengan tangan sebelah kiri. Sedan butut miliknya terlalu tua untuk dipasangkan kunci pintu otomatis jadi Bagas perlu usaha yang lebih untuk hal-hal semacam itu.
Melva masuk dan duduk. "Suami saya tidak bisa ikut. Dia ada urusan dengan pekerjaannya."
Bagas mengangguk dan memutar kunci mobil.
Melva memaksakan senyuman, lalu dia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kulit pada pangkuannya. "Tempatnya tidak begitu jauh dari sini. Dekat dengan sekolah Annissa. Nanti saya arahkan."
Ban mobil pun mulai bergerak berputar di atas jalanan paving block, lalu mereka berdua pergi meninggalkan Parkville.
***
Mobil berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua dengan model klasik, gerbang pagar rumah tersebut menjulang tinggi dan terlihat kokoh. Selanjutnya yang dipikirkan Bagas adalah menebak perabotan dalam rumah itu yang pasti tidak luput dari gaya arsitektur Roma kuno.
Mereka berdua keluar dari dalam mobil dan memencet bel di gerbang depan. Seorang perempuan keluar, dia tertegun melihat lencana kepolisian yang ditunjukkan Bagas kepadanya.
"Mau cari siapa?" ujar perempuan itu.
"Ini. Kita mau ketemu Cindy," jawab Melva sembari memindahkan tasnya ke lengan sebelah.
"Oh, Cindy. Tunggu sebentar." Perempuan itu masuk ke dalam dengan tergesa-gesa. Tidak lama setelah itu dia keluar lagi dan menyuruh Bagas dan Melva untuk menunggu di teras depan rumah.
Dua menit kemudian Cindy keluar dan langsung menyapa Melva. Gadis itu tampak kaget melihat Bagas, raut wajahnya dapat terindikasi Bagas bahwa gadis itu berusaha waspada.
"Cindy sudah tahu kabarnya kan?" ujar Melva, memandang teman mendiang putrinya.
"Sudah Tante, saya turut berduka cita. Kasihan sekali Annissa." Ekspresi Cindy seketika berubah menjadi penuh simpati. Tetapi kesedihannya terlihat memaksakan. Gelagat itu langsung membuat Bagas dan Melva bertanya-tanya di dalam hati. Apakah mereka sungguh berteman. Jika benar demikian, seberapa dekat mereka.
"Maaf Tante, Cindy tidak datang menengok. Cindy dilarang papi keluar."
"Tidak apa," ujar Melva.
Cindy mengangguk. Dia tampak lega, kedua telapak tangannya diapit di sela-sela lutut.
"Tante kesini, mau tanya-tanya sesuatu, sama polisi ini, untuk kasus Annissa." Melva berusaha menjelaskan, nada suaranya dibuat setenang mungkin agar Cindy tidak merasa terancam.
Bagas mengangguk. Cindy menatap Bagas, sorot mata gadis itu terlihat menelisik, sepertinya sedang berusaha menggali-gali memori lama dalam ingatannya.
"Jadi begini. Kamu tahu sesuatu tentang Annissa? Apa yang terjadi dengan kalian sebelum dia ...," Melva tidak dapat melanjutkan kalimatnya.
Cindy tahu yang dimaksud Melva dengan menyebutkan 'kalian'. "Cindy tidak tahu apa-apa, Tante. Tidak terjadi sesuatu di antara kita. "
Dusta kau, pikir Bagas.
"Bilang saja, tidak apa-apa. Tante tidak akan marah." Melva membuat senyuman di wajahnya. Dia tampak begitu tulus melakukannya, seakan dia benar-benar sudah pasrah dengan semuanya asalkan dia mendapatkan penjelasan kenapa putrinya tewas.
Cindy terlihat bingung lalu dia berkata, "Benar, Cindy tidak tahu. Apa ini soal—"
"Tante minta tolong sekali, Dek. Mungkin kamu tahu sesuatu?" Melva bersungguh-sungguh. Matanya yang sembab mengunci pandangannya dengan Cindy. Tidak akan dia lepaskan sampai anak itu mengucapkan sesuatu.
Bagas merasa Melva berhak menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu, meski sebenarnya itu juga merupakan perannya.
"Sumpah, Cindy tidak tahu. Mungkin Maya atau Aulia—"
Kedua bahu Bagas terangkat. Maya.
"Sungguh." Gadis itu mencoba meyakinkan lagi.
Tubuh Melva yang tadi mendongkak maju sekarang mundur ke belakang. Bersandar pada sandaran kursi. Dia mengembuskan napas lalu menatap Bagas, menandakan bahwa sekarang giliran Bagas untuk memulai perannya.
"Kamu kenal Debby?" Bagas mengangkat suara, dahinya mengerut sesaat dia menyelesaikan pertanyaan itu.
Gadis itu menggeleng. Teror menyalip wajahnya.
"Debby salah satu adik kelas kalian yang kebetulan adalah tetangganya Annissa," jelas Bagas.
"Oh, saya tidak tahu. Kenap—"
"Dia melihat kalian pada malam itu," potong Bagas.
Ekspresi Cindy mengeras. Mampuslah dia. Dia tidak bisa berdalih lagi. Gadis itu mengerlingkan mata lalu akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Terjadi perkelahian antara kami dan Annissa."
Melva mendongkak maju.
"Cindy," gadis itu menunjuk dirinya sendiri, "bersama Aulia dan Maya pergi menemui Annissa pada malam tahun baru itu dan kami sempat bertengkar hebat."
Dengan pengakuan tersebut, Bagas sekarang yakin bahwa Debby berkata benar pada saat diinterogasi. Anak itu tidak berbohong.
"Seberapa hebat? Kalian mengeroyok Annissa bukan? Itu yang dikatakan Debby." Bagas terdengar memihak kali ini dan itu seharusnya tidak terjadi pada kasus-kasus seperti ini.
Cindy mengangguk. Dia tidak berani menatap Melva. Pandangannya jatuh ke lantai. "Tapi, sungguh. Kami tidak melakukan apa-apa kepadanya."
"Tidak melakukan apa-apa? Maksudmu?" Melva mulai terpancing amarah.
"Iya. Kita hanya datang memintanya untuk melakukan sesuatu untuk Maya."
Tubuh Bagas menegang saat mendengar nama itu lagi. "Apakah kamu tahu di mana kami bisa bertemu dengan dua orang temanmu yang lain?"
"Percuma. Mereka juga akan mengatakan hal yang sama. Annissa masih dalam keadaan hidup saat kita meninggalkannya."
Pernyataan itu membuat Melva ingin sekali melayangkan tamparan pada gadis itu. Tetapi perempuan itu menahannya.
"Ada seseorang yang mungkin lebih tahu. Coba tanyakan Eric."
"Eric?" Melva menatap Cindy.
Eric. Sekarang perkataan nenek Ester benar. Perempuan tua itu juga melihat Annissa dan Eric pada malam tahun baru itu. Berarti itu terjadi sesudah perkelahian antara Annissa dan teman-temannya.
"Iya. Malam itu kami juga melihat Eric di sana. Di depan rumahnya, tidak jauh dari tempat kami menghampiri Annissa di kolam." Ekspresi wajah Cindy kemudian berubah. "Tunggu dulu, wajah Pak Polisi tidak tampak asing."
Bagas memicingkan mata.
"Pak polisi punya adik perempuan bernama Maya?" tanya Cindy.
Bagas mengangguk kecil. Tidak, pikirnya. Tidak mungkin adiknya adalah Maya yang dimaksud.
"Ya. Maya pernah memperlihatkan foto kakaknya kepadaku." Cindy memancarkan sinar di wajahnya setelah berhasil menggali-gali memori itu. "Kami berteman. Cindy, Aulia, Annissa dan Maya."
Bagas bergeming. Pemikiran itu sudah pernah terlintas di dalam benaknya sejak mewawancarai Debby, tetapi terus ditepis olehnya. Dia tidak ingin adik kesayangannya menjadi bagian dalam kasus ini.
Degupan jantung Bagas meriap, lalu dia menoleh ke samping dan mendapati Melva tengah menatapnya dengan ekspresi campur aduk, antara ngeri dan bingung. Keraguan menyulut di wajah perempuan itu, pupil matanya membesar dan menyala-nyala.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top