ANNISSA ANASTASYA

HIDUNGKU terasa perih sesaat setelah kepalaku menyembul di atas permukaan air. Rasa sakit itu menjalar ke atas kepala, melewati area pelipis. Saat aku berusaha membalikkan badan untuk mengganti gaya punggung, air tidak sengaja masuk lewat kedua lubang hidungku. 

Aku duduk di sisi kolam, mengembuskan napas lewat hidung, memberi sedikit dorongan dengan tujuan agar air yang masuk itu keluar. Tapi aku tahu itu percobaan yang mustahil, itu tidak akan berpengaruh. Cara yang paling tepat adalah dengan menunggu rasa perih itu hilang dengan sendirinya.

Perhatianku teralih dengan motor yang tiba-tiba saja lewat dan berhenti tidak jauh dari area kolam. Sedikit sekali ojek online yang menjemput penghuni hingga sampai masuk ke dalam blok. Aku melihat dua orang datang menghampiri pria berjaket hijau itu. Mereka adalah sepasang suami istri yang tinggal di blok ini. Sang istri langsung saja naik di atas motor, mencium tangan suaminya lalu dia menepuk pundak si ojek online—memberi tanda untuk segera berangkat. Sang istri melempar satu lambaian terakhir kepada suaminya lalu disusul dengan senyuman. Dia pergi, berbelok di persimpangan terakhir menuju gerbang dan hilang dari pandanganku.

Tiba-tiba saja sang suami menoleh ke arah belakang, matanya menangkap mataku. Aku bergeming. Aku tahu aku tak boleh langsung mengalihkan pandangan, karena itu tindakan yang dilakukan orang-orang saat sudah ketahuan memperhatikan. Tidak, aku berusaha untuk tidak melepas pandangan. Kutatap matanya sedalam mungkin hingga menyentuh kesadarannya. Pria itu menelengkan kepala lalu memicingkan matanya. Perlahan-lahan aku mulai melepaskan pandangan. Kulakukan dengan sesantai mungkin, kemudian aku berpura-pura menatap air kolam.

Daya tarikku ternyata cukup kuat sehingga memikatnya untuk menghampiriku. Aku dapat melihat lewat sudut mataku bahwa pria itu sudah berjarak beberapa langkah di samping kolam di tempat aku duduk. Namun aku tetap menunduk, kakiku memain-mainkan air kolam. Aku masih mengenakan pakaian renang. Tas yang berisi baju ganti dan handuk terletak di pondok yoga yang berjarak beberapa meter di belakang. Aku tidak berkutik. Tubuhku terekspos, tapi sejujurnya aku sudah tidak peduli lagi.

"Berenang pagi-pagi. Memangnya tidak dingin?" sahut pria itu yang langsung membuatku menoleh kepadanya.

"Sudah biasa," balasku sambil menyelipkan rambutku yang basah di belakang telinga. Aku mengangkat daguku tinggi, kedua kakiku semakin kencang bergerak-gerak membuat air kolam riuh. Keberadaannya membuatku terasa canggung, padahal aku sudah terbiasa dikelilingi para pria. Tapi entah mengapa kali ini terasa berbeda.

"Seingat saya ini bukan hari libur," ujarnya yang kemudian mulai melemaskan jari-jarinya. meregangkan tubuhnya dan mulai berlari di tempat. Padahal dia bahkan tidak mengenakan sepatu olahraga, bagiku itu tampak sedikit konyol. Aku yakin dia punya tujuan lain.

"Seingat saya juga, keputusan untuk pergi ke sekolah adalah urusan saya dan orangtua saya, bukan urusan seorang tetangga yang tak dikenal." Aku menebak maksudnya.

Dia terkekeh tetapi masih sambil berlari di tempat, kemudian dia mulai menekuk tungkai kakinya ke belakang secara bergantian.

Dia membuka topik, "Pagi tadi saya membaca berita di koran online, kabar soal pemimpin kita. Menurutmu bagaimana persoalan yang terjadi kemarin itu?"

Sebenarnya aku tidak ingin berkomentar apa-apa tapi jujur kasus itu sedikit mengusikku. "Itu sangat disayangkan. Saya rasa itu murni hanya karena kesalahpahaman." Aku mengangkat kedua kakiku dari dalam air dan duduk meringkuk. "Dia tidak hanya melawan para koruptor dan pihak-pihak yang menyalahgunakan atribut-atribut negara, tapi ada nilai-nilai lain," aku melanjutkan.

"Tapi keputusan Hakim sudah bulat. Dua tahun penjara." Nada suaranya terdengar dia adalah seorang ahli dalam pembicaraan ini.

"Ya," sahutku.

"Pantaskah menurutmu?" dia bertanya berusaha memancing topik pembicaraan ini agar tidak terputus.

"Aku tidak tahu soal itu. Tapi yang jelas itu tidak sebanding dengan perbaikan yang telah beliau lakukan selama beliau menjabat."

Kali ini pria itu mulai meregangkan seluruh persendiannya, mulai dari leher, tulang belakang, tangan dan jari-jemarinya. Sampai-sampai otot-otot wajahnya pun dibuat kendur.

Aku berdiri. Tiba-tiba dia menegang, matanya menatap mataku dengan susah payah. Aku tahu dia sedang menahan rasa keinginannya untuk menatap bagian bawah tubuhku.

"Kalau orang dapat dihukum dan dipenjarakan hanya karena omongan, seharusnya penjara sekarang sudah penuh. Dan berbicara soal singgung-menyinggung, saya rasa dunia sudah mulai berlebihan. Tersinggung dijadikan alasan orang-orang untuk membela diri mereka masing-masing. Pendapat-pendapat terpaksa harus terkubur dalam-dalam agar tidak ada pihak yang merasa tersinggung. Saya kira itu tidak adil, bukankah kita berhak mengeluarkan pendapat?" ucapku sambil melangkah menuju pondok yoga.

Pria itu semacam ingin membalas perkataanku. Tetapi sebelum dia berucap aku segera memotongnya. "Ya, saya tahu kita memang harus memikirkan dampak besarnya."

Dia menatapku dengan senyuman separuh, "Meski bebas tapi tetap harus teliti." Dia mengangguk seakan menyetujui kata-kataku sebelumnya.

Di atas tepian pondok aku duduk dengan tangan kananku merogoh ke dalam tas mengambil pakaian kering dan handuk. Setelah berhasil mengeringkan badan dan rambutku, aku melapis pakaian kering di atas pakaian renang basah yang masih aku kenakan.

Sesaat sebelum aku melangkah pergi, pria itu memanggilku. "Annissa," sapanya dengan nada suara yang terdengar begitu damai di telingaku. Entah dari mana dia bisa tahu namaku. Aku hanya membalasnya dengan ekspresi bingung.

"Aku tahu itu dari ayahmu, kita berteman. Namaku Radit dan yang tadi itu istriku, namanya Lisa." Dia menjelaskan dengan senyuman separuhnya itu lagi. Jujur, senyuman itu sedikit menggangguku. "Kita tetangga, sudah sepatutnya saling tahu nama bukan?" imbuhnya.

Aku tidak berkomentar apa-apa, tidak juga memberikan sebuah anggukan paham. Aku hanya menatapnya dan langsung berjalan pergi karena aku harus bergegas cepat agar tidak terlambat masuk sekolah.

"Rumahku di situ! Nomor tiga belas!" teriak pria itu dari arah belakang ketika langkahku sudah mencapai jalanan paving block. Aku tidak menghiraukannya melainkan aku tetap berjalan dengan mantap sambil menyibak rambut basahku ke belakang. Caraku berjalan kubuat seanggun mungkin, namun tetap berada pada batas wajar—seperti yang biasa kulakukan—sekadar membuatnya memperhatikan elokan tubuhku. Begitulah caraku memikat para lelaki.

***

Sebentar lagi, ujarku dalam hati sembari memandang jarum jam di dinding yang digantung di depan kelas. Perutku sudah mulai terasa nyeri belakangan ini. Aku berusaha mengingat-ingat kembali kapan hari terakhir aku mendapatkan serangan lintah merah itu—sekitar dua minggu yang lalu, mungkin lebih. Setiap kali lintah merah itu akan datang, perutku seakan berubah menjadi target papan dart, menjadi sasaran anak panah pada permainan itu.

Semua orang sekejap membalikkan badan mereka sesaat Pak Agus menyelesaikan kalimat terakhirnya. Aku merogoh buku-buku dalam laci mejaku dan ikut-ikutan membalikkan badan untuk mengambil tas ransel yang kugantungkan di belakang bangku.

Idris telah berdiri di depan mejaku saat aku kembali menghadap ke arah depan. "Thanks," katanya. Dia menaruh pulpen hitam yang dia pinjam sejak pagi tadi di atas meja. Aku membalas dengan mengangkat setengah ujung bibirku dan menyuruhnya untuk cepat-cepat pergi dari hadapanku.

Bukan hanya Idris yang meminjam pulpen kepadaku hari ini, ada Rey, Ali dan Ucup. Rey dan Ali sudah mengembalikannya seusai jam istirahat tadi, mungkin mereka mereka telah membeli pulpen baru di ruang koperasi. Bagaimana dengan Ucup? Pandanganku melayang ke arah mejanya di sudut kelas deretan paling belakang. Bangkunya kosong. Dia sudah lenyap bahkan sebelum Pak Agus menjejakkan langkah kelimanya saat keluar dari ruangan kelas. Setelah di ingat-ingat lagi, sudah tiga pulpen yang dipinjam Ucup pada semester ini, ketiga-tiganya tidak dikembalikan, alasannya hilang, tapi tetap saja dia tidak segan-segan meminjam lagi padaku. Untung saja stok pulpenku selalu berlimpah, setiap kali aku datang ke satu mal aku selalu menyempatkan untuk mampir ke sebuah toko buku yang juga menjual alat tulis menulis, aku selalu membawa pulang setidaknya satu buah pulpen baru.

Rupanya aku orang terakhir yang meninggalkan kelas. Aku melewati koridor lantai 3 yang sudah tampak sepi, hanya ada beberapa anak kelas 10 yang sedang bergosip di tengah koridor. Aku lewat tanpa menatap mereka, karena aku tidak melakukan hal semacam itu. Itu tugas mereka, merekalah yang menatapku.

Sejujurnya aku tidak terlalu suka dipandang, tetapi karena reputasiku sebagai siswi sorotan sekolah dengan beberapa prestasi di bidang olahraga dan akademis yang cukup baik maka itu membuar statusku sebagai ambasador di sekolah ini. Jadi, di mana pun aku berada selama masih dalam lingkungan sekolah, banyak bola-bola mata yang akan selalu melirikku.

Pernah satu waktu aku tak tahan lagi dengan lirikan-lirikan itu. Aku mendapati salah satu perempuan yang terlalu asyik menatapku selama aku duduk di kantin. Aku melontarkan kalimat-kalimat tajam yang tidak aku saring terlebih dahulu. Aku tahu dia seangkatan denganku, tidak puaskah dia melihatku disekolah dua tahun belakangan ini?

Beberapa langkah lagi aku akan mencapai gerbang utama yang sudah terpantau dari kejauhan, gerbang itu dipenuhi antrean mobil-mobil orangtua dan sopir-sopir yang menjemput siswa-siswi di sekolah ini.

"Annissa!" panggilan itu berasal dari arah belakangku. Suaranya sudah kukenali. Aku menoleh ke arah belakang dan mendapati kak Thomas berlari menghampiriku.

"Besok kita ada latihan," ujarnya saat dia sampai di hadapanku. Dia mengenakan topi biru favoritnya, baju abu-abu polos yang memamerkan bentuk badannya beserta celana training hitam bergaris putih pada bagian sisinya.

"Bukannya hari Jumat, Kak?" balasku.

Dia menggelengkan kepalanya sambil menatap layar ponselnya, sepertinya dia sedang mengecek sebuah pesan yang baru saja masuk. Aku menunggu tanggapannya. Ekspresi wajahnya seperti tidak tertarik setelah membaca pesan yang baru saja dia terima itu, lalu dia kembali menatapku.

"Ehm, Jumat saya mendadak ada urusan lain," ujarnya sambil mengantongi ponselnya. "Jadi dimajukan besok ya."

Aku mengangguk.

"Yang lain sudah pada tahu?"

Dia memberikanku senyuman lebar yang sekali lagi memamerkan satu hal yang paling menarik yang dia miliki pada bagian wajahnya. Lesung pipitnya. Kak Thomas tahu semua orang selalu membicarakan lesung pipitnya yang luar biasa indah itu, jadi aku yakin dia sengaja meningkatkan jumlah senyumannya dalam sehari agar dapat memamerkan aset pribadinya itu. Sungguh, itu bukan suatu hal yang buruk.

"Itu kan tugasmu. Tolong kasih tahu teman-temanmu ya," ujarnya lalu langsung membalikkan badannya seolah ingin pergi.

Ada satu pertanyaan lagi yang ingin kutanyakan tapi sepertinya Kak Thomas baru saja menyadarinya. Langkahnya terhenti, kemudian dia berpaling menghadapku. "Pukul 3 sore sudah kumpul di kolam, oke?" ujar kak Thomas, menggenapi informasinya.

Aku membalasnya dengan mengancungkan jari-jariku di udara untuk memberi respons paham lalu kembali berjalan keluar melewati gerbang sekolah.

Tidak seperti anak-anak yang lain yang selalu mendapatkan jemputan dari orangtua maupun sopirnya, aku selalu pulang sendirian menggunakan taksi online.

Yourdriverwillarrive in 5 minutes, aku membaca pesan notifikasi yang muncul di atas layar ponselku. Tidak lama kemudian mobil Avanza hitam berhenti di depanku. Aku membuka pintunya dan melihat wajah sopirnya yang sudah menoleh ke arah belakang, dia benar-benar sedang menantiku. Apakah karena foto profilku di aplikasi atau? Tidak aku tidak memasang foto di aplikasi itu. Jadi? Mungkin dia sudah melihat wujud dan rupaku dari kejauhan.

"Parville ya?" tanya pria berwajah pasaran itu. Dagunya lebar dan dia mengenakan kacamata hitam yang langsung membuatku bertanya-tanya, trenfashion zaman kapan yang dia ikuti? Sudahlah, itu adalah pilihan dan kehidupan orang lain. Mengapa aku tiba-tiba menjadi seperti ini? Ada yang tidak beres. Tidak biasanya aku terlalu memedulikan hal-hal yang sepele. Sudah berapa minggu sejak aku mendapatkan serangan lintah merah itu?

Selama di perjalanan aku menerima itu lagi. Lirikan. Sopir itu menatapku lewat kaca spion tengah mobil, di saat jalanan lancar dan saat mobil berhenti di lampu merah. Aku balik menatapnya dengan tajam. Aku tidak perlu membuat-buat ekspresi wajahku terlihat garang. Aku sudah garang sejak masih embrio. Ha! Sopir itu langsung menegang, keringat muncul di bagian pelipis dan belakang lehernya.

Selama beberapa menit perjalanan begitu hening hingga akhirnya sopir itu membuka suaranya saat kita sudah memasuki kawasan Parkville. "Mau masuk sampai di dalam?" tanyanya.

Maksudnya? Aku memutar bola mataku lalu segera membalas pertanyaan yang bodoh itu dengan nada ketus. "Iya mas, masa saya disuruh jalan kaki masuk sampai rumah saya sih."

Dia hanya tersenyum canggung.

Rumah biasanya selalu dalam keadaan kosong saat aku pulang sekolah. Saat menaiki undakan tangga menuju pintu depan, tanganku merogoh kunci rumah dari dalam ranselku. Tidak kutemukan. Biasanya kuncinya berada di bagian depan ransel tapi pagi tadi aku tidak sengaja memasukkan kunci itu di bagian belakang, di tempat buku-buku. Di mana benda sialan itu. Aku mulai berpikiran bahwa aku telah menghilangkannya. Tidak. Tunggu, ini dia. Ujung jariku dapat merasakan benda logam nan dingin itu.

Setelah berhasil masuk ke dalam rumah, ruang tamu dalam keadaan seperti biasa, gelap dan senyap. Kamarku berada di samping ruang tamu, kamar itu adalah kamar utama, jendelanya menghadap ke arah jalanan depan rumah.

Suasana kamarku kelabu, gorden berwarna putih tergantung di atas pintu geser menuju balkon luar kamar. Jarak antara balkon itu ke permukaan tanah di halaman depan hanya berkisar 2 meter sehingga aku biasanya sering mengambil jalan pintas jika ingin keluar rumah dengan melompat ke bawah. Aku menoleh ke arah meja belajarku yang letaknya di samping pintu geser. Di tas meja itu ada laptop yang baru saja dibelikan Melva untukku beberapa bulan yang lalu.

Selama satu jam aku berbaring di atas kasur dengan menjelajah internet di depan laptop sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi menuju salah satu mal favoritku untuk menonton sebuah film yang baru saja kutonton trailer-nya di Youtube. Kebetulan film itu tayang perdana pada hari ini. Aku berpikir untuk mengajak Cindy untuk menemaniku.

Segera saja aku masuk ke dalam kamar mandi, membasahi sekujur tubuhku dengan air dingin dari pancuran shower, terkecuali bagian kepala dan rambutku. Air dingin pada siang hari, air hangat pada pagi dan malam hari, itulah rumusku dan mungkin rumus kebanyakan orang lainnya.

Kemudian aku melihat bagian bawah tubuhku. Dugaanku sejak perjalanan pulang tadi benar, serangan lintah merah itu sudah datang lagi. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top