Bab 8


Tangan itu jadi mengambang saja di udara karena Bude Nik tak kunjung menyambutnya.

Sadar dirinya seperti ikan dengan mulut yang tiba-tiba menganga bulat, Bude Nik segera mencairkan suasana. Dijabatnya tangan Yasmin cepat-cepat, ke atas dan ke bawah, seolah dengan begitu dia bisa mengatasi keterguncangannya sendiri. Lalu, pelan-pelan dia duduk di seberang Yasmin.

"Menik," ujar Bude Nik. "Orang-orang sini manggil aku Bude. Bude Nik. Panggil aku Bude."

Saking gugupnya, Bude Nik menyasar tisu di depannya, dipilinnya hingga mengerucut. Maklum, sebelum perkenalan itu, dia sudah yakin Yasmin hanyalah turis kota yang habis mampir ke pasar seni Gabusan.

"Aku ndak tahu Imar punya anak," kata Bude Nik kemudian, menambahkan dengan berbisik seolah baru sadar, "Ndak ada yang tahu."

"Ibu menitipkan aku ke panti asuhan, waktu aku masih bayi. Kata pengurus panti, waktu itu Ibu enggak punya uang," ujar Yasmin.

Bude Nik terperangah mendengarnya. Dia tahu betul yang dimaksud dengan "menitipkan" itu. Imar membuang bayinya, dia tahu itu yang akan orang-orang pikirkan seandainya mereka mendengar pengakuan Yasmin. Tak peduli ke panti asuhan atau ke sungai, akan sama saja bagi mereka.

"Anu, Mbak. Mbak tahu, 'kan, ibunya Mbak sudah setahun hilang?" Bude Nik berkata.

Yasmin mengiakan.

"Lah, terus," Bude Nik melanjutkan, setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, "kok baru sekarang ke sini, toh, Mbak?"

Yasmin menyunggingkan senyum yang teramat ganjil, tampak tak siap ditanya-tanya demikian oleh Bude Nik. "Jadi begini, Bude. Aku baru-baru ini saja tahu soal ibuku. Orang-orang panti asuhan yang ngasih tahu aku, waktu aku mampir ke sana. Mereka lihat di TV, katanya ada peramal terkenal hilang. Mereka bilang itu ibuku. Mereka ingat Imar setelah melihat fotonya ditampilkan di TV, tapi enggak mau lapor polisi. Takutnya jadi gempar kalau orang-orang tahu Imar punya anak tanpa menikah."

Mengerti Bude Nik jadinya. Bukan hanya Imar tak mampu membiayai anaknya, tetapi dia juga hamil tanpa nikah. Kalau orang-orang sini sampai tahu, bisa habis citra Imar. Tidak ada yang lebih membahayakan daripada mulut manusia.

Bude Nik bimbang, takut salah omong. Akhirnya, dia menyentuh pergelangan tangan Yasmin. Ujarnya, "Sabar, yo, Nduk."

"Aku enggak punya ingatan soal ibuku," ujar Yasmin. "Aku enggak merasa ada ikatan emosi apa-apa. Satu-satunya yang pernah menghubungkan aku dan ibuku cuma tali pusar."

Kedua tangan Yasmin terkatup tenang. Belum dia sentuh kopi yang dibuatkan Bude Nik untuknya. "Tapi, aku harus tahu ibuku di mana. Aku mau polisi mencari lagi," ujarnya. "Aku ke sini karena aku dengar ibuku sering ke sini. Aku sempat tanya-tanya sama tetangga ibuku. Aku mau ketemu sama Bu Meliana juga, tapi dia enggak di rumah."

Bude Nik sampai kelupaan mengawasi pelanggan-pelanggan yang lain. Kini, dia tahu penyebab perasaan déjà vu tadi. Sosok Yasmin dan Imar rupanya bertautan, terhubung darah dan DNA, penampilan mereka menjadi mirip walau wajah tak sama persis.

"Mbak selama ini tinggal di mana?" tanya Bude Nik kemudian.

"Di Jakarta, Bude," jawab Yasmin. "Panti asuhan tempat aku dibesarkan itu ada di Jakarta Barat. Aku juga sekolah di Jakarta sampai kuliah, dapat beasiswa. Kerja juga di Jakarta."

Bude Nik jadi bertanya-tanya sendiri, siapa yang memberi Yasmin nama. Mungkin Imar, sebelum meninggalkan bayinya. Mungkin pula pengasuh panti asuhan.

"Nama kita itu sama-sama kembang, lho, tahu, enggak?" ujar Bude Nik sekonyong-konyong. "Yasmin itu kan kembang. Melati. Kalau Menik, kamu tahu, ndak, artinya kembang apa?"

Yasmin menggeleng.

"Kembang cabe!" Bude Nik tergelak. "Diminum dulu, Mbak, kopinya. Nanti dingin, ndak enak."

Yasmin meminum kopi itu, langsung dia habiskan, tandas tinggal ampas. Bude Nik menarik cangkir kosong itu ke dalam cengkeraman tangannya.

Yasmin tampak bersiap pergi. Meski begitu, kentara banyak pertanyaan yang ingin diajukannya kepada Bude Nik. Lalu, "Ibuku orang seperti apa?'

Bude Nik merasa tidak enak hati. Tawanya terdengar sumbang. "Ah, aku ndak pernah akrab sama Imar, Mbak. Hampir ndak pernah ngobrol. Dia ke sini, meramal orang, terus pulang. Begitu-begitu saja." Dia tak bisa lari dari sorot Yasmin yang tajam-tajam menancap kepadanya. Maka, dia berkata, "Ibunya Mbak itu baik, disukai di sini. Terkenal, jadi dia padat jadwalnya, didatangi orang dari mana-mana."

"Malam itu, waktu ibuku hilang, apa dia juga sedang ada tamu, Bude?" tanya Yasmin lagi.

Bude Nik lantas menjawab, "Aku yo ndak gitu tahu," walaupun dia sudah tentu tahu banyak tentang malam itu karena semua berita di dalam dan luar kedai minumnya selalu sampai ke telinganya. "Setahuku waktu itu Imar lagi banyak tamu, makan malam. Katanya Imar memang biasa ngundang orang-orang."

"Bude juga pernah diundang?"

Bude Nik menjawab, "Ah, ndak. Aku ndak dekat sama Imar." Padahal dia tidak sedang hilang ingatan, beberapa kali dia diundang Imar ke jamuan makan malam itu. "Waktu itu yang datang cuma tetangga-tetangga dekat. Bu Meli, Bu Wini sama suaminya, ada anaknya Bu Meli, Bu Inayati, sama orang bule itu, lho. Aku lupa-lupa ingat namanya. Phillip apa, ya? Koyok merek lampu!"

"Phil?"

"Ya, itu kayaknya!"

Di luar perkiraan Bude Nik, Yasmin tidak bertanya-tanya lagi soal Imar. Sebaliknya, dia bertanya berapa harga kopi tadi. Bude Nik menyebutkan harga. Yasmin kemudian meninggalkannya bersama tiga lembar uang dua ribuan.

Sebentar saja, Bude Nik sudah sendirian di meja itu, merasa baru saja berhalusinasi. Cangkir di tangannya bernoda merah kecokelatan, bekas bibir Yasmin. Bude Nik menyapu noda itu dengan jempolnya. Menyesal dia harus berbohong kepada Yasmin yang manis. Tak ada pilihan lain, tak mungkin dia ungkapkan pendapatnya yang jujur tentang Imar. Semua orang akan melakukan hal yang sama, dia yakin itu.

Bude Nik menjumput uang Yasmin, memasukkannya ke saku daster. Dia tak juga beranjak, belum mau karena cukup banyak yang tiba-tiba harus dia renungkan, lebih penting daripada para pelanggannya yang menyapa hendak pamit, lebih penting daripada memeriksa keadaan Pakde Yo dengan anglo-anglonya.

Imar dan senyumnya itu mendesak masuk ke benak Bude Nik. Kali pertama dia datang, dia bukanlah siapa-siapa, hanya seorang perempuan yang tampaknya tengah menyambung hidup yang sudah luluh lantak. Bude Nik, yang waktu itu masih muda, menyapanya, bertanya dari mana asalnya. Namun, Imar tidak menjawab, hanya tersenyum dan berkata minuman bikinan Bude Nik enak sekali. Kali berikutnya dia datang, barulah dia membawa kartu-kartu itu. Selanjutnya, dan selanjutnya lagi, entah sampai keberapa kalinya, tahu-tahu dia sudah menjadi seorang peramal kondang.

Imar dan senyumnya. Bude Nik tahu tidak wajar jika orang terlalu banyak tersenyum. Bukan berarti orang itu gila, tetapi pasti ada yang salah pada dirinya, ada sesuatu yang tak dapat dia tunjukkan karena itu dia mengakalinya dengan tersenyum begitu sering.

Bude Nik tidak sekali pun tertarik diramal, meski Imar selalu menawarinya. Bude Nik bergeming, sesekali menarik sudut bibir sedikit supaya bisa mengimbangi senyum lebar Imar seraya menolak tawaran itu. Orang seperti Bude Nik tak pernah merasa perlu mendengar atau membaca ramalan. Bukan ramalan yang membuatnya terbebas dari suami pertamanya. Bukan ramalan yang membawa dia dan Pakde Yo ke tempat itu. Sebab itu dia berdiam diri, enggan ikut campur setiap kali Imar menggelar kartu-kartunya. Sesekali dia menggerutu, sebabnya orang-orang yang acap berutang kepadanya itu tanpa tahu malu memesan minuman tambahan untuk Imar.

Pintar betul Imar. Ramalan memang semacam penerang bagi orang-orang yang tak mampu menemukan jalan keluar dari kesulitan. Bagi yang lain, yang sepi antusiasme, ramalan sekadar hiburan peluap kegembiraan. Alasan yang mana pun, Imar jadi untung karenanya. Bude Nik tak bisa menolak kehadirannya karena Imar itu semacam selebritas statusnya.

Pada cangkir yang dipegangnya itu, Bude Nik dapat melihat bayangan kipas yang berputar di langit-langit, juga jendela di pojok belakang, lalu wajahnya sendiri yang mencembung. Kedai itu lamat-lamat berganti hawa, kembali menjadi suatu malam dua tahun lalu. Malam yang panas, setidaknya begitu Bude Nik mengingatnya. Dia ingat betul, waktu itu saatnya tutup, daun-daun jendela diayun ke dalam, palang pintu hendak dipasangnya, ketika seseorang mengetuk dari luar. Bude Nik membuka lagi pintunya secelah dan tampaklah wajah Imar di sisi satunya.

"Malam, Bude," sapa Imar waktu itu.

Bude Nik celingukan ke balik punggung Imar, tetapi perempuan itu datang seorang diri. "Ada apa malam-malam, Bu Imar?" Dia heran. Imar sudah sejak sore tadi pulang, tetapi sekarang kembali lagi setelah kedai tutup.

"Aku mau ngobrol sebentar, kalau Bude ada waktu," pinta Imar.

Bude Nik menoleh ke kedainya yang kosong, yang kursi-kursinya baru dia balikkan di atas meja-meja. "Tapi, ini sudah tutup, Bu," bisiknya. Mungkin tidak perlu dia bersuara kecil begitu, tetapi Imar memberi kesan kedatangannya tidak boleh sampai ketahuan orang lain.

Imar mendesak. "Sebentar saja, Bude. Aku lagi nyari teman ngobrol."

Itu bukanlah alasan yang bisa Bude Nik terima. Pukul sepuluh malam adalah saatnya dia beristirahat. Rambutnya yang keriting panjang itu sudah seperti kawat, minta dikeramasi. Lagi pula, Pakde Yo sudah sejak satu jam lalu mencuci panci-panci dan wajan, sudah bersiap tidur karena pagi-pagi buta nanti dia harus bangun lagi, membeli bahan makanan ke pasar dan menumbuk bumbu.

"Ngobrol apa, Bu?" tanya Bude Nik.

Imar mengambil satu langkah maju. "Enaknya di dalam saja, Bude."

Wajah Imar begitu ngotot, membuat Bude Nik serta-merta mundur. Sesaat, Bude Nik memastikan tak ada siapa pun yang mengikuti Imar, lalu menutup pintu di belakang mereka. Dia turunkan lagi dua kursi seraya mencuri tatap kepada Imar, menebak apa yang diinginkan perempuan tua itu.

"Aku bikinkan teh dulu, Bu. Biar leher kita enggak seret. Maaf, adanya teh kalau jam segini," Bude Nik berkata.

Imar menyambut tawaran itu dengan hangat. Dia duduk menunggu, sebuah tas tangan dia letakkan di atas meja, merah jambu warnanya. Bude Nik kemudian keluar membawa dua gelas belimbing berisi teh pekat nyaris hitam.

"Kenapa ini, Bu Imar? Mau ngobrol apa sebenarnya?" langsung saja Bude Nik bertanya. Seumur hidupnya, menghadapi tamu pada malam hari bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, maka dia mempersiapkan diri mendengar hal-hal menggegerkan, barangkali mengenai seseorang yang dia kenal.

Segera asumsi Bude Nik itu terpatahkan. Imar membuka tasnya dan mengeluarkan kartu-kartu yang sudah tak asing lagi. "Aku mau menawarkan ini, lho, Bude." Matanya main-main seperti anak nakal. "Gratis."

"Ah! Aku ki ndak tertarik sama ramalan, Bu," ucap Bude Nik tegas-tegas. Mau gratis atau dibayar, dia tidak mau.

"Tapi, pikirku Bude perlu diramal," dorong Imar. "Beneran ini! Sekali ini saja, Bude!"

Bude Nik ingin menolak seperti biasa. Namun, pikirnya, jika dia tidak meladeni Imar, bisa-bisa hubungan mereka jadi dingin. Nanti orang-orang kira dia yang memperlakukan Imar dengan buruk. Dia melirik kartu-kartu dalam cengkeraman Imar, kepada motif-motif yang dia tak mengerti kecuali beberapa gambar serupa piala dan pedang.

Sekali itu Bude Nik berkata, "Ya." Dengan tangannya yang lebar itu, dia mengocok kartu-kartu besar tersebut sembari mendesah, dalam hati merasa ogah. Tak rela istirahatnya diganggu hanya untuk mengocok kartu.

Bude Nik kian jengkel ketika Imar mulai membuka satu demi satu kartu di atas meja, berdecak-decak sendiri seolah dia tengah mengungkap sesuatu yang penting.

"Lihat, Bude! Yang keluar gambarnya cawan semua!" kata Imar.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top