Bab 10


Mungkin jarum jam sedang menuju angka empat ketika Bude Nik terbangun dari tidurnya yang lelap. Kali ini bukan karena dia bermimpi buruk, tetapi karena didengarnya seseorang berada di dapur, di kedainya. Bude Nik bergeser di atas kasur. Dia jangkaukan tangannya. Suaminya tak lagi tidur di sebelahnya. Pelan, Bude Nik berjingkat turun dari ranjang. Dia meraih selembar kain, lalu keluar. Rambutnya pelan-pelan berkibar ketika dia menyeberangi pekarangan yang hanya selebar lima langkah. Masih temaram dengan sedikit sisa embun pada pucuk-pucuk rumput yang tumbuh berjarak.

Pintu dapur kedai terbuka hampir setengahnya. Bude Nik yakin Pakde Yo-lah yang berada di dalam sana, sedang bersiap menjerang air atau memarut kunyit untuk bumbu atau mengulek bawang. Masih terlalu pagi, jadi karena itulah Bude Nik bermaksud membantu. Dia terkejut sesampainya di dalam, melihat bukan stoples-stoples bumbu maupun kuali yang sedang dibuat berantakan oleh suaminya, melainkan lemari tempat bahan minuman. Botol-botol kecil dan kantong-kantong kertas berhamburan di lantai. Di tangan Pakde Yo ada sebuah botol bertuliskan GENOTAN.

Lemari itu adalah zona khusus Bude Nik, seperti rak stoples adalah zona khusus Pakde Yo. Itu sebabnya keduanya bertatap-tatapan dengan bingung bercampur kikuk. Melihat botol yang dipegang suaminya, Bude Nik langsung mengira macam-macam.

"Buat apa itu, Yo?" tanya Bude Nik. Dia gundah. Sudah lama dia dan Pakde Yo tidak membicarakan kehidupan seksual mereka. Dan, suaminya itu sekarang kedapatan memegang botol jamu tersebut.

Pakde Yo seketika terperangah, seperti tak paham akan ucapan Bude Nik. Kemudian, dia menyadari botol yang dipegangnya itu. "Bukan, Nik. Ini enggak sengaja keambil."

"Nyari apa memangnya, Yo?" tanya Bude Nik lagi.

Pertanyaan itu dijawab Pakde Yo berupa diam berkepanjangan. Bude Nik tahu dia tengah menyentuh inti persoalan yang sensitif. Pakde Yo mencari sesuatu dan tidak mau sampai ketahuan. Kalau bukan botol GENOTAN itu, pasti botol lain. Bude Nik ingat apa-apa saja yang dia punya di lemari itu.

"Aku tahu, Nik!" cetus Pakde Yo tiba-tiba.

Suaranya itu mengingatkan Bude Nik kepada Imar. Imar, di hadapan para kliennya, begitu sering berseru, "Aku tahu!" atau "Tahu aku!" membuatnya terkadang jengah. Lalu, malam itu, ketika untuk pertama kalinya Bude Nik diramal olehnya, dia juga menyerukan sesuatu semacam itu.

"Tau opo kowe, Yo?" tandas Bude Nik, masih serak akibat dinginnya pagi.

"Aku tahu!" ulang Pakde Yo. Lantas, Pakde Yo maju. Tanpa bilang apa-apa lagi, dia melewati Bude Nik, keluar dari dapur itu.

Bude Nik berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Kantuknya masih menggantung, harus diserbu dengan tingkah mengejutkan Pakde Yo, dan tampaknya harus pula membereskan lemari yang dikacaukan oleh suaminya itu. Dia berjongkok, memunguti botol-botol, memasukkannya kembali ke bilik lemari. Tidak ada yang pecah, untunglah. Tidak ada yang robek, syukurlah. Bahan racikan minuman yang dimilikinya itu sebagian langka, tak bisa sering-sering dia dapatkan walau menunggu semusim. Entah apa yang akan dia lakukan terhadap Pakde Yo kalau ada satu saja yang tumpah atau terserak.

Botol GENOTAN itu Bude Nik kembalikan ke lemari, dia letakkan jauh di ujung. Botol itu akan dia keluarkan lagi jika dilihatnya ada pasangan kurang gairah muncul di kedainya. Terkadang dimasukkannya pula ke minuman Pakde Yo.

Bude Nik menghabiskan dua jam sebelum terang dengan mengiris dan memarut kunyit, jahe, dan kencur untuk dibuat jamu. Menjerang air berliter-liter, mencuci botol-botol kemarin dengan air panas. Dia merebus jamu-jamu dalam panci-panci besar. Ketika sepeda motor pertama melintas di depan kedai pagi itu, kulit kepalanya sudah berkeringat dan jari-jarinya mulai kuning karena kunyit.

Pakde Yo tidak muncul lagi, bahkan tidak bangun untuk salat subuh. Sungguh tidak biasa melihat pagi itu daun pepaya dan kecipir masih terikat di atas tampah, lele masih terendam dalam ember, bawang-bawang belum dirajang. Baskom dan kuali masih bersih, menelungkup. Cobek dan ulekan tidak kunjung berbunyi beradu, masih tertumpuk rapi di atas meja. Segelas teh panas diletakkan di sebelah cobek itu, teh dengan rebusan air jahe campur kayu manis. Bude Nik yang membuatkannya untuk Pakde Yo setiap pagi.

Lemari yang dibongkar Pakde Yo sudah rapi kembali. Bude Nik membuka dan menutup pintunya seperti bingung. Dia ragu-ragu, tetapi kemudian betul-betul dia berjinjit dan menggapai sesuatu di atas lemari. Sebuah besek. Sengaja Bude Nik meletakkannya cukup tinggi supaya Pakde Yo yang otot lengannya sering kecetit tak bisa menjangkaunya.

Tutup besek itu Bude Nik buka. Di dalamnya, ada botol-botol kaca seukuran genggaman tangan. Rupa-rupa warna cairan di dalam botol-botol tersebut. Bude Nik mengambil satu, yang tampak seperti air kencing. Bude Nik jarang menyentuh botol-botol itu, setahun sekali pun belum tentu. Barang-barang langka, selalu mahal walaupun dia sudah menego pemasoknya.

Pakde Yo tidak sedang berpura-pura tidur ketika Bude Nik kembali ke kamar sehabis mandi. Suara mengorok itu betulan, bukan buatan. Pipi cekung yang dulu dikecup mesra setiap hari oleh Bude Nik itu bergetar seiring napas teraturnya. Subuh itu, Bude Nik mengingat sosok mendiang anaknya lebih nyata dari sebelumnya.

Perasaan Bude Nik bergulung tak keruan membayangkan apakiranya yang diketahui oleh suaminya itu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top