Prolog



(Narasi berikut berasal dari catatan tanpa nama yang ditemukan beberapa tahun setelah kejadian)

Masih jelas terlintas kilasan-kilasan kecil di balik pelupuk mata. Masih tajam berdengung di selaput gendang telinga. Tentang pagi itu. Suara tangis bayi-bayi yang lapar minta disusui pagi-pagi. Orang-orang melangkah dari pintunya sendiri-sendiri membawa segenggam harapan di dada, meluncur ke jalanan dengan motor-motor mereka, menggilas aspal, mengarung carut-marutnya jalanan kota dengan trayek-trayek pencari nafkah mereka. Di tepian jalan, kaki-kaki berbetis kencang berderap menuju hutan beton yang katanya menjamin hidup layak.

Para perempuan dan pria paruh baya menggeliat dari balik jendela-jendela mereka sebelum membuka kerai-kerai besi toko dan menggelar barang dagangan mereka sampai ke trotoar. Anak gadis mematut baju dengan bergairah, mempertaruhkan nasib baik dalam sekulum senyum.

Dan entah bagaimana, seperti petir di pagi yang cerah, di suatu tempat, seseorang menjerit, membahana, menyayat nadi, mengiris ulu hati.

Tirai malam perlahan terangkat. Dan di sanalah, di puncak semburat matahari yang biasa-biasa saja, tiga sosok kelabu tergantung di tiang penyangga jalan layang layaknya bagian dari sebuah ritus, dipertontonkan seperti babak tragedi yang mendadak dimulai.

Begitu saja. Secepat lalat mengepak. Dan tempat itu, Jatinegara namanya, bukan lagi tempat yang kemarin, yang biasa-biasa saja.

Andai saja fajar tak pernah datang hari itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top