Bab 6




Pagi sungguh menakjubkan.

Endapan hawa dingin pelan-pelan terhela angin dari timur. Di saat yang bersamaan berbagai aroma mulai tercium. Bukan cuma aroma menyengat dari selokan yang disumbati sampah dan kotoran-kotoran tak bernama, tapi ada pula aroma kopi, daging, nasi goreng.

Di rumah Bu Lisma juga begitu. Walaupun sempat tercium bau gas pembuangan yang masuk lewat jendela, belum sampai pukul enam rumahnya sudah dipenuhi wangi bumbu dapur. Pekerjaan Bu Lisma memang tidak ringan dan tidak sepele, dia memasak bermacam-macam jenis panganan untuk dikemas dalam kotak plastik dan mengantarnya ke warung-warung makan. Perkedel, nasi kuning, empal, orek tempe, semua disiapkannya sejak subuh. Berkat dia, keluarganya punya penghasilan, orang-orang bisa makan.

Panci dan kuali bergeleguk di atas kompor. Pisau dan talenan berjajar di atas meja. Ada suara musik dari sebuah radio tua berukuran besar.

Pagi sungguh memesona.

Ada seekor burung gereja yang tampaknya tersesat di teras sempit depan rumah Bu Lisma yang terhimpit di antara dua area pertokoan. Tapi bahkan dalam ketersesatannya, burung itu masih bercicit riang, bersemangat menoleh ke sana kemari seperti hendak menyapa siapa saja. Membersihkan bulu-bulunya dengan paruh mungil lalu bernyanyi. Tidak peduli dia berada di sebuah kota yang tiga jam lagi akan kelihatan busuknya.

Dia mematuk-matuk ubin teras, melompat-lompat dengan kedua kaki kecilnya. Kemudian dia mendongak dan terkejutlah dia melihat seseorang di belakang jendela. Langsung saja dia terbang dengan kepakan-kepakan sayapnya yang kecil. Yang dilihatnya itu Bu Lisma.

Pagi sungguh memukau.

Benang-benang cahaya mulai meluncur ke atap-atap dan deretan kaca, menciptakan kilau dan kelap-kelip bagai berlian. Mungkin pemandangan ini yang membuat Bu Lisma terpana di ambang jendela. Dia berdiri mematung, memegang erat sebuah sendok sayur. Mulutnya celangap, kepalanya menengadah.

Rupanya ada hal lain yang menyita perhatian Bu Lisma. Dia tak bisa memastikan apa yang tengah dirasakannya. Dia tahu apa yang dilihatnya itu, hanya saja terlalu sukar dipercaya. Tepat di seberang, dari atap sebuah gedung, terjuntai seorang anak. Kedua lengannya lunglai, kepalanya tertunduk, rambutnya terurai dan berhamburan diterpa angin.

Bu Lisma berpikir-pikir apa yang dilakukan anak itu bermain-main dengan tali memanjat gedung seperti itu. Tapi kemudian tengkuknya merinding. Dia tahu, anak itu tidak mungkin hidup. Dia tahu, anak itu sudah membeku.

Ckrek! Dia memotret dengan kamera ponselnya.

Pagi sungguh menggetarkan.

Jalanan riuh ketika Brigpol Ranggalawe tiba. Enam orang polisi mengamankan sekeliling, menahan warga dan pejalan kaki agar tak mendekat. Perjalanan para pengendara tersendat karena keributan itu. Kerumunan melingkar, saling bisik, saling mengernyit. Sementara itu Brigpol Ranggalawe hanya mendongak menatapi tubuh kurus yang tak bergerak itu. Dia bergulat dengan nalarnya sendiri.

Tubuh itu, tubuh seorang anak perempuan.

Pagi sungguh...

*

Brigpol Ranggalawe menghindar dari semua orang siang itu, dia memilih menyantap makanannya di selasar belakang kantor polisi. Di sebuah bangku panjang plastik dia duduk, memangku sekotak bekal buatannya sendiri. Repot memang kalau sedang bertengkar dengan istri, apa-apa jadi harus sendiri.

Sesuap telur goreng, nasi putih, dan sambal masuk ke mulutnya. Dia mengunyah dengan rakus. Tatapannya berkonsentrasi penuh pada kotak bekalnya. Siang itu dia makan terlambat. Begitu laparnya dia sejak pagi tadi, sejak kejadian itu. Brigpol Ranggalawe berjam-jam berada di lapangan mengurusi dan mengawasi segalanya, lebih banyak yang dikerjakannya dibandingkan polisi-polisi lain, dibandingkan Brigpol Kepala sekalipun. Dia tahu persis kenapa mereka tidak memberinya kesempatan naik pangkat, mereka masih ingin memanfaatkan kemampuannya menanggulangi lapangan. Mereka menginginkan tenaganya, bukan pikirannya.

Tiga puluh tahun lalu tak terbayangkan olehnya untuk menjadi seorang polisi. Dia dulunya seorang pemain teater, sudah ikut grup teater ibukota yang tersohor walaupun waktu itu dia masih remaja. Tapi lambat-laun produktivitas grup itu menurun, kehilangan banyak penulis dan para pemain. Hidup memaksanya untuk memilih, untuk berputar haluan sebelum terlambat. Dan di sinilah dia.

Sembari melahap, ingatannya melayang. Pada sepuluh tahun lalu, pada tiga tahun lalu, pada enam belas tahun lalu, dan mengarung ke masa-masa yang lain.

Entah apa yang harus dikatakannya tentang anak-anak jalanan yang pernah berurusan dengannya. Tidak seharusnya mereka ada di jalanan. Tidak seharusnya mereka tidur serampangan. Tidak seharusnya mereka hidup tanpa pendidikan. Tidak seharusnya mereka mengadu nasib mencari uang di usia muda. Dan masih banyak "tidak seharusnya" yang lain.

Dia sudah berusaha, dia sudah berupaya, agar anak-anak itu mendapat tempat yang lebih manusiawi, sebuah penampungan yang hangat dan aman. Tapi apa daya, mereka memilih kabur, turun lagi ke jalanan. Dia tidak habis pikir mengapa mereka memilih kehidupan seperti itu. Mungkin karena mereka memang terlahir berbeda, kecenderungan alamiah mereka juga berbeda.

Setetes sambal jatuh ke dagunya lalu ke bagian dada seragamnya, meninggalkan bercak merah. Dia menggerutu. Ketika dia mengambil selembar tisu dari tas bekalnya dan mengusapkannya pada bercak merah itu, dia teringat lagi pembicaraan dalam rapat bersama Kapolsek Jatinegara AKBP Nyoman, IPDA Tantowi dan Kepala Humas sejam yang lalu.

"Jangan ada lagi kebocoran ke media," ujar AKBP Nyoman. "Keluarkan yang perlu-perlu aja, pilih bahasa yang bijak, pokoknya jangan sampai memancing spekulasi di publik."

"Foto-fotonya sempat beredar di kalangan masyarakat tadi pagi, Pak," kata Kepala Humas. Dia menyampaikan penyesalannya dengan terkekeh prihatin. "Tapi siang ini kami rilis laporan resmi dan himbauan."

"Susah," Ipdu Tantowi menyayangkan. "Udah banyak orang ngeliat sebelum kita dateng."

Kita apanya? Batin Brigpol Ranggalawe. Dia cuma duduk kasih perintah. Kami ini yang bawah-bawah yang turun ke sana.

"Pers pasti mengendus ada yang nggak beres," ujar Ipdu Tantowi. "Nggak gampang menutup-nutupi perkara ini. Wong terang-terangan dibuka di tempat umum!"

Sebenarnya di ruangan itu juga hadir Kapolres Metro, Kombes Abimanyu, namun sedari tadi tak sepatah pun komentar keluar darinya. Dia hanya merengut di atas kursi, menunduk, mungkin nyaris tertidur.

"Orang-orang itu, ya," AKBP Nyoman menggeleng-geleng. "Senengnya ada kejadian yang gini-gini. Pengen terlihat well-informed tapi malah jadi menebar kekhawatiran. Semua dibesar-besarkan, makin lama beritanya makin jauh dari kebenarannya."

Kebenaran. Kata itu menikam benak Brigpol Ranggalawe seperti belati. Wajahnya masam.

Berikutnya ingatannya berputar lebih jauh ke belakang, ke tiga tahun lalu, pada peristiwa kebakaran hebat itu. Dia ingat betul, karena polisi tak boleh lupa dengan peristiwa-peristiwa semacam itu, juga karena peristiwa itu menewaskan kakak perempuan Rudi.

"Siapa namamu?" tanya Brigpol Ranggalawe. Waktu itu sore, sehari setelah kebakaran terjadi. Polisi berhasil mengamankan enam anak jalanan yang diduga terlibat.

Salah satu anak itu mendongak takut-takut begitu ditanya. "Endik, Pak."

Mereka waktu itu berada di lapangan samping kantor polisi. Keenam anak jalanan itu duduk di tanah, membenamkan kepala mereka di antara kedua lutut masing-masing.

Brigpol Ranggalawe berjongkok di samping anak yang bernama Endik itu. Dia perhatikan anak itu dengan seksama. Kulitnya cokelat, rambutnya kusam, tulang bahunya menonjol, dua kaki yang menyembul dari celana jeansnya tampak lebar dan kapalan, satu kelopak matanya kemerah-merahan dan dua giginya tonggos. Tidak lebih dari sepuluh tahun umurnya, Brigpol Ranggalawe merasa pasti.

"Saya nggak ikut-ikutan, Pak!" ucap Endik dengan lugas, membela diri.

"Jangan bohong kamu!"

"Beneran, Pak!"

"Terus kamu ngapain ada di situ malam itu?" tanya Brigpol Ranggalawe.

"Ya main-main aja. Tapi bukan saya yang ngebakar!"

"Siapa yang bakar, kalo gitu?" tanya Brigpol Ranggalawe lagi.

Endik tergagap, mengemut bibirnya seperti orang kekurangan air. "Nggak tau, Pak!" jawabnya.

Brigpol Ranggalawe mendekatkan kepalanya. "Anak-anak kayak kalian pasti saling tau siapa berbuat apa. Jangan bohong," katanya. "Siapa yang pertama kali nyulut api?"

"Itu nggak sengaja, Pak," Endik gelagapan.

"Saya tanya siapa yang pertama kali nyulut api?" Brigpol Ranggalawe menjadi semakin tegas. Anak-anak yang ada di situ semakin menyembunyikan kepala mereka dalam-dalam.

Polisi tak pernah mengantongi nama anak pemicu kebakaran itu. Mereka tak punya bukti yang kuat untuk mengaitkan anak-anak tangkapan mereka dengan peristiwa kebakaran itu. Tapi toh anak-anak itu berhasil mereka kurung di balik jeruji. Selama sebulan penuh Brigpol Ranggalawe banyak bicara dengan anak-anak itu, terutama Endik. Pikirnya itu kesempatan untuk tahu lebih mendalam, tentang aktivitas mereka, tentang para "induk semang" yang menaungi mereka.

Tapi dia malah terbawa ke dalam cerita kehidupan seorang anak kecil bernama Endik. Semakin lama dia tak melihat Endik dalam kotak berlabel anak jalanan, melainkan sebagai Endik, seorang anak manusia.

"Saya punya orangtua," kata Endik. "Dulu. Dulunya ada ayah saya. Ibu ada juga. Tapi udah lama ngilang."

"Kalian tinggal di mana dulu?" tanya Brigpol Ranggalawe.

"Deket pasar burung, Pak."

Hanya itu. Tidak ada nomor rumah. Endik tumbuh dengan sendirinya seperti rumput liar. Susah bertahan hidup di Jakarta, mau keluar dari Jakarta juga sama susahnya karena dia tak tahu harus ke mana. Kadang bantu-bantu tukang bangunan, dapat duit kecil-kecilan. Kadang jadi "pak ogah", dapat lagi recehan. Semua hal sudah dia alami sebelum menginjak sepuluh tahun. Baginya tahun-tahun memang mengalir begitu saja.

Endik menyebut sebuah nama yang menjadi pikiran Brigpol Ranggalawe selama bertahun-tahun sesudahnya. Mas 'No. Dua kata itu saja, satu nama, satu orang. Setidaknya begitu yang dikatakan Endik.

Mas 'No. Sebutan "agen" mungkin paling pas buatnya, karena di atasnya pasti masih ada orang yang lebih berkuasa. Mas 'No. Kerjanya mengatur agar anak-anak jalanan itu mendapatkan pekerjaan. Mas 'No. Penghasilan yang didapat anak-anak itu pasti masuk ke kantongnya sendiri setelah sebagian besar diserahkan pada seorang bos yang tak pernah terlacak identitasnya.

Endik pernah dua kali berada di bawah manajemen Mas 'No, dua kali itu pula dia tinggal di sebuah rumah penampungan abal-abal. Rumah itu dimiliki oleh sepasang suami istri yang tak mau tahu apa jadinya nasib anak-anak itu, yang penting mereka mendapatkan keuntungan.

Menurut Endik, ada banyak eksploitasi yang dilakukan Mas 'No terhadap anak-anak jalanan. Dia membisikkannya satu persatu, dan Brigpol Ranggalawe selamanya tak akan pernah lupa apa yang didengarnya.

Endik keluar penjara seminggu setelah percakapan mereka berlangsung. Bulan berikutnya dia terjerumus dalam masalah baru lagi, penjambretan. Sempat kembali dikirim ke penjara. Tapi kemudian lolos. Sampai sekarang Brigpol Ranggalawe belum mendengar apa-apa lagi tentangnya. Dia lenyap.

Mengenai Mas 'No yang sempat diungkit-ungkit oleh Endik, Brigpol Ranggalawe masih berusaha mencari tahu sosok di balik nama itu. Dan tempat penampungan ilegal itu, mustahil selama itu tak tercium baunya. Ada orang dalam kepolisian yang melindungi sepak terjang Mas 'No dan antek-anteknya, pasti itulah yang terjadi.

Ditumpas, tumbuh lagi, tumpas lagi, tumbuh berlipat-lipat kali. Seperti sel kanker, anak-anak jalanan itu. Brigpol Ranggalawe yakin bahwa pendiriannya benar. Mereka tak usah ada saja.

Bagaimanapun dia harus menemukan Endik, tak peduli apa caranya. Dia harus menemukan anak itu. Sebelum...

Dia menyuap sesendok terakhir makan siang hari itu. Menenteng kantong berisi kotak makan dan sendok kotor, dia melangkah ke dalam kantor polisi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top