Bab 3

ELANG berdiri dengan muka masam di atas pagar pembatas parkiran kantor polisi. Cuaca terik. Dahinya mengilap dan tak lama lagi pasti akan menghitam. Kedua tangannya memutar-mutar sebotol kopi yang sejam lalu dibelinya di warung dekat situ. Ogah-ogahan dibalasnya sapaan petugas administrasi yang lewat, lalu dia terbenam lagi dalam pikirannya yang ngalor-ngidul.

Orang-orang ini bego, dia mencemooh dalam hati. Kepalanya mengangguk-angguk sendiri seperti boneka berpegas. Ya, orang-orang ini bego semua.

Pagi tadi ayahnya, Brigpol Ranggalawe memberitahunya satu lagi anak jalanan ditemukan tewas terbunuh. Total menjadi empat yang baru ditemukan sejauh ini. Yang terakhir mayatnya digantung di jembatan penyeberangan. Tali tambang melilit pinggangnya dan tubuh kaku itu berayun-ayun di atas kepala-kepala orang yang menengadah dengan perasaan horor.

Dengan mata masih sembab baru bangun tidur, rambut awut-awutan, dan segelas air putih di tangan, Elang mengemukakan komentarnya bahwa bodoh benar polisi-polisi itu tak bisa memikirkan tindakan pencegahan. Harusnya mereka tahu. Ya, harusnya mereka tahu sejak melihat cara ketiga mayat itu dipertunjukkan di jalan layang, bahwa kasus ini tidak main-main. Ada motif, ada tujuan, dan direncanakan dengan saksama.

Hasilnya Elang mendapat tempeleng keras di pelipis. Disusul teriakan dan hujatan, pertengkaran merembet ke mana-mana. Ayahnya kecewa Elang sudah menyia-nyiakan pendidikannya di Akpol. Sementara Elang kecewa ayahnya tak juga dapat pangkat yang lebih tinggi padahal jerih payah dan pengorbanannya begitu besar selama berpuluh-puluh tahun.

Pagi tadi ketika keduanya beradu kekecewaan, ibu Elang tak berusaha melerai. Dia justru duduk di sofa dengan perhatian tertuju pada layar smartphone. Baginya pertengkaran ayah dengan anak lelaki itu lumrah, selumrah naik-turun harga cabai.

Elang meneguk kopinya. Dia tidak menyia-nyiakan Akpol. Dialah yang tersia-siakan! Satu tahun di sana sudah cukup membuatnya mengerti dia tak bisa mendapatkan yang diharapkannya. Dia ingin lebih, tapi Akpol tak bisa memenuhi semua keinginannya. Itu alasan dia pulang dan belum memutuskan apakah dirinya akan kembali lagi ke Semarang. Dan sekarang dia terpandai di antara orang-orang tolol yang sedikit pun tak punya gagasan berarti dalam kepala mereka.

Seorang polantas berperut buncit baru saja kembali dari tugasnya dan menghentikan motornya tepat di depan tungkai Elang. Kendati tampaknya perbuatan itu disengaja, mereka bertukar senyum dan anggukan kepala. Kemudian polantas itu berlalu dengan langkah gontai akibat makan siang yang terlampau terlambat.

Bego dan lambat, dengkus Elang ke punggung si polantas. Diteguknya lagi kopi yang makin lama makin kecut saja rasanya karena panas sudah menurunkan kualitas pemanis buatan, perisa artifisial dan zat-zat lainnya. Dia membaca daftar komposisi yang tertera di label botol. Lalu, muak, dilemparnya botol kopi yang baru habis setengahnya itu ke tong sampah. Masuk. Lihat bukan betapa dia memperhitungkan segalanya dengan tepat? Dia menarik napas dengan bangga dan puas.

Elang berlenggang kangkung melangkahi pintu depan kantor polisi. Semua orang sedang berada di dalam diam-diam memperhatikannya dengan perasaan risih. Tak ada yang suka Elang petentang-petenteng layaknya anak bos besar. Dia bukan polisi. Lulusan Akpol juga bukan. Juga tidak sedang mengenyam pendidikan atau pelatihan kepolisian.Tapi kelakuannya seolah yang paling jago di situ. Sungguh watak yang bertolak belakang dengan sang ayah. Pak Ranggalawe tak pernah menatap anak buahnya dengan pandangan remeh ataupun mengangkat dagunya tiap kali berjalan melewati mereka. Karena permintaan Brigpol Ranggalawe mereka mau tidak mau menerima Elang berkeliaran di kantor polisi.

"Biar dia belajar," begitu kata Brigpol Ranggalawe. Dan mereka menghormati maksud itu.

Elang tahu kehadirannya di kantor polisi itu tak mendapat apresiasi. Tapi, sejak dulu dia memang bebal. Dia tahu dia bisa berpikir seribu kali lebih baik dari polisi mana pun. Dia tahu dia yang terbaik, dia...

"Eh, Lang, baik?" seorang polisi menyapanya. Elang yang saat itu tengah melamun di kursi pengunjung mendongak dengan enggan.

"Hei," jawabnya malas-malasan. "Kirain pada sibuk. Ada satu lagi yang mati kan?"

Polisi itu mengangkat bahu. Dengan bertumpu pada lengan dia menyandarkan diri ke dinding. "Rutin aja sih. Kita belom lihat polanya.Cara dibunuhnya beda-beda. Belom ketahuan juga di mana kira-kira lokasi pembunuhannya."

Belom lihat polanya, Elang mengulang perkataan itu sambil mencibir dalam hati.

Dibacok, dicekik, dihantam, diseruduk. Yang terakhir itu terdengar aneh di telinga, tapi itulah yang seolah terjadi pada korban ketiga. Semua terkesan seperti pertarungan liar di alam lepas. Tapi tidak, Elang menggeleng membantah pendapatnya sendiri. Pertarungan berarti satu lawan satu. Semua korban itu adalah buruan, mereka tak diberi kesempatan melawan.

Di sini telah terjadi perburuan manusia. Elang yakin itu. Perburuan manusia yang spesifik, menyasar anak-anak jalanan itu. Pertanyaannya, mengapa?

"Mestinya polisi langsung ambil tindakan melindungi anak-anak jalanan, gelandangan juga," Elang bergumam pada si polisi yang masih berdiri menyandar.

Polisi itu menyamarkan gelinya dengan bersuara seperti orang bersin. "Melindungi anak-anak jalanan? Lang, mereka baru ngeliat kita aja udah pontang-panting." Ditatapnya Elang dengan serius. "Mereka nggak percaya kita, Lang. Bagaimana mau menjaga mereka?"

"Buat nyari saksi atau minta keterangan aja susahnya minta ampun," lanjut si polisi. "Mereka itu kayak tikus, pintar ngumpet, pintar nyari tempat sembunyi."

Elang, setengah menerawang, menyeletuk. "Kadang tikus juga ada yang mati di jalan."

Si polisi mengangguk-angguk. "Persis begitu kan anak-anak jalanan itu?"

Elang memandang si polisi, tampak tertarik. "Jadi gitu? Buat kalian anak-anak jalanan itu nggak ubahnya tikus?"

Tanpa terlihat merasa bersalah si polisi mengangkat alis tanda dia pun tak bisa memutuskan jawabannya. Kemudian dia meninggalkan Elang. Elang, sembari menatap berlalunya polisi yang dia benar-benar lupa namanya itu, kini sibuk memikirkan tikus-tikus.Benar mereka begitu licin dan cekatan. Kaum yang sulit didekati, tak acuh pada orang-orang, dengan cara yang di luar akal nyaman dengan kehidupan mereka sendiri.

Kalau mau mendekati tikus kita harus jadi tikus dulu, dia ingin bilang begitu pada polisi entah siapa namanya itu.

Dari pagi ayahnya belum keluar-keluar juga dari ruangannya. Tak ada yang boleh masuk selain beberapa orang kepercayaannya. Elang berharap dia secepatnya diberi informasi komplit soal perkembangan terakhir kasus pembunuhan itu. Tapi mengingat insiden saat sarapan tadi, rasa-rasanya mustahil harapan Elang akan terwujud dengan mulus.

Terbayang olehnya apa yang akan dikatakan ayahnya. Ngapain tanya-tanya? Nggak usah ikut-ikutan kamu! Pasti itu yang pertama terlontar. Brigpol Ranggalawe tak pernah cacat dalam bersikap, tapi jangan main-main dengan temperamennya. Sayangnya justru Elang yang sering melanggar aturan main ini.

Dia enggak tau apa yang bisa gue perbuat, batin Elang dengan geram. Dia akan menyesali itu.

Elang mengeliminasi ayahnya sebagai narasumber, kemudian mengira-ngira siapa lagi di kantor itu yang bisa ditanyainya. Pilihannya jatuh pada Maudy, seorang polwan.Dalam khayalannya dia sudah tahu akan bagaimana jadinya percakapan antara dirinya dan Maudy.

Eh, ngapain lo tanya-tanya? Pasti itu balasan Maudy begitu Elang mengutarakan rasa ingin tahunya.

Ini tuh urusan polisi. Lo bukan polisi. Lo bukan siapa-siapa, begitu Maudy akan melanjutkan tanpa diminta.

Gue Elang, Maud, nggak mungkin gue bukan siapa-siapa, Elang akan menjawab asal-asalan.

Kemudian, seperti yang sudah pernah terjadi, Maudyakan menyerah juga pada akhirnyakarena sebenarnya dia suka ketika Elang mengajaknya mengobrol. Maka Maudy akan bicara sedikitnya dua puluh menit penuh berisi fakta-fakta yang sudah ada di meja penyidik.

Ketika dugaannya tentang percakapan tersebut telah terbukti benar, Elang keluar kantor polisi dengan perasaan lega bercampur puas. Kegairahannya membuncah, senyumnya tersungging, padahal matahari sedang sengit-sengitnya. Dia menyusuri trotoar yang sedang ramai-ramainya. Dipikirkannya baik-baik semua yang didengarnya dari mulut Maudy.

Sampai saat ini belum ada kesepakatan apakah harus melihat kasus itu sebagai pembunuhan berantai atau pembunuhan acak. Pembunuhan berantai pada umumnya memiliki pola, sebuah ciri khas. Tapi tak tampak adanya sebuah pola dari mayat-mayat korban yang ditemukan itu. Para korban dibunuh dengan cara berbeda, mati dengan sebab yang berbeda.Identitas mereka samar-samar, tidak diketahui nama tapi beberapa orang kadang melihat mereka berkeliaran di jalanan atau tiduran di emper toko. Ketiga korban pertama ditemukan bersamaan, tapi yang keempat ditemukan sendiri. Sulit membuat dugaan mengenai profil pelaku sehingga akhirnya mereka berpendapat mungkin saja tak ada kaitannya antara pembunuhan tiga anak jalanan yang pertama dengan yang terakhir. Meski begitu jelas terlalu janggal untuk disebut suatu kebetulan jika dalam satu minggu ada dua pembunuh beraksi di wilayah yang sama.

Barang-barang yang ditemukan pada pakaian yang dikenakan para korban itu juga tak ada yang bisa dijadikan petunjuk. Dalam saku celana mayat yang hanya disebut sebagai mayat A-1, terdapat sepotong plastik pembungkus berisi remah-remah roti. Nama toko roti yang tercap di plastik itu sangat dikenal di Jatinegara, Toko Roti Alwiya. Anak jalanan hampir tidak mampu membeli makanan, apalagi di toko semacam Toko Roti Alwiya yang cukup besar dan harganya agak mahal. Entah si korban mendapatkan roti itu dari si pemilik toko atau dia mencurinya. Mungkin pula dia memungut roti sisa yang dibuang. Sepintas terlihat remeh, tapi setidaknya mereka jadi punya seseorang yang bisa ditanyai, sebagai permulaan. Pemilik Toko Roti Alwiya sendiri sudah mengonfirmasi dirinya tidak pernah memberikan roti pada orang-orang liar. Salah satu karyawan mungkin yang memberikannya, tapi tak ada yang mengaku. Ketika dia melihat sendiri plastik pembungkus roti itu dan mengendusnya, dia memberikan pernyataan bahwa remah roti yang tersisa itu berbau mirip moka tapi sudah basi. Sudah tiga bulan, katanya, tokonya tak memproduksi roti moka.

Penelusuran yang nihil. Meski begitu mereka menemukan bahwa mayat A-4—korban keempat—sempat dibebat mulutnya menggunakan sejenis kain. Tampaknya korban tidak segera mati di tempat namun sempat sekarat, sehingga untuk berjaga-jaga agar dia tak berteriak, si pembunuh membebat mulutnya.

Elang menggeleng-geleng. Memang dia tak berharap terlalu banyak para penyidik dan polisi itu akan sampai pada pencapaian yang luar biasa dalam kasus pembunuhan ini. Mereka terlalu dangkal, kurang terbuka. Oh, mereka pasti bisa mengungkap kebenaran nantinya, tapi akan butuh waktu lama jika kapasitas otak mereka cuma sepertiga yang dimilikinya.Dia yakin dirinya bisa lebih cepat dari mereka.

Fakta-fakta tidak ada gunanya jika tak ada yang menghubungkannya. Dan tanpa penghubung yang tepat, sebuah benang merah, fakta-fakta akan mengarah pada kesimpulan yang melenceng.

Elang mendangak menantang langit yang tak berawan. Setidaknya berdasarkan keterangan Maudy, orang-orang kepolisian sepemikiran dengannya dalam satu hal : cara mayat-mayat itu dipersembahkan pada khalayak entah bagaimana mengganggu nalar. Brutal tapi di saat yang sama nyaris sakral.

Sakral.

Lamunan Elang terhenti, terdistraksi oleh kepadatan manusia yang merubunginya. Dia baru saja membebaskan diri dari tukang-tukang pipa bawah tanah yang sedang bekerja ketika kemudian bertubrukan dengan seorang perempuan yang hendak berbelok ke sebuah toko. Perempuan itu tidak sadar dia membuat Elang hampir terpental. Elang misuh-misuh ketika perempuan itu melengos masuk ke sebuah toko perlengkapan seni.

Seni.

Pembunuhan sebagai seni?

Terlalu mengerikan untuk memikirkan kemungkinan itu, terlalu asing, terlalu...sakit. Tapi tak ada yang tahu persis macam-macam orang di luar sana. Mungkin salah satu dari mereka... Tidak. Bukan mungkin lagi. Salah satu atau beberapa dari mereka memang melakukannya.

Di lantai-lantai atas, jendela-jendela memantulkan panas yang luar biasa. Dua-tiga kali Elang menangkap sekelebat wajah, mata, mengintip dari balik tirai dan kerai. Sosok-sosok menghilang dan timbul, menjengukkan kepala ke luar atau menutup daun-daun jendela. Salah satu dari mereka pasti tahu. Salah satu dari mereka menyaksikan sesuatu. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top