Bab 1


Dia menoleh ke belakang. Kosong. Hanya ada beberapa sampah yang menari-nari berputar tertiup angin malam. Anginnya sendiri tak bersuara. Kalaupun ada suara, hanya suara dari pesawat televisi yang kedengarannya sayup, dari seberang yang jauh entah di mana, mungkin dari gang sebelah masjid. Dia tahu, begitu-begitu dia tahu malam itu sedang ada pertandingan akbar sepak bola. 

Ada seseorang yang mengawasinya, mengincarnya.

Sekarang, dia diburu, seperti binatang. Sehari-hari dirinya memang sering dikatai binatang. "Anjing!", kata mereka, "Babi!", kata mereka. Bah! Apalah kata mereka, dia bisa membalas balik perkataan semacam itu. Diburu? Dia sudah sering diburu. Diburu oleh polisi, diburu oleh preman, diburu anjing penjaga, diburu, diburu, diburu! Tapi yang ini lain. Menjadi binatang yang dikejar pemangsa yang tak terlihat di malam buta!

Tak peduli ke mana pun dia melangkah, gang mana pun yang dia ambil, sang pemburu dengan gigih mempertahankan jarak yang tak jauh di belakangnya. Jantungnya berdegup tak tertahankan, takut sewaktu-waktu muncul sesosok ganas menerkamnya dari gang-gang gelap. Dia sudah mulai berlari. Berlari. Dia tak punya masalah dengan berlari. Sejak dulu tak punya rumah ke mana bisa pulang, dia selalu berlari. Bukan berlari dari kenyataan seperti ungkapan dalam adegan sinetron atau drama picisan, tapi berlari untuk bertahan hidup. Hidup dalam arti yang sebenar-benarnya : nyawa. Meski begitu yang terjadi padanya malam ini tak sama dengan bertahan hidup yang biasanya dia lakukan. Siapapun yang memburunya saat itu punya aura bengis, dia bisa merasakan itu.

Dengan dada terbakar hampir kehabisan napas, dia berusaha secepatnya menjangkau tempat di mana kerumunan orang akan mengamankannya. Sejak tadi dia tak mendengar gemuruh kereta listrik, jadi pasti sudah lewat dari tengah malam. Belakangan jarang terlihat kaumnya berada di tempat terbuka malam-malam, sejak munculnya mayat-mayat itu.

Dia sendiri ada di sana hari itu, pagi itu. Kebrutalan, darah, luka, dan kematian sudah akrab di kulit dan rambutnya sejak dia dilahirkan. Ada hari-hari di mana dia sendiri menemukan sesama anak jalanan mati di ambang pintu toko atau kolong-kolong jalan, semua dia kenal. Dia tak meratapi mereka. Mungkin sejak awal dia tak pernah belajar caranya meratap ataupun berduka. Tapi hari itu dia merasakan hal yang berbeda, ngilu! Wajahnya memutih seperti kapur, aliran darahnya serasa berhenti. Dia tahu siapa-siapa saja tubuh yang dipajang dengan cara mengerikan itu, dia tahu nama-nama mereka. Buat orang lain nama anak-anak jalanan tidak penting, di mata mereka anak-anak jalanan hanyalah manusia abu-abu, begundal, lusuh seperti kain pel, tapi sungguh! Mereka punya nama! Tapi tak seorangpun mau bertanya siapa nama mereka. Dan hari itu, sementara tubuh-tubuh itu disingkirkan dan sisa-sisa kekejaman itu dibersihkan dari jalan layang yang gagah, ketiga nama koncoannya itu terulang di kepalanya tanpa henti. Bedul, Malih, Akin.

Apa itu? Dia mendengar bunyi kerikil yang ditendang. Atau mungkin tikus yang menyenggol kaleng di tong sampah. Atau..atau.. pikirannya terlepas lagi, dia dilanda kegugupan yang dahsyat. Dia bersembunyi di ceruk terdekat yang bisa dia temukan. Tempat persembunyian yang lemah. Setidaknya untuk beberapa saat dia bisa mengambil napas banyak-banyak. Selama beberapa detik yang singkat itu tercetus olehnya untuk mengkonfrontasi sang pemburu, untuk menghadapinya, menantangnya. Ide buruk. Pikiran-pikiran mengerikan kembali menyusup di benaknya dan meluluhkan lagi keberaniannya. Tidak, dirinya belum aman. Keinginan memangsa yang luar biasa kini semakin dekat menghampirinya sampai menjalari pundaknya dan mencengkeramnya seperti cakar-cakar maut.

Bunyi itu terdengar lagi, hanya beberapa langkah dari ceruk persembunyiannya. Seketika itu juga dia kembali berlari, tak peduli lagi ke mana ketakutannya membawanya. Bayangannya berkelebat cepat di tembok-tembok pucat.

Penglihatannya memburam. Kepalanya berdenyut. Dunia menyusut menjadi lorong sempit yang hitam. Dia berhenti, terengah-engah, di persimpangan tiga jalan. Dadanya sesak dan perutnya bergejolak memuakkan. Detik berikutnya dia memuntahkan isi perutnya ke aspal. Lengan-lengan kurusnya menyangga tubuh di atas lututnya selagi dia meludahkan sisa-sisa pahit dalam mulutnya. Ketika dia menoleh ke belakang, ditangkapnya sepintas siluet di balik tembok yang segera menghilang lagi kemudian. Entah bagaimana, dia mendapat kesan sosok itu sedang mengetawainya. Celaka! Dia harus secepatnya mencapai Kampung Pulo. Dia sudah lelah, dia sudah putus asa. Dia seperti sedang dipermainkan, meski perasaan ngeri yang melandanya terlalu nyata untuk disebut permainan.

Dia menangkap gerakan kecil di salah satu sudut jalan di depannya. Kali ini dia benar-benar melihat sesosok orang. Dalam kegelapan menyembul sebentuk kepala, pundak, dan kaki. Dilihatnya sosok itu bergeming, setengah badannya tersembunyi di balik tembok.

Keringat membasahi kelopak matanya. Dia harus mengakhiri permainan ini. Dengan dada berdebar kencang dia maju, dan seiring dia melangkah itu sang sosok perlahan menarik diri sepenuhnya ke balik tembok. Tanpa ragu dia menyusul ke mana sosok itu menghilang, bertekad ingin berhadapan dengannya dan bertanya apa maunya.

Belum sempat dia memasang ancang-ancang untuk mengantisipasi, sesuatu sudah menubruk tubuhnya dengan keras begitu dia sampai di mulut gang. Sepasang tangan melingkar kuat mencengkeram pinggangnya yang kecil. Dia meronta, berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah. Di tengah pergulatan itu dia berontak, kedua tangannya menggapai serabutan berusaha mencocok wajah penyerangnya. Tapi tak bisa ditemukannya wajah orang itu. Tak ada mata, tak ada mulut, tak ada hidung. Orang itu menghantamkan sekepal tangan ke matanya, kemudian ke mulutnya, lalu ke perutnya, membuatnya kehabisan tenaga untuk bersuara.

Dia megap-megap, tergopoh berusaha melarikan diri namun tumbang di aspal. Tanpa daya dia menatap penyerangnya yang berdiri perkasa berlatar langit tanpa bintang. Kemudian dirasakannya satu tendangan tepat di ulu hatinya. Sisa-sisa cahaya terakhir lenyap dari matanya. 


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top