UG 2 | Myungsoo

NO EDIT.
.
.
.

Aku tidak bisa menahan geramanku ketika mendengar mereka semua tertawa selepas kepergian gadis itu. Wajah geli serta tatapan jenaka sangat terlihat jelas disana, berbeda dengan beberapa menit yang lalu ketika pria tengik itu mencoba untuk memprovokasi gadis yang menjadi pelayan kami malam ini.

"Rileks Myungsoo."

Aku tidak tahan untuk tidak mendesis, melemparkan tatapan tajam padanya. Bagaimana dia memintaku untuk rileks sementara dia hampir saja memukul seorang perempuan dihadapanku.

"Myungsoo, bersenang-senanglah sejenak. Jangan terlalu serius."

Mereka kemudian kembali tertawa. Seharusnya aku tau ketika mereka mengajak untuk berkumpul, tempat ini yang akan jadi tujuannya dan jelas mereka akan berbuat bodoh lagi. Seperti sebelum-sebelumnya.

Aku tidak mempermasalahkan tindakannya terhadap gadis malang tadi, hanya cara yang digunakannya membuatku geram. Dia tau bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan--siapapun--tidak akan kubiarkan tapi yang terjadi tadi ia malah hampir melayangkan tangannya.

Iya, memang benar itu hanya sebuah lelucon bagi mereka tapi mengangkat tangan dihadapan perempuan meskipun tidak benar-benar ingin menyakitinya bukanlah sebuah lelucon untukku. Bagaimana jika dia lupa diri dan tanpa sengaja menampar gadis itu? Itu benar-benar tindakan bodoh.

"She's out of your league! Sehun said that" sergahku mengingatkan mereka bahwa gadis itu hanya seorang bartender tanpa embel-embel apapun. Kami bahkan telah diberi peringatan sebelumnya, tapi mereka memang kurang ajar. Menggodanya hanya untuk mengetahui apakah yang dikatakan Sehun adalah benar atau tidak.

Kenyataannya, wanita itu hanya seorang bartender. Bukan seorang double worker, yang biasanya kami temui dalam ruangan ini.

"Dia hanya terlalu kaku bro. Kita butuh sedikit hiburan" Aku melirik ke kanan, menatap dua wanita yang masih setia bersandar didada pria yang baru saja bersuara. Menjijikkan.

"Whatever. Aku tidak akan membela kalian jika Sehun mengamuk"

Mereka bertiga hanya bergidik sebelum kembali tertawa bersama saat mendengar peringatanku. Meskipun mereka tau Sehun akan murka tapi tetap saja tawa itu tidak meninggalkan wajah mereka.

Ya tuhan, apa salahku hingga memiliki teman-teman seburuk mereka?

Hingga beberapa menit kemudian, seperti dugaanku. Ruangan kami terbuka dan pria itu berdiri disana dengan wajah mengeras menahan amarah, kedua tangannya terkepal dengan pandangan lurus menatap sipelaku utama atas kejadian dalam ruangan ini beberapa saat lalu.

Tawa yang tadinya terdengar tiba-tiba menghilang, digantikan oleh suara debum musik yang sayup-sayup terdengar melalui celah pintu ruangan yang terbuka. Sesaat setelah pria itu melangkah masuk dan menutup kembali pintu dengan hentakan keras. Suasana menjadi hening.

Phew seseorang dalam masalah besar sepertinya.

"Sehun? Wah--suatu kehormatan dikunjungi oleh orang sesibuk dirimu" itu suara yang pertama kali keluar untuk memecahkan ketegangan disini. Aku bahkan tidak menyadari jika sekarang hanya tersisa kami berlima dalam ruangan ini, entah sejak kapan wanita-wanita penghibur yang berada disini sudah menghilang.

"Choi Minho! Sudah kuperingatkan untuk tidak mengganggunya" wajah Sehun memerah, dia benar-benar sangat marah sekarang. Aku hanya menyandarkan tubuh disofa sembari melihat pertunjukan didepanku, kapan lagi bisa melihat tuan muda Choi mendapatkan amukan dari seorang Oh Sehun?

"easy bro. Kamu tidak bedanya dengan Myungsoo. Terlalu tegang." saat ini interaksi hanya terjadi antar kedua pria itu. Minho berdecak memperlihatkan wajah santainya, sementara Sehun seperti akan meledak sebentar lagi.

"Easy? Kamu merayu pegawaiku dan aku harus tenang? What the f--"

"Astaga! Aku hanya bercanda, oke? Pegawaimu terlalu kaku! Bagaimana kami bisa menikmati minumannya kalau dia tidak tersenyum saat melayani kami?"

Aku tersenyum miring mendengar pembelaan Minho, cukup masuk akal tapi tidak dengan akal Sehun yang saat ini sedang dalam emosi.

"Kalian bercanda tapi tidak dengannya bodoh!"

"Wajahnya sangat lucu. Coba saja kamu melihatnya, itu cukup menghibur."

Oh, komentar yang cukup riskan. Aku melirik pria berambut tembaga disampingku, ia tersenyum menatap Sehun yang sudah melotot padanya.

"Lucu? Dia ketakutan dan menurutmu itu lucu?" Sehun mendesis, aku menghela nafas panjang ketika tidak ada lagi balasan yang terdengar untuk kalimat Sehun.

Aku melirik ketiga sahabatku kemudian menoleh pada Sehun yang masih sangat berapi-api saat ini.

"Sehun--" aku mengambil jeda sejenak untuk menarik perhatiannya, ketika ia menoleh padaku aku menggeleng, "Minho akan meminta maaf setelah ini. Katakan pada gadis itu jika tadi hanya kekonyolan mereka," ujarku pelan dan langsung mendapatkan tatapan protes dari Minho.

Mengabaikan kedua bola mata bulat yang masih memandangiku saat ini, "dia hanya pegawaimu. Kamu tidak perlu semarah ini, lagipula tidak terjadi apapun. Dia baik-baik saja." Aku melanjutkan, yeah pada akhirnya aku turun tangan untuk membela orang-orang bodoh itu setelah mengatakan tidak akan melakukannya.

"Tapi Myungsoo--" aku tersenyum padanya, menahan semua protes yang akan ia layangkan untuk menyudutkan Minho lagi.

"Kita tidak perlu meributkan masalah ini. Lebih baik bergabung bersama kami, bagaimana?" Tawarku, Sehun menatap kami berempat secara bergantian kemudian menghela nafas panjang. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya disamping Minho.

"Hey, apa kamu sesuka itu padanya hmm?" Sehun mengernyit, menatap pria disamping kirinya.

"Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan bartender cantik itu?" Minho menyela membuat Sehun menjadi fokus dalam ruangan ini. Mereka berdua menghimpit tubuhnya dan memberi tatapan penuh tuntut padanya. Aku menggelengkan kepalanya, sepertinya seseorang telah jatuh cinta disini.

"Hah aku menyukainya? Omong kosong macam apa!" Sehun menyangkal.

Aku hanya tertawa melihat penyangkalan pria itu, selanjutnya yang terjadi mereka sibuk berdebat mengenai Sehun yang jatuh cinta pada gadis itu dan sebagainya. Aku mengabaikan mereka, meraih gelas dimeja dan menenggak isinya.

"Are you okay?" Aku menoleh, menatap heran padanya. Aku baru sadar sejak tadi dia tidak ikut berdebat dengan Sehun, ia hanya diam memperhatikan kami.

"I am. Why?"

Dia hanya tersenyum kemudian menggeleng kecil, ikut mengambil gelas dan mendentingkannya pada gelas ditanganku.

"Mereka sangat kekanakan bukan? Baru tadi saling berteriak sekarang malah tertawa bersama," ujarnya melirik tiga pria yang sudah adu tinju disana. Aku tersenyum.

"Seperti itulah mereka." Aku hanya menggumam pelan kemudian kembali melirik pria disampingku.

"Have a problem? Malam ini sepertinya kamu tidak banyak bicara." alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah mengisi ulang gelasnya yang kosong kemudian meneguk kembali. Aku mengernyit, sepertinya memang ada masalah. Tapi dia tetap tidak ingin membicarakannya padaku.

Apa para wanita penghibur tadi membuat moodnya rusak? Seingatku dia sangat bersemangat sebelum Sehun merusuh di dalam ruangan ini. Namun aku menghargai keputusannya, lebih baik membiarkannya. Mungkin lain waktu dia akan bercerita.

***

"Bu, aku akan pulang. Tapi tidak sekarang."

Aku memijit pelipisku, mendengar rengekan ibuku membuatku sedikit pusing. Dia memintaku untuk pulang sementara pekerjaanku masih cukup banyak dan tidak bisa ditinggalkan, tapi dia tetap memaksa.

"Pekerjaan ini sangat penting bu. Aku janji akan pulang besok, oke?"

Saat ini aku hanya bisa membujuknya. Mengetahui sifat ibuku yang pemaksa aku yakin kalau dia tidak akan terima segala alasan yang telah kuberi. Jika dia mengatakan aku untuk pulang, maka aku akan pulang sekeras apapun aku menolak.

"Bu, kumohon jangan seperti ini--aku menyayangimu, jangan katakan yang tidak-tidak."

"Kalau begitu pulang. Jangan membuatku mengulangnya Kim Myungsoo."

Setelah itu sambungan telepon putus, aku menggeram. Dia selalu tau cara untuk membuatku melakukan semua perintahnya. Dan kali ini wanita itu berhasil melakulannya.

Aku bukannya tidak ingin pulang, kalau bisa aku akan pulang setiap hari demi menemani ibuku. Namun semuanya diluar kehendakku, perusahaan saat ini sedang hectic. Ada beberapa laporan untuk kuselesaikan hari ini tapi ibu benar-benar keras kepala.

Mengapa dia selalu membuatku terlihat seperti anak durhaka?

Disaat aku sedang tidak memiliki banyak kerjaan dia jarang menghubungiku dan menerorku agar pulang ke rumah. Namun ketika keadaan berbalik, disaat aku sedang luar biasa sibuk, ibu tanpa kenal waktu selalu menerorku dengan ancaman-ancaman yang sungguh mengerikan. Aku bahkan tidak memiliki pilihan untuk menolaknya.

Jadi, dimana letak kesalahannya? Aku yang melaksanakan kewajibanku atau ibu yang terus menerorku?

Aku hanya ingin mencoba untuk menjadi anak yang berbakti pada ibu. Aku mencintai ibuku tapi jika kelakuannya terus menerus seperti ini, bisa-bisa aku mengalami penuaan sebelum waktunya.

****

Aku menghela nafas panjang saat turun dari mobil, mataku menyipit melihat wanita itu sudah berdiri dibelakang pagar dengan wajah sumringah.

Yeah, dan akhirnya aku kalah lagi. Ibu selalu menang dan berhasil membuatku meninggalkan pekerjaanku di kantor dan pulang ke rumah ketika ia menginginkannya.

"Bu."

Tubuhku langsung ditarik untuk dipeluknya, aku tersenyum. Selalu seperti ini, pelukan ibuku adalah tempat terhangat dan ternyaman di dunia ini. Ia mengusap punggungku dengan sangat lembut, tau jika itu adalah gerakan yang selalu bisa merilekskan tubuhku.

"Putraku sayang. Akhirnya kamu pulang juga nak," ibu dengan secara dramatis mendesah panjang, ia menangkup pipiku dan menatap wajahku penuh haru. Pernahkah aku mengatakan jika ibuku juga adalah seorang wanita yang dramatis? Ia terkadang bertingkah terlalu berlebihan.

"Bu, akhir bulan kemarin aku pulang. Jangan berlebihan." Tegurku, bukannya berhenti ibu malah semakin memasang wajah sendunya. Ini yang membuatku tidak pernah menang atas ibuku, ia selalu berhasil membuatku luluh hanya dengan menatap matanya.

"Itu waktu yang cukup lama. Kamu tidak tau betapa kesepiannya ibumu ini."

Aku memutar bola mataku, tidak--aku tidak berniat untuk bersikap tidak sopan padanya tapi apa yang baru saja dikatakannya memancingku untuk melakukan itu. Lihat, ibu sungguh berlebihan.

"Sudah, ayo masuk. Aku sudah lapar bu," hanya dengan begitu wajah cerianya kembali. Aku tersenyum, betapa mudahnya membuat mood ibu berubah.

"Ibu sudah tau kamu tidak akan makan di kantor. Ayo, ibu buat sup tahu kesukaanmu."

Dengan girang ibu menarikku masuk ke dalam rumah, ini adalah momen favoritku. Melihat ibu tersenyum dengan luar biasa semangat seperti gadis-gadis remaja yang baru saja pulang berkencan dari kekasihnya.

Aku hanya berharap ibu bisa tersenyum selebar ini setiap hari, tidak ingin melihat wajah murung serta tangisannya lagi. Itu sudah cukup untukku. Aku tidak akan membiarkannya kembali menangis untuk kesekian kali.

"Bu, terus seperti ini. Ibu terlihat sangat cantik." Ucapku tanpa sadar, ibu menoleh dan semakin melebarkan senyumannya.

"Anak ibu juga sangat tampan." Setelah mengucapkan itu, ibu sibuk mengatur makanan untukku.

Ah, berapa lama aku tidak merasakan masakan ibu? Sekarang aku sudah terlalu merindukannya.

***

Aku menempati kamar yang dulu kutempati selama menghabiskan masa remajaku. Kamar ini tidak banyak berubah, hanya ranjangnya saja yang ibu tukar dengan yang lebih besar, mengikuti pertumbuhanku. Selebihnya persis seperti dulu.

Aku menghabiskan banyak waktu dalam kamar ini, hampir semua kenangan remajaku bersarang dalam ruangan ini. Meskipun bukan kenangan yang cukup baik tapi setidaknya aku merasa hanya tempat ini yang benar-benar mampu melindungiku dulu. Kami bisa aman didalam sini.

Pagi ini aku terbangun dengan suasana hati yang berbeda ketika terbangun di kamar apartemenku. Selalu seperti ini setiap pulang ke rumah, it's really feel like home.

"Myungsoo! Bangunlah, ini sudah pagi!"

Satu hal lagi yang membuatku senang kembali ke rumah ini, aku memiliki seseorang yang akan mengurus dan membangunkanku tiap pagi.

"Iya bu. Aku sudah bangun."

Setelah membalas seruan ibu, aku keluar dari kamar untuk mandi. Ya, jangan pikir akan menemukan kamar mandi di dalam kamarku karena itu hanyalah sebuah pengharapan belaka.

Rumah ini sangat berbeda dengan rumah-rumah mewah seperti yang ada di tengah kota, ini adalah rumah yang hangat dan sederhana. Kamar mandi terletak tidak jauh dari kamarku, bisa dikatakan itu adalah kamar mandi bersama milikku dan adikku.

Berbicara tentang adik. Ya, aku memiliki seorang adik perempuan, yang juga mengikuti jejakku untuk keluar dari rumah ketika dia sudah mulai bekerja.

Semenjak kami memilih pergi dari rumah dan tinggal lebih dekat dengan tempat kami berkerja, ibu mengeluarkan beberapa kewajiban yang harus kami lakukan saat itu. Salah satunya adalah kami harus pulang kerumah saat libur besar dan paling tidak sekali dalam satu minggu. Itu adalah ketetapannya dan tidak ada alasan apapun yang akan diterima ibu jika kami tidak mematuhinya.

Jadi setiap weekend adalah pilihan kami untuk pulang, menjauh sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan dan memilih menenangkan diri di rumah. Berkeluh kesah pada ibu tentang bagaimana kami melewati sepanjang minggu terakhir. Itu adalah kegiatan favorit kami.

Dan hari ini adalah hari sabtu, kurasa adik cantikku itu sudah pulang, tapi sejak tadi aku tidak merasakan kehadirannya. Bahkan sampai selesai mandi aku tak kunjung melihatnya.

"Bu, Jiwon di mana?"

Aku memilih untuk turun ke dapur, mendekati ibu yang sedang membuat sarapan. Wah, betapa bersemangatnya ibuku pagi ini. Lihat berapa banyak makanan yang telah dibuatnya.

"Lihat semua makanan ini, kita akan pesta bukan?" Aku iseng bertanya sambil mencomot satu potong daging yang sepertinya baru saja diturunkan dari panci karena kepulan asap diatasnya begitu kentara.

"Jiwon tidak pulang minggu ini dan tidak, kita tidak akan pesta sayang." Jawaban ibu membuatku terkejut, bukan dibagian kita tidak akan melakukan pesta melainkan dibagian adikku tidak pulang.

"Kemarin ibu mengancamku agar pulang tapi melepaskan Jiwon? Ini tidak adil!"

Tiba-tiba ibu menoleh dan menatapku tajam, baiklah--aku sedikit keterlalu dengan memberi protes keras untuk masalah ini. Tapi bukankah kami wajib untuk pulang? Apapun alasannya--tapi bagaimana bisa ibu mengizinkan Jiwon untuk tidak pulang sementara aku dipaksa pulang saat pekerjaanku benar-benar tidak bisa ditinggalkan? Aku hanya butuh keadilan.

"Kim Myungsoo! Apa kau lupa yang ibu ajarkan tentang tidak boleh ada kecemburuan antar dua saudara?"

"Tapi bu, pekerjaanku--"

"Tidak. Di dalam rumahku kita tidak akan membicarkaan pekerjaan. Ibu tidak mau mendengarnya."

Setelah menyela pembelaan yang hendak kulakukan ibu dengan dramatisnya kembali berbalik dan mengurus masakannya. Aku hanya menghela nafasku panjang, ibu bahkan tidak memberiku penjelasan kenapa Jiwon tidak pulang minggu ini.

"Ah, adikmu sedang perjalanan bisnis dan dia pulang selama empat hari minggu kemarin. Jadi jangan protes lagi."

Oh, how clever she is. Menggunakan jatah libur nasional ditambah dua hari weekend untuk keuntungannya sendiri. Aku bahkan tidak bisa pulang ketika hari libur. How pity i am.

*

"Berhenti mengeluh seperti bayi besar Myungsoo. Sekarang waktunya sarapan."

Aku mendengar seruan ibu dari dapur, tadi setelah tau alasan Jiwon tidak pulang aku langsung keluar dari dapur dan kurasa ibu mendengar gerutuanku sejak tadi. Bahkan ketika sedang menonton saat ini aku tidak berhenti menggerutu tentang betapa beruntungnya Jiwon mendapatkan izin melakukan perjalanan bisnis sementara aku hanya sekedar untuk membicarakan pekerjaanku saja dilarang.

"Ayo sayang. Ibu sudah masak banyak, kamu harus makan."

Kulihat ibu melambaikan tangannya dengan senyum lebar, huh--bagaimana aku bisa merajuk ketika melihat senyuman itu saja sudah membuatku luluh. Yah, memang segala tentang ibu selalu meluluhkanku.

"Aku tidak mungkin menghabiskan semua ini bu," keluhku saat tiba di meja makan. Makanan yang tadi kulihat semakin bertambah, sebenarnya seberapa banyak yang dimasaknya?

"Duduklah, ini tidak banyak. Ayo makan."

Aku hanya menggelengkan kepala, ibu tidak berubah. Daridulu selalu membuat makanan dengan porsi lebih banyak dari seharusnya. Jika tidak ada yang makan, maka dengan senang hati dia membaginya kepada para tetangga. Aku terkadang bingung harus senang dengan sifat ibu yang seperti ini atau tidak. Disatu sisi ibu melakukan kebaikan dengan berbagi, namun disisi lain ibu berlaku boros, menghabiskan banyak bahan makanan untuk kebutuhan yang tidak perlu.

Beberapa menit setelahnya aku sudah tenggelam menikmati semua masakan ibu, ini benar-benar lezat. Memang benar ungkapan yang mengatakan tidak ada masakan lain yang mampu menandingi masakan ibu.

Tadinya sempat ragu bisa menghabiskan semua ini namun sepertinya aku berubah pikiran. Merasakan makanan buatan ibu dilidahku membuat perutku seolah-olah memiliki puluhan lambung yang akan menampung semuanya.

Ditengah-tengah menikmati sarapan, tiba-tiba suara keributan terdengar dari luar rumah. Aku menatap ibu heran, dia juga tidak kalah herannya denganku.

"Ada apa bu?"

"Entahlah. Mungkin ibu-ibu kompleks sedang berbuat ulah lagi."

Ibu hanya bergumam sebelum beranjak dari kursi, aku menatap piringku yang masih terisi setengah lalu melirik punggung ibu yang sedang mengintip melalui jendela.

"Bu, sudah jangan campuri urusan orang." Teguranku tidak dihiraukan oleh ibu, dia terlihat semakin intens menatap keluar jendela membuatku mendesah panjang.

"Astaga! Apa sebenarnya mau mereka? Sudah cukup mereka merendahkan gadis malang itu dengan mulut kasar mereka!"

Aku terkejut, tentu saja. Selama duapuluh sembilan tahun hidupku ini pertama kalinya aku mendengar ibu berteriak marah seperti ini, bahkan wajahnya terlihat tidak baik. Baru saja ingin kutegur namun dia sudah melesat membuka pintu rumah dan keluar dari sana.

Astaga!

Aku segera beranjak menyusul ibu. Bagaimana bisa ibu keluar begitu saja.

"Ibu--"

Langkahku terhenti tepat didepan pintu saat melihat ibuku berdiri diluar pagar sembari memeluk seseorang dan melemparkan tatapan tajam pada beberapa ibu-ibu kompleks seperti yang dikatakannya tadi.

"Berhenti mengganggunya. Cukup urusi keluarga kalian, jangan mengurus gadis ini."

"Dia mencemari lingkungan kita. Bagaimana bisa kami membiarkan wanita panggilan hidup di lingkungan ini? Itu akan membawa dampak buruk untuk anak-anak kita."

Oke, sepertinya aku sedikit mengerti apa permasalahannya disini. Seorang wanita--hmm--bagaimana cara aku menyebutnya? Ya, intinya gadis itu adalah wanita yang tidak baik dan mereka mencoba untuk mengusirnya. Tapi, mengapa ibu membelanya?

Sepanjang mengenal ibu, aku tidak pernah melihatnya sekalipun menaruh perhatian pada orang-orang yang memiliki pekerjaan tidak benar.

"Jangan berasumsi sendiri. Lebih baik kalian pulang sebelum saya memanggil satpam kompleks karena sudah membuat keributan di depan rumah saya."

Setelah mendengar ancaman itu, ibu-ibu kompleks langsung membubarkan diri. Aku menggelengkan kepala, ibu benar-benar.

"Bu, ayo masuk. Masalah sudah beres bukan?" Seruku memanggil ibu saat dia masih berdiri di depan pagar sambil berbicara pada gadis itu.

"Ayo masuk," aku tidak mendengar apa yang ibu katakan tapi kata terakhirnya membuatku berjengkit. Kenapa ibu mengajak gadis itu untuk masuk ke dalam rumah? Bukankah dia--

"Myungsoo, tolong ambilkan handuk nak."

Aku menatap ibuku kemudian beralih pada gadis yang dirangkulnya, seluruh badannya basah. Sepertinya ibu-ibu kompleks tadi benar-benar keterlaluan, ini bisa dibicarakan secara baik-baik, tidak harus melakukan penyerangan kan.

"Ba--"

"Bibi, tidak usah." Suaraku terhenti saat mendengar gadis itu berbicara, dia masih menunduk dengan beberapa helaian rambut sedikit menutupi wajahnya.

"Aku akan membersihkan diri di rumah saja."

Aku terkejut ketika gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap ibu, meskipun hanya melihat wajahnya dari samping tapi aku langsung mengenalinya saat ini juga.

Gadis ini adalah gadis yang tempo hari dikerjai oleh Minho di club. Tepat ketika gadis itu menoleh kearahku aku langsung membelalak lebar.

"Kamu?"

Tbc.

Cerita ini termasuk short story jadi tidak akan panjang-panjang seperti cerita sebelumnya. Konfliknya tidak akan banyak.

Aku tidak terlalu bagus nulis cerita dengan pov1, jadi kalau sedikit aneh. Maaf ya 😂

Thank.xoxo
elship_L
.
.

-10/01/17-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top