Tiga Puluh Satu
KETIKA turun ke ruang tengah, aku melihat Khalid sudah duduk manis di sofa. Dia benar-benar hanya pulang numpang tidur dan mandi di kontrakannya lalu balik ke rumah Nenek lagi.
"Sori, aku datang pagi banget," katanya. Dia memahami arti tatapanku yang keheranan melihatnya sudah berada di rumah Nenek sebelum matahari benar-benar menampakkan diri. "Aku pengin sudah ada di sini sebelum Ara bangun. Mungkin aja dia nanyain dan mau ngobrol sama aku."
Aku ingin mengatakan pada Khalid bahwa Ara sudah terbiasa hidup tanpa dirinya selama hampir lima tahun, jadi Ara bisa menunggu kalau ayahnya tidak langsung muncul ke kamarnya saat dicari. Namun aku berhasil menahan diri dan membatalkan niat itu. Bukan salah Khalid kalau dia tidak ada dalam hidup Ara sampai beberapa hari lalu.
"Aku mau bikin teh." Aku menunjuk dapur. "Kamu mau minum apa, biar sekalian aku bikinin?"
"Aku mau kopi, tapi biar aku bikin sendiri." Khalid mengangkat iPad-nya dan mengikuti langkahku ke dapur.
Dari dulu, Khalid memang lebih suka membuat kopi sendiri. Dia telaten menakar, meratakan, dan memadatkan bubuk kopi yang akan dimasukkannya dalam mesin pembuat kopi untuk membuat espresso yang enak. Dia menyukai ritual membuat kopi. Dia tidak konsumtif, tapi rela mengeluarkan uang banyak untuk membeli mesin kopi yang bagus. Peralatan elektronik paling mahal di dapur kami dulu adalah mesin kopinya. Benda itu bahkan lebih mahal daripada kulkas empat pintu dengan teknologi terbaru yang dihadiahkan Nenek saat kami pindah rumah.
Aku suka kopi, tapi tidak berada di level Khalid yang mau repot memilih biji kopinya sendiri, yang meyakinkan jika stoples biji kopinya yang sudah di-roasting benar-benar tertutup rapat dan kedap udara untuk menjaga kualitasnya. Biji kopinya baru akan digiling sesaat sebelum masuk mesin pembuat kopi. Menurutku ritual pembuatan kopinya sangat merepotkan, tapi Khalid tampaknya menikmati waktu yang dibuangnya untuk mendapatkan secangkir kecil espresso.
"Kopinya sudah dihaluskan setelah di-roasting." Aku mengulurkan stoples berisi bubuk kopi pada Khalid. "Aku dan Nenek nggak terlalu sering minum kopi, jadi hanya ngambil dari stok restoran. Tapi ini bukan kopi kemasan kok."
"Waktu datang ke sini tempo hari, aku sempat minum kopi di restoran. Rasanya enak kok. Pegawai Mbak Azkia tahu cara memilih dan me-roasting kopi." Khalid mengambil stoples di tanganku dan membawanya mendekati mesin pembuat kopi. Dia mengusap permukaan benda itu. "Coffee maker Kakek ternyata ikut pindah ke Surabaya juga."
Mesin kopi itu memang peninggalan mendiang Kakek. Benda itu ikut pindah karena nilai sentimentalnya, bukan karena fungsinya. Nenek semakin mengurangi konsumsi kopi. Dia membawa mesin kopi itu karena benda itu adalah barang kesayangan Kakek. Walaupun benda itu sudah termasuk barang antik karena umurnya yang tua, tapi mesinnya masih bisa berfungsi dengan baik.
Aku hanya membuat teh celup yang minim persiapan. Hanya butuh cangkir, gula, teh, dan air dispenser sehingga prosesnya bisa selesai dalam wakt singkat. Aku lalu duduk di salah satu stool kitchen island.
Khalid berada di sini sebagai ayah Ara, jadi mau tidak mau, aku harus memperbaiki hubungan kami supaya tidak terlihat tegang di mata Ara. Aku tidak bisa egois dan terus keras kepala karena merasa sudah membuat keputusan yang benar untuk hidupku di masa lalu.
"Kamu belajar sulap?" Aku mengamati layar iPad Khalid yang menyala. Suara videonya tidak terdengar karena Khalid memakai earPods. Khalid bukan tipe orang yang tertarik dengan trik sulap yang membutuhkan banyak alat bantu untuk dilakukan. Hiburannya adalah membaca, nonton film dokumenter, dan membuat maket.
Khalid mengusap dahi dan meringis. "Hanya trik yang simpel aja. Kayaknya aku lebih berbakat menggambar daripada main sulap. Saat searching, aku nemuin beberapa akun YouTube yang ngasih tutorial sulap untuk pemula. Aku ingin Ara tahu kalau aku serius mengikuti kemauannya untuk belajar sulap untuk bikin dia senang."
"Yang paling bikin Ara senang itu adalah kalau dia ditemanin ngobrol karena dia suka bicara. Kamu nggak harus belajar sulap untuk ngambil hatinya. Nanti, dia juga akan sadar kalau sulap itu hanya tipuan mata aja."
"Aku belum pernah melakukan apa pun untuk Ara, jadi belajar sulap, meskipun aku hanya akan berada di level amatir selamanya, bisa aku lakukan. Ara pasti masih akan kagum dan tertarik pada sulap sampai beberapa tahun ke depan, jadi nggak ada salahnya belajar."
Aku tidak mendebatnya lagi. Ada bagusnya juga kalau Khalid mau belajar trik sulap sederhana supaya Ara tidak mengganggu Jazlan dengan pertanyaan tentang sulap lagi ketika mereka bertemu. Lebih baik Ara merepotkan Khalid daripada Jazlan.
"Ibu rencananya mau tinggal berapa lama di Surabaya?" tanyaku lanjut berbasa basi.
Khalid mengangkat cangkir kopinya dari mesin pembuat kopi dan meletakkan di kitchen island. Dia menyusul duduk di sebelahku. "Kalau kamu merasa terganggu dengan kehadirannya, aku bisa minta Ibu untuk cepat pulang."
"Aku nggak merasa terganggu. Ara juga pasti senang rumah ini ramai, jadi dia nggak akan bosan dan merindukan sekolah. Aku hanya bertanya aja."
"Ibu nggak bilang mau tinggal berapa lama di sini. Mungkin karena dia juga belum memutuskan kapan mau pulang. Tapi kalau Ibu tahu kamu nggak keberatan dia di sini, Ibu pasti tinggal agak lama." Khalid terdengar lega. "Makasih ya, Sha."
"Aku minta maaf karena sudah merahasiakan keberadaan Ara dari kamu." Aku memutuskan membahas hal itu, mumpung situasi di antara kami kondusif. Semakin cepat membicarakan dan menyelesaikan masalah yang terputus di masa lalu, akan semakin membaik pula hubungan kami. Pernikahan kami memang sudah berakhir, tapi kami masih bisa berteman baik. Demi Ara. "Waktu itu aku marah banget, dan rasanya memutus hubungan di antara kita adalah keputusan yang paling benar."
"Waktu itu kamu sedang hamil. Mood kamu pasti kacau. Katanya, orang hamil cenderung emosial dan sentimental. Sejak awal memang aku yang salah." Khalid menyesap kopinya sebelum melanjutkan. "Waktu itu, mertua Adiba yang baru membeli tanah di tepi pantai di Bintan berencana bikin resor. Dia tertarik dengan salah satu bangunan resor yang kami kerjakan di dekat situ, jadi dia memutuskan untuk memakai jasa kantor kami. Adiba yang penghubung karena dia kenal sama semua orang di kantor. Karena itulah kami bertemu lagi. Sebenarnya yang ngerjain proyek itu Barata, bukan aku." Khalid menyebut nama sepupunya. "Itulah alasan mengapa aku nggak cerita tentang pertemuanku dengan Adiba. Aku pikir nggak penting juga karena yang intens berinteraksi sama dia kan Barata, bukan aku. Tapi karena Barata dan Adiba selalu ngajak aku setiap kali mereka keluar makan siang, aku ikut saja. Aku bawa mobil sendiri atau ikut mobil Adiba karena Barata bersama Zayan. Kamu kan tahu kadang-kadang Barata suka show off dengan pakai mobil sport-nya ke kantor. Jadi kalau perginya lebih dari dua orang, ya harus pakai dua mobil. Kalau kamu perhatikan baik-baik, kamu pasti lihat ada Barata dan Zayan setiap kali kami keluar. Cuma biasanya aku jalan duluan karena nggak ngebut kayak Barata. Alasan itu juga yang bikin Adiba lebih milih bersama aku, karena katanya nggak mau mati muda kalau ikut Barata yang menganggap jalan tol sebagai arena balap. Saat kamu lihat aku dan Adiba berdua aja di restoran, itu pasti waktu Barata mendadak punya tamu sehingga dia dan Zayan terlambat datang. Kalau kamu nggak langsung pergi, kamu pasti akan lihat saat mereka datang."
Aku diam mendengarkan, tak memotong kalimat Khalid.
"Aku nggak ikut keluar bareng mereka lagi setelah kamu marah dan pergi dari rumah. Tapi kerja sama kantor dan keluarga Adiba tetap berjalan. Harus profesional, kan?" Khalid menyugar. "Nggak tahu kenapa, aku kayaknya sial terus karena selalu kepergok bersama Adiba di saat yang nggak tepat, dan kamu lebih memilih percaya sama matamu daripada mendengarkan penjelasanku. Waktu kamu lihat mobil Adiba di rumah kita, dia sebenarnya nggak mampir untuk ketemu aku, tapi mau mengambil maket. Barata bermaksud mengantar maket itu malamnya karena Adiba mau pulang ke Bintan pagi-pagi. Tapi mobil Barata mengalami kecelakaan. Dia nggak apa-apa, tapi maketnya lumayan berantakan. Karena posisinya ada di dekat rumah, dia mampir dan kami membereskan maket itu sama-sama. Dia kemudian minta Adiba mampir ke rumah untuk mengambil maket itu dalam perjalanan ke bandara karena searah. Kalau kamu masuk ke rumah, kamu akan ketemu Barata karena dia nginap. Kami bergadang beresin ornamen maket itu. Barata bahkan baru beneran tidur nyenyak setelah Adiba pergi. Waktu itu kami baru ke kantor tengah hari. Kalau kamu meragukan kebenaran penjelasanku, kamu bisa tanya Barata."
Aku tidak perlu menanyakan hal itu pada Barata. Aku percaya Khalid tidak berbohong. Orang yang berbohong cenderung menghindari kontak mata karena mulut bisa mengeluarkan kata-kata dusta dengan gampang, tapi sorot mata tidak bisa menipu. Aku bisa membaca kejujuran dalam mata Khalid.
Aku tidak segera merespons dan terdiam lama karena menyadari bahwa sikap emosional membabi buta yang mengabaikan logika serta menolak menerima penjelasan berakhir buruk pada rumah tanggaku, terutama bagi Ara.
"Aku nggak pernah punya niat selingkuh dari kamu, apalagi sampai melakukannya, Sha. Kalau aku terkesan kurang tegas menghadapi kamu karena membiarkan kamu pergi dari rumah, itu karena aku bingung menghadapi kemarahan kamu yang besar. Kita nggak pernah bertengkar sebelumnya, jadi aku nggak tahu bagaimana menghandlekamu saat emosimu meledak. Aku pikir, kalau aku memberi kamu waktu untuk tenang, kita kemudian bisa bicara baik-baik. Tapi kamu nggak memberi kesempatan dan memilih memblokir nomorku. Aku minta bantuan Nenek menjadi penengah, dan Nenek bilang masalah kita bisa diselesaikan. Dia akan bicara sama kamu setelah kamu tenang. Tapi Nenek kemudian ikutan hilang sama kamu. Saat tahu rumah Nenek di Jakarta dijual, aku pikir kalian beneran pindah ke Australia. Apalagi setelah aku ke kantormu dan teman-temanmu bilang kalau kamu sudah resign."
Ada jeda hening yang panjang setelah Khalid menyelesaikan penjelasannya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Sebuah kesadaran lamat-lamat menyusupi benakku. Aku setengah mati membenci Khalid karena menganggap dia sudah menghancurkan kehidupan damaiku, tapi ternyata aku salah. Akulah yang telah membuat duniaku jungkir balik. Aku, bukan orang lain.
**
Yang pengin ikut PO, pantengin akun Instagramku @titisanaria atau akun Kak Sela @belibuku.fiksi ya. Info akan di-share di sana.
Ceritanya sama aja dengan yang di Karyakarsa ya, jadi buat yang udah beli di sana, nggak usah ikut PO lagi, kecuali kalau emang mau koleksi novel fisikku.
Untuk yang ikut PO, ada bonus Kumpulan Extra Part Edisi ke-5, yang berisi EP novel-novel yang udah terbit kayak Karma Rakha, dll.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top