Tiga Puluh
IBU Khalid terlihat sama seperti saat terakhir kali kami bertemu. Sikap ramahnya juga tidak berubah. Dia tidak semenggebu-gebu yang aku duga. Dalam perjalanan dari bandara menuju rumah, Khalid pasti sudah memberi ibunya briefing tentang do and don't saat bertemu aku dan Ara.
"Maaf karena Ibu datang tiba-tiba tanpa minta persetetujuan kamu dulu," kata ibu Khalid padaku Wajahnya yang sembringah tidak menunjukkan penyesalan seperti isi kalimatnya. "Kalau Ibu minta izin, takutnya kamu keberatan, padahal Ibu pengin banget ketemu anak kalian, cucu Ibu. Kalau langsung datang kayak gini, mau nggak mau, kamu harus menerima Ibu."
"Nggak usah minta maaf," sambut Nenek. Antuasiasme yang ditunjukkannya nyaris sama besar dengan ibu Khalid. Mereka seperti sedang merayakan reuni yang menyenangkan. "Memang sudah saatnya Ara bertemu sama ayah dan eyangnya."
Aku lebih banyak diam dan membiarkan Nenek menjawab pertanyaan basa basi ibu Khalid. Ketika Nenek mengajak ibu Khalid ke kamar Ara, aku mengekor di belakang mereka demi sopan santun.
"Ini eyang Ara," kata Nenek memperkenalkan ibu Khalid pada Ara. "Mamanya papa Ara. Ayo, salim sama Eyang."
Sebelum Ara sempat mengulurkan tangan, ibu Khalid sudah membungkuk di ranjang untuk memeluk Ara. Isaknya terdengar jelas.
"Jangan dipeluk kuat-kuat gitu, Bu. Nanti luka Ara tertekan." Khalid mengingatkan ibunya. "Jangan bikin dia nggak nyaman."
"Eyang dari Kutub juga?" tanya Ara begitu ibu Khalid melepaskan pelukannya.
Ibu Khalid menggeleng. Dia tertawa di antara isaknya. "Eyang dari Jakarta, bukan dari Kutub, Sayang."
Adegan yang terjadi di kamar Ara mirip adegan dalam babak akhir sebuah film, ketika sebuah keluarga yang terpecah belah akhirnya berkumpul kembali. Dalam film, kamera yang menyorot adegan reuni keluarga itu perlahan menjauh. Kamar itu kemudian berubah imej menjadi rumah yang semakin mengecil. Musik yang menghangatkan hati perlahan terdengar, mengiringi munculnya kredit penutup berisi daftar nama yang terlibat dalam pengerjaan film tersebut. Para penonton akan meninggalkan kursi bioskop dengan membawa kesan happy ending yang kental. Film keluarga yang baru saja mereka tonton sangat bagus dan mengharu biru
Namun yang terjadi di kamar Ara sekarang bukanlah akhir seperti di film, melainkan awal keruwetan hidupku yang semula sangat tenang, tanpa riak sedikit pun. Mulai hari ini, aku kembali terhubung dengan Khalid dan keluarganya karena mereka merasa bertanggung jawab atas Ara. Aku tidak punya naskah yang memberi gambaran tentang apa yang akan terjadi di antara kami semua kelak, karena Tuhan tidak pernah meminjamkan buku takdir sehingga aku bisa mengintip kisi-kisi hidupku di masa depan.
Dering telepon dari Ribka membuyarkan konsentrasiku mengamati interaksi Ara dan ibu Khalid. Aku lantas keluar dan kamar Ara dan masuk ke kamarku sendiri untuk menerima telepon itu. Aku tetap tinggal di dalam kamar seteleh menutup telepon.
Sekitar satu jam kemudian, Nenek menguak pintu kamarku setelah mengetuk. Aku meletakkan buku bacaanku saat Nenek duduk di tepi ranjangku.
"Oma minta ibu Khalid nginap di sini selama dia di Surabaya," mulai Nenek. Dia menepuk punggung tanganku. "Iya, Khalid memang punya rumah kontrakan dan ibunya bisa tinggal di sana, tapi tujuan utama ibunya ke sini kan untuk ketemu Ara dan menghabiskan banyak waktu sama Ara. Akan merepotkan kalau dia harus bolak-balik dari tempat Khalid ke sini."
Aku mendesah. Nenek pasti sudah memberi tahu ibu Khalid, jadi aku tidak mungkin memprotes keputusan itu. "Terserah Oma aja."
"Ara masih kecil, jadi Oma rasa dia nggak akan sepenuhnya paham dengan konsep cerai meskipun kamu jelaskan. Dia pasti berpikir, karena ayahnya sudah pulang, ayahnya pasti akan tinggal bersamanya."
"Maksud Oma apa?" tanyaku curiga.
"Di atas restoran ada tiga kamar yang nggak terpakai. Khalid bisa tidur di situ kalau dia nginap di sini."
"Dia punya rumah kontrakan di Surabaya!" Aku langsung menolak ide itu. "Aku nggak masalah ibunya tinggal di sini, tapi Khalid nggak perlu ikut-ikutan nginap. Nanti aku jelasin sama Ara kalau Khalid punya pekerjaan di kota lain sehingga mereka nggak bisa sering-sering ketemu."
"Sha...." Nenek kembali menepuk jariku untuk menenangkan.
"Itu benar, Oma. Pekerjaan Khalid memang di Jakarta. Ara harus tahu dan bisa menerima itu. Khalid hanya akan muncul sesekali. Apalagi kalau proyeknya sudah selesai. Ara jangan diberi ilusi bahwa Khalid akan tinggal selamanya bersama kita."
Nenek mendesah dan mengangkat bahu. "Oma sudah bilang soal kamar di atas restoran itu sama Khalid, jadi kalau kamu nggak mau dia nginap di sini, bilang sendiri sama dia." Nenek berdiri dan melangkah menuju pintu. Sebelum memutar gagang pintu, dia berbalik. "Jangan terlalu dingin sama ibu Khalid. Dia nggak ada hubungannya sama perceraian kamu dan Khalid."
"Aku nggak dingin," gerutuku. "Aku menyambutnya. Aku berdiri di depan pintu saat dia datang. Aku duduk bersamanya di ruang tengah. Aku menemaninya ke kamar Ara."
Nenek menatapku dengan sorot menegur. "Kamu hanya bicara kalau ditanya. Senyum kamu juga kesannya dipaksa gitu."
Mau bagaimana lagi? Jujur, aku tidak nyaman dengan kunjungan dadakan ibu Khalid. Aku masih berusaha berbesar hati menerima kehadiran Khalid sebagai ayah Ara, dan sebelum aku berhasil merangkul kenyataan itu dengan ikhlas, sekarang ibunya menyusul datang. Beberapa hari kemudian, mungkin saja giliran ayah dan adik-adik Khalid yang datang. Duniaku yang biasanya hening mendadak jungkir balik dan riuh hanya dalam beberapa hari.
**
Keberadaan Khalid dan ibunya di rumah membuatku merasa tidak nyaman. Aku tidak pernah belajar akting, jadi sulit untuk berpura-pura berperan sebagai tuan rumah yang baik seperti permintaan Nenek. Aku tidak ahli menampilkan ekspresi ramah yang tulus ketika hati dan pikiranku sedang kusut.
Aku berusaha membangun percakapan dengan ibu Khalid, tapi daftar pertanyaanku mandek setelah ibu Khalid menjawab bahwa ayah dan adik-adik Khalid baik-baik saja. Tidak mungkin berbasa basi menanyakan resep masakan karena ibu Khalid tahu bahwa meskipun aku bisa memasak, tapi level kemampuanku hanya ala kadarnya, dan aku tidak berminat meningkatkannya. Dulu, setiap kali pulang dari rumah orangtua Khalid, ibunya akan membekali kami dengan aneka lauk yang bisa dimakan seminggu.
Jadi, dengan kondisi canggung begitu, aku lebih memilih menghindari pertemuan dengan Khalid dan ibunya di luar kamar Ara. Aku tidak perlu takut terjebak dalam kondisi otak beku ketika kami semua berkumpul di kamar Ara, karena siempunya kamar punya jutaan pertanyaan yang harus dijawab sehingga suasana lebih cair.
Namun, kadang semesta tidak mendukung keinginanku. Seperti sekarang. Ara tertidur sehingga aku dan ibu Khalid tinggal berdua. Aku hendak pamit untuk kembali ke kamarku ketika ibu Khalid berkata, "Ibu mau bicara sama kamu, Sha. Di luar ya, biar nggak mengganggu Ara."
Aku mengikutinya ke ruang keluarga. Aku merasa bahwa apa yang ingin dibicarakannya bukanlah basa-basa seperti yang sejak kemarin kami lakukan, sejak kehadirannya di rumah ini. Kami akan melakukan percakapan serius dan mendalam. Percakapan yang tidak ingin aku lakukan.
"Sini, duduk di dekat Ibu, Sha." Ibu Khalid menepuk sofa di sebelahnya saat meihat aku hendak mengambil sisi terjauh darinya.
Aku menurut. Aku berusaha menerima bahwa pada satu titik, aku dan ibu Khalid akan melakukan percakapan ini. Mungkin lebih cepat lebih baik.
"Ketika seorang perempuan memutuskan menjalani kehamilan, persalinan, dan membesarkan seorang anak sendirian tanpa suami, itu berarti bahwa sakit hati dan kekecewaan yang dia rasakan sangat besar. Ibu juga perempuan, jadi Ibu bisa memahami perasaan dan keputusan kamu. Khalid bersumpah pada Ibu kalau dia tidak selingkuh. Ibu percaya itu. Tapi Ibu mengerti kalau kamu juga yakin dengan persepsi kamu setelah melihat dia bersama mantan tunangannya lebih dari sekali. Sudah hukum alam kalau kita lebih percaya mata daripada telinga. Kita bisa salah dengar, tapi nggak mungkin salah lihat. Khalid salah karena dia seharusnya ngasih tahu kamu ketika melakukan hubungan kerja dengan mantannya untuk menghindari kesalapahaman seperti yang akhirnya terjadi di antara kalian. Khalid salah karena terkesan mengentengkan masalah kalian dengan membiarkan kamu keluar dari rumah saat bertengkar. Masalah dalam rumah tangga itu harus segera diselesaikan, nggak boleh dibiarkan berlarut-larut. Khalid salah karena dia tidak tegas sebagai kepala keluarga. Dia seharusnya bisa membedakan bagaimana cara memperlakukan istrinya dengan Ibu atau adik-adiknya." Ibu Khalid menggenggam tanganku. "Ibu minta maaf karena Khalid sudah membuatmu kecewa dan sakit hati. Umur Khalid dan Aisyah dan Yasmin terpaut cukup jauh sehingga Ibu selalu meminta dia bersabar dan mengalah pada adik-adiknya. Dan dia tumbuh dengan kebiasaan seperti itu ketika berhadapan dengan keluarga. Tadinya, Ibu selalu berpikir jika sifat cinta damai dan menjauhi konfrontasi adalah modal yang bagus ketika Khalid menikah karena istrinya nggak akan mungkin dia sakiti secara fisik dan verbal. Tapi ternyata ketidaktegasannya dalam menangani masalah malah membuat rumah tangganya berantakan."
Aku merasa dadaku sesak. Mataku mendadak hangat hangat. "Apa yang terjadi di antara aku dan Khalid nggak ada hubungannya sama Ibu." Aku mengulang kalimat yang diucapkan Nenek padaku. "Mungkin memang sudah jalannya seperti ini."
"Memang Khalid yang membuat keputusan dalam hidupnya, tapi dia belajar dari Ibu tentang banyak hal. Ibu gagal mengajarkan dia menjadi suami yang menghargai istrinya, tapi tetap menjadi pemegang kendali rumah tangga sebagai pemimpin. Dia seharusnya bisa menahanmu tetatp tinggal di dalam rumah saat kalian sedang bertengkar sekalipun. Masalah rumah tangga harus diselesaikan di dalam rumah."
Nenek pernah mengatakan hal yang sama saat aku keluar dari rumah Khalid. Tapi kata-kata Nenek waktu itu tidak menohok seperti ketika mendengarnya dari ibu Khalid, sekarang ini. Mendengar Ibu Khalid sepenuhnya menyalahkan Khalid untuk kehancuran rumah tangga kami membuatku tersentil. Waktu itu aku begitu keras kepala. Aku menolak mendengar penjelasan apa pun dari Khalid karena merasa yakin seribu persen bahwa dia selingkuh. Apalagi yang dilakukan oleh seorang laki-laki saat dia bertemu setiap hari dengan mantan tunangan yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya kalau bukan selingkuh, kan? Aku lebih percaya pada apa yang aku lihat. Sekarang aku tidak yakin lagi. Mungkin Khalid memang hanya terlibat hubungan kerja dengan Adiba. Mungkin ada alasan masuk akal mengapa perempuan itu berada di rumah Khalid di pagi buta.
Ibu Khalid meremas jariku. "Terima kasih sudah memberi kesempatan pada Khalid dan Ibu untuk mengenal Ara. Ibu tahu itu bukan keputusan yang gampang untuk kamu. Ibu yakin, tanpa bantuan Khalid pun kamu bisa memberikan kehidupan yang sangat baik pada Ara."
Air mataku jatuh. Seumur hidup aku belajar menjadi orang yang kuat supaya tidak gampang merasakan kekecewaan setelah dibuang oleh orangtuaku. Disingkirkan oleh orang yang kita cintai dan seharusnya mencintai kita sangat menyakitkan. Aku tidak menyangka bahwa ternyata dalam prosesnya aku menjelma menjadi orang yang keras kepala dan egois. Aku tidak pernah menyadari hal itu sebelumnya. Keputusanku bercerai tidak hanya melukai diriku sendiri, tapi juga banyak orang. Nenek yang sudah berusia senja kembali khawatir padaku karena aku menjadi orangtua tunggal yang bertanggung jawab penuh atas Ara. Orangtua Khalid merasa bersalah karena merasa tidak cukup baik mendidik anak mereka. Dan, Ara kehilangan kesempatan untuk tumbuh dengan kasih sayang seorang ayah. Harga dari keputusan impulsifku ternyata sangat mahal.
**
Aku sedang berada di dapur ketika Khalid mendadak muncul. Dia duduk di stool, di depanku. Aku hanya melihatnya sejenak, lalu melanjutkan kegiatanku membuat cokelat panas.
"Kamu minum cokelat?" tanyaku basa basi.
Khalid menggeleng. "Oma bilang, aku bisa tidur di lantai atas restoran kalau nginap di sini. Kamu nggak keberatan? Aku nggak bisa langsung nginap di sini tanpa bilang sama kamu dulu."
Aku menghentikan gerakanku mengaduk isi cangkir. "Rumah dan restoran semuanya milik Oma. Dia berhak menyuruh siapa pun untuk tinggal di sini. Terserah kamu saja kalau mau nginap di sini saat berada di Surabaya, walaupun menurutku itu nggak pantas. Bisa menimbulkan fitnah kalau orang-orang tahu aku tinggal bersama mantan suamiku. Bangunan restoran dan rumah memang berbeda, tapi dalam pandangan orang luar, keduanya sama saja karena dimiliki Nenek."
"Kalau begitu, aku tetap pulang ke rumah kontrakan kantor aja setelah Ara tidur."
"Ada yang lebih penting untuk dibicarakan daripada urusan nginap di sini." Aku menyesap cokelat panasku sambil menatap Khalid. "Kamu harus bilang sama Ara kalau kamu sebenarnya nggak tinggal di Surabaya sehingga dia nggak berharap kalian bisa bertemu setiap hari. Kalian bisa saling telepon atau video call setiap hari, tapi hanya bisa ketemu saat kamu di Surabaya. Sekarang, Ara pasti berpikir karena kamu sudah pulang dari Kutub, maka kamu akan menetap di Surabaya."
"Proyek hotel masih lama selesai, jadi aku bisa lebih sering tinggal di Surabaya. Masih banyak waktu untuk memberi penjelasan sama Ara. Jangan sekarang, Sha. Aku nggak mau bikin dia kecewa, padahal kami baru ketemu."
Aku mengangkat bahu. "Terserah kamu saja. Toh kamu yang harus bilang sama Ara, bukan aku."
"Waktu kerjaku nggak terikat, jadi aku bisa mengantar dan menjemput Ara kalau dia sudah masuk sekolah. Boleh, kan, Sha?"
"Aku yang akan mengantar Ara karena sekolahnya searah dengan hotel. Kamu bisa menjemputnya."
"Terima kasih, Sha."
"Jangan terlalu sering mengajaknya makan di luar. Kamu harus bisa tegas bilang "tidak" kalau dia minta fast fooddan makanan manis lain. Ara pintar membujuk, jadi jangan sampai luluh sama senyum dan tatapan memelasnya."
"Pasti sulit, tapi akan aku usahakan."
"Wajib dilakukan, bukan diusahakan!" tegasku.
"Oke."
"Jangan manjakan dia dengan mainan, karena dia sudah punya banyak mainan. Dia bisa punya mainan baru sebagai reward, tapi nggak boleh dikasih timbunan mainan tanpa alasan jelas setiap hari."
"Aku belum kasih dia apa pun karena aku langsung ke rumah sakit saat datang ke sini. Jadi aku bisa membiarkannya memilih mainan sebagai hadiah pertemuan kami, kan?"
"Satu macam saja."
"Satu terlalu sedikit, Sha," protes Khalid. "Aku harus menebus banyak momen spesial Ara yang sudah aku lewatkan."
Aku menatap Khalid, memberinya sorot peringatan.
"Lima boleh ya?"
"Dua cukup. Jangan menawar lagi atau hak jemputmu aku cabut." Aku mengangkat cangkir cokelatku dan beranjak dari dapur.
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top