Tiga Belas

AKU mengetuk pintu kantor Jazlan pelan. Dia adalah bos yang berdedikasi karena masih berada di ruangannya padahal jam kerja resmi sudah berakhir setengah jam lalu. Sekretarisnya bahkan sudah pulang. Jazlan bukan tipe bos egois yang akan menahan sekretarisnya supaya tetap berada di kantor kalau dia belum pulang.

"Masuk!"

Aku menguak pintu setelah mendengar perintah itu. Aku sengaja menunggu jam kantor selesai sebelum menemui Jazlan karena apa yang akan kami bicarakan tidak berhubungan dengan produktivitasku sebagai bawahannya.

Jazlan tersenyum saat melihatku. "Belum pulang, Sha?"

Aku benci membawa urusan pribadi ke kantor, tapi setelah kejadian di restoran tadi, aku merasa lebih baik berterus terang pada Jazlan untuk menghindari suasana tidak nyaman yang bisa terjadi di kemudian hari. Kalau Khalid masih akan datang ke Surabaya, kejadian pertemuan seperti tadi mungkin saja terulang. Ketika hal itu terjadi, Jazlan sudah tahu bahwa dia sedang bersama dua orang mantan suami istri yang gagal menjaga janji untuk setia hingga akhir.

"Mas Jazlan sibuk ya?" tanyaku berbasa basi.

"Hanya baca-baca laporan aja kok." Jazlan melepaskan berkas yang dipegangnya. Dia lantas bersandar di kursi putarnya. "Duduk, Sha."

Aku duduk di depannya. Membicarakan pekerjaan kantor jauh lebih mudah daripada mengajak bos bergosip tentang masa lalu yang ingin kututupi serapat mungkin. Tapi, apa boleh buat. Untuk saat ini, aku harus menekan kesungkanan sekuat yang kubisa.

Aku mengepalkan kedua tangan. "Saya mau bicara tentang kejadian di restoran tadi, Mas."

"Oohh... itu." Jazlan tersenyum maklum. "Ribka memang ember sih. Dia kadang suka lupa kalau kamu sengaja mem-branding diri sudah nikah supaya nggak digangguin laki-laki."

Kalau kejadiannya sesederhana itu, aku tidak perlu menahan malu untuk datang menemui Jazlan.

Aku berdeham. "Khalid adalah mantan suami saya, Mas," kataku langsung pada inti percakapan. "Kami nggak berpisah baik-baik, jadi dia nggak tahu kalau aku sebenarnya sedang hamil ketika memutuskan bercerai."

Mata Jazlan melebar. Mulutnya terbuka, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia tampak lebih terkejut daripada Ribka ketika mendengar bahwa Khalid, laki-laki yang semeja dengan kami tadi adalah orang yang pernah mengikatku dengan ijab kabul.

"Dia nggak pernah tahu tentang Ara," lanjutku ketika Jazlan masih diam. "Dan saya ingin keadaannya akan terus seperti itu. Beberapa hari lalu saya bertemu dan bicara dengan Khalid. Saya membenarkan ketika dia bertanya apakah saya sudah menikah lagi. Saya juga mengatakan sudah punya anak dari pernikahan saya yang sekarang."

"Kenapa kamu nggak memberi tahu Khalid kalau kalian punya anak?" tanya Jazlan ketika akhirnya mengatasi kekagetannya. "Aku nggak bermaksud ikut campur dan menyalahkan keputusanmu, karena aku yakin kamu punya alasan sendiri. Tapi, seburuk apa pun perpisahan kalian, aku pikir Khalid berhak tahu kalau dia punya anak. Menurutku, seorang anak seharusnya nggak jadi korban dari perpisahan orangtuanya."

Aku punya banyak alasan untuk membalas pernyataan Jazlan, tetapi memilih tidak melakukannya. Aku tidak datang ke sini untuk beradu argumen dengan dia. Aku hanya perlu memberi tahu kenyataan supaya Jazlan paham kalau dia kelak mendengarku berbohong di depan Khalid, walaupun aku berdoa supaya tidak pernah terlibat dalam situasi seperti itu.

Jazlan pasti bisa membaca ekspresiku karena dia lantas menyambung kalimatnya, "Itu hanya pendapatku aja karena melihatnya sebagai orang luar sih. Nggak perlu kamu dengar dan ikuti juga karena kehidupanmu hanya kamu yang tahu. Kamu orang yang rasional, jadi aku yakin semua keputusan yang kamu ambil di masa lalu pasti sudah melalui pemikiran yang matang."

Sayangnya aku tidak seperti itu. Di masa lalu ataupun masa kini, tidak semua keputusan yang aku ambil semata berdasar logika. Meskipun tidak banyak, ada keputusan penting yang aku ambil secara impulsif berdasarkan emosi. Bagaimanapun, aku seorang perempuan yang terkadang mengandalkan intuisi ketika membuat penilaian dan mengambil keputusan.

"Khalid akan lumayan sering datang ke Surabaya sampai pembangunan hotel selesai." Jazlan tampaknya tahu aku tidak ingin membahas masa lalu dan keputusan yang aku ambil dengannya. "Kamu mau aku menjawab bagaimana seandainya dia bertanya tentang kamu?"

Khalid sudah berjanji untuk tidak menanyakan apa pun tentang aku pada Jazlan, tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Dia juga pernah berjanji untuk menerima dan menjagaku sebagai pasangan hidup di hadapan Tuhan, tapi dia toh tidak bisa menepati janji itu.

"Mas hanya perlu bilang kalau Mas nggak tahu banyak tentang kehidupan pribadi saya. Itu saja."

Jazlan mengangguk. "Baiklah."

"Terima kasih, Mas."

**

Ketika melihat spion, aku menyadari jika mobil di belakangku sudah cukup lama mengekoriku. Seharusnya aku tidak perlu curiga karena pengemudi mobil itu bisa saja memang satu arah denganku. Tapi karena tindak tanduk pengemudi mobil itu mencurigakan, aku tetap merasa waswas. Dia ikut mengambil jalur lambat ketika aku berpindah ke kiri dan ikut memacu kecepatan saat aku berada di jalur cepat.

Aku bukan anggota ormas atau partai politik yang punya banyak musuh sehingga harus diikuti pergerakannya. Aku juga bukan agen BIN yang memegang rahasia negara yang diinginkan negara lain. Jadi aku hanya punya satu kecurigaan kalau mobil di belakangku memang benar-benar membuntutiku. Khalid.

Dia memang sudah berjanji tidak akan mencari tahu tentang aku melalui Jazlan atau orang lain di kantor. Tapi tidak berarti dia akan menyimpan rasa penasaran begitu saja.

Kalau dia benar-benar Khalid, aku tidak suka caranya penuntaskan rasa ingin tahu. Untuk membuktikan dugaanku, aku segera menepikan mobil di minimarket yang pertama kutemui setelah keluar dari tol. Aku masuk di toko itu selama beberapa menit untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan.

Setelah keluar dari toko, aku melihat mobil hitam yang membuntutiku itu parkir tidak jauh dari toko. Merasa kecurigaanku benar, aku langsung berjalan cepat menghampirinya. Kalau ternyata salah, aku tinggal minta maaf saja dan langsung kabur. Simpel.

Tapi seperti yang sudah kuduga, aku menemukan Khalid duduk di kursi penumpang, di sisi sopir. Beraninya dia membuntutiku!

"Keluar!" bentakku saat dia menurunkan kaca jendela yang kuketuk keras.

Khalid menurut. Dia langsung turun dari mobil.

"Kita bicara di sana." Aku menunjuk mobilku. Bagaimanapun marahnya aku karena diikuti seperti kriminal, aku tidak mau membuat keributan di tengah jalan. Orang zaman sekarang suka mencampuri urusan orang lain yang tidak mereka kenal. Bisa-bisa, perdebatanku dengan Khalid berakhir masuk Tiktok dengan kutipan yang aneh-aneh. Amit-amit kalau hal itu sampai terjadi.

"Masuk!" perintahku begitu kami sampai di sisi mobilku. Khalid menurut. Aku masuk melalui pintu sopir setelah dia berada di dalam mobil. Aku mengatur napas beberapa puluh detik sebelum bertanya, "Kenapa kamu ngikutin aku?"

"Aku sudah janji nggak akan bertanya-tanya tentang kamu di kantormu," jawab Khalid kalem. Emosiku yang menyala-nyala sama sekali tidak menularinya. "Jadi aku harus mencari tahu sendiri di mana kamu tinggal karena kamu pasti nggak akan bilang kalau aku tanya."

"Untuk apa kamu tahu alamatku?" geramku. "Aku sudah bilang kalau aku nggak mau berurusan sama kamu lagi. Aku bukan tipe orang yang akan berteman lagi dengan mantan suamiku. Mungkin ada pasangan cerai yang bisa melakukannya, tapi aku bukan dari golongan mereka yang berhati malaikat itu."

"Kamu mungkin saja tinggal bersama Nenek," jawab Khalid masih dengan nada tenangnya yang menyebalkan.

Aku jadi terdengar seperti orang gila karena sibuk mengomel sendiri tanpa tanggapan berarti.

"Memangnya kenapa kalau aku tinggal sama Nenek?"

"Aku perlu ketemu dan bicara sama Nenek. Aku dulu melamarmu baik-baik, tapi nggak punya kesempatan untuk bicara sama Nenek saat kamu minta cerai, ataupun setelahnya."

"Nggak usah bohong gitu," sindirku. "Kamu pernah ketemu Nenek saat aku sudah keluar dari rumah kamu. Nenek yang bilang sama aku."

Khalid terdiam sejenak. "Percakapan kami waktu itu isinya akan berbeda seandainya aku tahu kalau pernikahan kita memang benar-benar akan berakhir, Sha. Aku nggak pernah minta maaf sama Nenek karena sudah mengecewakan harapan yang dia percayakan sama aku."

Aku ingin mengatakan kalau orang yang paling dia kecewakan bukanlah Nenek, tapi aku. Aku yang dia khianati. Tapi mengatakan hal itu hanya akan memberi kesan kalau aku belum ikhlas melepas masa lalu.

"Nenek nggak membutuhkan maaf kamu, jadi kamu nggak perlu ketemu dia. Kami sudah hidup tenang dan jauh dari masa lalu. Tolong jangan ganggu kami lagi. Seharusnya itu nggak sulit, kan?"

Khalid tidak menjawab.

"Kamu harus berjanji untuk berhenti membuntuti aku, apalagi bertemu Oma!"

Khalid diam saja. Artinya jelas. Dia tidak mau melakukannya.

"Kenapa harus dibikin rumit sih?" Aku menurunkan nada suara. "Kita sudah lama bercerai. Kamu sudah nggak punya kewajiban apa pun padaku dan Nenek. Kamu nggak perlu repot-repot memikirkan perasaan nggak enak karena sudah membuat pernikahan kita berantakan. Sudah sangat terlambat untuk memperbaiki citramu sebagai orang baik di mata Nenek. Untuk apa juga? Aku sudah melupakan kegagalan pernikahan kita. Sudah move on juga."

Khalid masih diam.

"Aku cape banget habis kerja. Bisa kan, kamu nggak usah ngajak aku main kucing-kucingan di jalan raya karena aku nggak akan pulang ke rumah kalau tahu kamu masih mengikutiku."

"Baiklah," kata Khalid. "Aku akan balik ke hotel. Kamu bisa pulang dengan tenang." Dia turun dari mobilku dan kembali ke mobil sewaannya.

Aku menatap punggungnya cemberut. Dia tidak mau berjanji untuk berhenti membuntutiku. Artinya, dia mungkin saja akan melakukannya lain kali. Apa sih maunya?

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top