Sembilan Belas

DALAM perjalanan pulang, percakapan dengan Jazlan kembali berputar dalam kepalaku. Sangat mudah menolak pernyataan cintanya kalau dia bukan bosku dan aku tidak sedang berusaha melindungi keberadaan Ara dari Khalid. Tapi karena dia bosku, aku tidak bisa menolak mentah-mentah karena akan terkesan kasar. Aku merasa perlu memikirkan masak-masak kalimat diplomatis yang akan kuucapkan untuk menolaknya. Penolakan selalu menimbulkan kekecewaan, tapi cara penyampaiannya akan membuat level kecewanya berbeda. Aku harus menjaga perasaan Jazlan karena kami akan terus bertemu setiap hari selama kami masih bekerja di tempat yang sama.

Masalahnya, kehadiran Khalid membuatku sedikit goyah untuk menolak Jazlan. Aku tidak pernah menganggap diriku sebagai seorang oportunistis, tapi kali ini aku benar-benar memikirkan keuntungan yang bisa kudapat seandainya bersedia menjalin hubungan dengan Jazlan. Bukan keuntungan secara materi karena aku tidak butuh itu. Aku lebih membutuhkan perlindungan dari status yang akan kudapat seandainya berkomitmen dengan Jazlan. Memang egois karena aku terkesan memanfaatkan Jazlan. Tapi bukankah kita selalu egois ketika sedang berusaha mempertahankan hal terpenting dalam hidup kita? Demi Ara, aku bersedia melakukan apa pun.

Percakapan dengan Jazlan tadi berakhir ngambang. Dia tidak meminta aku menjawab pernyataannya saat itu juga. Dia bahkan tidak memberi batasan waktu untuk mendapatkan jawaban. Dia seperti hanya ingin aku mendengar pernyataan perasaannya untuk dipertimbangkan. Dan sekarang, aku benar-benar mempertimbangkan untuk memanfaatkannya. Iya, memang jahat. Aku mengakui hal itu.

Aku baru memarkir mobil ketika Mbak Azkia tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia seperti sedang menungguku.

"Ada Mas Khalid di restoran!" lapornya cepat sebelum aku bertanya.

"Ngobrol sama Nenek?" tebakku tidak sabar.

Mbak Azkia mengangguk. "Tapi Ara sama Mbak Lastri kok. Aku udah bilang supaya Ara jangan sampai dibiarin keluar rumah, apalagi ke restoran."

Kemarahanku spontan terbit. Di Surabaya ada ribuan tempat makan yang bisa Khalid pilih, tapi dia lagi-lagi malah ke sini. Apa sih maunya orang itu?

Kali ini aku tidak ingin bersembunyi seperti pengecut lagi. Bukan aku yang seharusnya gentar atau malu. Bukan aku yang berselingkuh dan membuat pernikahan kami berakhir di pengadilan agama.

"Aku akan ke restoran!" Aku membanting pintu mobil dan bergegas ke restoran melalui pintu belakang. "Jaga jangan sampai Ara datang ke sini," kataku pada Mbak Azkia yang mengekor. "Jangan sampai Mbak Lastri lalai."

Tanpa menunggu jawaban Mbak Azkia, aku menerobos dapur restoran dan langsung ke ruang depan, tempat Nenek dan Khalid sedang duduk. Untunglah sekarang belum masuk waktu makan malam sehingga pengunjung restoran hanya ada beberapa orang saja. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin menjadi tontonan orang-orang kalau tidak bisa menahan emosi. Restoran Nenek adalah tempat makan, bukan tempat syuting sinetron tanpa naskah.

Percakapan Khalid dan Nenek terhenti saat mereka melihat kehadiranku.

"Aku mau bicara sama Khalid berdua aja," kataku pada Nenek, tapi pandanganku tertuju pada Khalid.

Nenek menggeser kursinya dan berdiri. "Bicarakan baik-baik. Masalah kalian sebenarnya sudah lama selesai. Seharusnya emosi kalian sudah reda."

Kalimat itu jelas ditujukan padaku karena aku yang emosional, bukan Khalid. Tapi emosiku ada alasannya. Kalau tidak ada Ara yang harus aku lindungi, kehadiran Khalid tidak akan terlalu menggangguku.

Setelah Nenek berlalu, aku duduk di kursinya, berhadapan dengan Khalid.

"Apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?" tanyaku tanpa basa basi. "Kemarin kamu sudah ketemu Nenek. Sekali udah cukup. Aku yakin kamu sudah mengatakan apa pun yang ingin kamu sampaikan padanya. Kamu nggak perlu bolak-balik ke sini. Aku nggak suka dan merasa terganggu. Kamu mungkin suka menjalin hubungan baik dengan perempuan yang punya sejarah dengan kamu, tapi aku tidak. Karena itu aku memilih resign dari pekerjaanku di Jakarta dan pindah ke sini. Aku lebih suka memulai hidup baru di tempat yang jauh dari masa lalu."

"Cincin itu memang lebih cocok di jari kamu daripada di jari Nenek." Alih-alih merespons kemarahanku, Khalid menunjuk cincin di jariku. Artinya jelas. Dia sudah tahu kalau aku berbohong tentang pernikahan imajinatifku.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia mengenali cincin itu sebagai cincin Nenek karena aku baru mengambilnya dari koleksi Nenek setelah kami di Surabaya. Dulu, Nenek memang kadang-kadang memakai cincin itu kalau ada acara penting. Aku pikir laki-laki tidak terlalu memperhatikan detail. Apalagi perhiasan. Lagi-lagi, aku salah karena meremehkan ketelitian Khalid.

Sial! Bisa jadi Khalid sudah tahu sejak awal saat melihat cincin ini. Dia hanya pura-pura percaya aku sudah menikah karena tidak ingin berdebat denganku. Kalau benar begitu, dia pasti tertawa dalam hati saat melihat sandiwara yang kumainkan bersama Ribka dan Jazlan saat kami makan bersama tempo hari.

Aku menghela napas panjang, berusaha menahan diri supaya tidak berteriak sebal di depannya. "Kamu mau aku berlutut dan memohon supaya kamu berhenti mengganggu dan benar-benar pergi dari hidupku dan keluargaku? Aku bisa melakukan itu. Di sini. Sekarang."

"Kamu berubah." Khalid lagi-lagi tidak menanggapi kata-kataku. "Dulu kamu nggak seemosional sekarang."

Dulu aku tidak punya anak yang harus kusembunyikan dari ayahnya.

"Mungkin karena dulu aku mengira hidupku sempurna karena berhasil memilih suami yang aku pikir akan sama setianya denganku. Kita bisa berubah jadi emosional dan sinis ketika menyadari bahwa ekspektasi kita ternyata bisa dihancurkan oleh kenyataan."

"Aku nggak pernah selingkuh," kata Khalid tenang, seolah kami sedang membahas menu yang disajikan di restoran Nenek. "Kamu saja yang nggak mau dengar penjelasanku dan langsung kabur dari rumah. Waktu itu aku nggak menahan kamu karena aku pikir kamu butuh waktu untuk meredakan kemarahanmu sebelum kita akhirnya bisa bicara baik-baik. Tapi kamu malah tiba-tiba pergi ke Australia dan hanya mengirim pengacara untuk mengurus perceraian kita. Aku nggak bilang kalau aku nggak salah karena bertemu Adiba di belakangmu. Tapi pertemuan kami nggak ada hubungannya dengan masa lalu yang belum selesai. Ka—"

"Kita sudah bercerai," potongku tidak sabar. "Kamu nggak perlu menjelaskan apa pun sekarang. Sudah nggak relevan lagi. Kamu bisa bilang apa pun untuk membersihkan nama baikmu, tapi aku lebih percaya pada mataku sendiri. Aku lihat apa yang kalian lakukan di restoran."

"Kamu melihat Adiba memindahkan sayuran yang nggak dia suka di piringku. Aku nggak mengambil apa pun dari piringnya. Sama seperti yang kamu dan Jazlan lakukan."

Aku menatapnya berang. Bisa-bisanya dia menyamakan apa yang dia dan Adiba lakukan dengan aku dan Jazlan.

"Jadi menurutmu, aku berlebihan karena sakit hati sebab suamiku berbohong padaku atas nama klien untuk makan siang setiap hari dengan mantan tunangannya?" semburku jengkel. "Menurutmu, aku harus senang karena suamiku menghabiskan sisa makanan mantannya supaya tidak mubazir?"

"Maksudku bukan seperti itu, Sha. Aku hanya mem—"

Aku mengibaskan tangan. "Ini beneran sudah nggak relevan untuk dibahas dan kita pertengkarkan sekarang. Pergi saja dari sini dan jangan kembali lagi. Kalau pengin makan, kamu bisa cari restoran lain. Kamu juga nggak usah datang mencari Oma lagi. Menemui dia sama saja dengan menggangguku." Aku menggeser kursi, berdiri, dan berderap meninggalkan Khalid.

Nenek sedang duduk santai sambil membaca buku di ruang tengah saat aku masuk ke rumah. Dia mengangkat kepala saat mendengar langkahku.

"Oma pasti sudah punya nomor telepon Khalid," kataku. "Bilang sama dia supaya kalian bertemu di tempat lain saja kalau memang Oma mau ketemu dia. Minta dia untuk berhenti datang ke sini biar aku nggak waswas karena takut dia ketemu sama Ara."

Nenek hanya menatapku tenang, tidak menjawab. Ketenangan itu mengingatkanku pada Khalid, dan rasanya menyebalkan.

**

Nenek, Mbak Lastri, dan Mbak Azkia ada acara keluarga di Malang sehingga tugas untuk mengantar dan menjemput Ara hari ini berada di tanganku.

"Nggak usah khawatir ketemu Khalid," kata Nenek tadi subuh sebelum masuk mobil yang akan mengantarnya ke Malang. Dia seperti membaca pikiranku. "Pagi ini dia balik ke Jakarta. Tadi malam dia ngirim pesan, pamit sama Oma. Dia baru akan kembali dua mingguan lagi. Dia juga nggak akan nginap di hotel tempat kamu kerja lagi karena udah ngontrak rumah untuk dia dan anggota timnya saat mereka datang ke Surabaya. Katanya, biaya operasionalnya lebih murah kalau begitu."

Aku diam saja. Aku tidak bisa memaksa Nenek untuk mengikuti kemauanku memutus hubungan dengan Khalid. Aku sendiri yang mengatakan jika mereka bisa bertemu asal tidak di restoran Nenek untuk menjaga Ara dari pantauan Khalid.

Masalahnnya, rapat yang aku ikuti sepertinya belum akan selesai menjelang Ara pulang sekolah. Aku lantas mengirim pesan pada Ribka, minta tolong untuk menjemput Ara dan membawanya ke hotel. Syukurlah Ribka tidak sedang berkutat di studio. Dia segera menjawab pesanku dan mengatakan akan segera ke sekolah Ara.

Persis setelah Jazlan menutup rapat, nada notifikasi terdengar dari ponselku. Ribka.

Aku sama Ara udah ada di lobi. Kamu nyusul ke sini ya. Kami mau ngemil di kafe di bawah.

Oke. Otw.

Aku mampir ke ruanganku untuk menyimpan laptop, berkas, dan buku catatan sebelum bergegas menuju lift. Aku harus sudah sampai di kafe sebelum Ara berhasil membujuk Ribka membiarkannya memesan banyak camilan manis. Anakku akan mengalami obesitas kalau dibiarkan berada dalam pengasuhan Ribka yang tidak pernah tega mengatakan "tidak" ketika Ara meminta sesuatu sambil tersenyum manis dengan tatapan yang sengaja dibuat polos. Ara pintar menyetir orang lain untuk mengikuti keinginannya.

Saat keluar dari lift, langkahku terhenti. Aku memang melihat Ribka dan Ara. Tapi mereka tidak berdua. Ada Khalid di antara mereka. Aku segera masuk kembali ke lift sebelum Ara berteriak saat melihatku.

Dadaku berdebar kencang. Bukankah Khalid seharusnya sudah terbang ke Jakarta tadi pagi? Nada notifikasi terdengar. Aku membacanya tergesa.

Jangan turun sekarang. Ada Khalid di lobi. Aku akan nemenin Ara ngemil. Setelah itu dia aku bawa ke rumahku. Nanti aku antar Ara pulang kalau kamu sudah di rumah. Kabarin aja.

Aku menggigit kuku, tegang.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top