Lima Belas

RIBKA tidak muncul sendiri di hari Minggu. Ada Jazlan yang mengiringinya masuk ke ruang tengah. Aku mengiakan ketika dia bilang akan menjemputku bersana Ara karena mengira dia datang sendiri. Kalau tahu Ribka bersama Pak Bos, aku pasti mengusulkan kami bertemu di mal saja.

"Dia yang mau ikut," jawab Ribka membela diri ketika aku bergumam menanyakan kenapa Jazlan bersamanya. "Kebetulan dia lagi ada di rumah, bahas bisnis sama Papa waktu aku mau ke sini. Katanya daripada bengong kalau balik ke rumahnya, dia lebih baik ikut. Dia bilang sekalian bayar utang traktiran sama kamu dan Ara. Emang pernah janjian mau keluar bareng?"

Aku langsung memelotot. "Ya, enggaklah. Masa sih ada bawahan yang berani ngajak keluar bos? Apalagi sambil bawa anak. Aku belum segila itu."

"Nggak usah nge-gas itu, Buk. Aku kan cuman nanya aja. Tiap kali ngomongin Jaz, yang kamu sebut-sebut cuman atasan-bawahan melulu. Bosan dengarnya. Lagian emangnya kenapa kalau kalian keluar bertiga? Kamu dan Jaz statusnya vertikal kalau di kantor aja. Di luar kan selevel jadi teman. Jaz juga akrab sama Ara."

"Om Jaz... Om Jaz...!" Ara berteriak kegirangan saat melihat Jazlan. Dia langsung bergelayut di lengan Jazlan yang mengusap kepalanya.

"Apa kabar, Ara Cantik?"

Mata Ara semakin bersinar. "Aku baik kok. Om. Terima kasih. Kabar Om Jaz gimana? Kata Bu Guru, kalau ada yang nanyain kabar, kita harus nanya baik biar sopan," katanya manis.

Jazlan tertawa. "Kabar Om Jaz juga baik banget. Terima kasih udah nanyain juga."

"Om Jaz, kok Om Jaz nggak jadi nikah sih hari ini? Sekarang kan hari Minggu. Gara-gara Om Jaz nggak jadi nikah, aku sama Mommy harus pergi makan es krim ke mal."

Aku tercekat mendengar kata-kata Ara. Astaga! Aku tidak menyangka dia akan blak-blakan menanyakan hal seperti itu kepada Jazlan.

Jazlan menatap Ara bingung. "Siapa yang bilang kalau Om Jaz mau nikah hari ini?"

"Aku yang bilang!" jawab Ara cepat. "Aku udah bilang sama Mommy supaya ngasih tahu Om Jaz biar nikahnya hari Minggu biar aku nggak usah bolos sekolah kalau mau ke nikahan Om Jaz."

Jazlan tersenyum lebar. "Terus, Om Jaz nikahnya sama siapa dong?"

Ara mengangkat bahu. "Nggak tahu. Memangnya Om Jaz mau nikah sama siapa?" Dia balik bertanya.

"Om Jaz juga nggak tahu. Menurut Ara, Om Jaz cocok nikahnya sama siapa?"

Aku bergegas menghampiri Ara supaya dia tidak melanjutkan obrolan absurdnya dengan Jazlan.

"Ara, rambutnya mau diikat aja atau dikepang, Sayang?" Aku mencoba mengalihkan perhatian Ara padaku.

Ara menoleh padaku. "Diikat aja, Mom. Nanti pakai ikat rambut Minnie Mouse yang dikasih Tante Ribka ya." Dia kembali pada Jazlan. "Kalau Om Jaz nikahnya sama Mommy aja, gimana? Mommy juga udah lama nggak nikah. Kata Mommy, waktu dia nikah dulu aku belum ada. Jadi aku nggak bisa ikutan makan es krim. Kalau Mommy sama Om Jaz nikah sekarang, aku kan bisa makan es krim yang banyak."

"Maaf, Mas." Aku menatap Jazlan menyesal. Aku tidak ingin dia menganggap Ara kurang ajar karena menyodorkan ibunya sebagai calon istri bos hanya demi sesuap se krim. "Ara belum ngerti konsep pernikahan."

Jazlan tertawa kecil. Tangannya kembali mengusap rambut Ara yang panjang. "Kalau Om Jaz nikah sama Mommy Ara, berarti Om Jaz jadi papa Ara dong. Memangnya Ara mau kalau Om Jaz jadi papa Ara?"

"Mau... mau!" Ara melonjak kegirangan. "Nikahnya hari ini di toko es krim?" tanyanya penuh semangat. "Kalau es krim di situ beneran enak, Om Jaz sama Mommy bisa sering-sering nikah di situ."

Gelak Ribka meledak. "Nikahnya tiap minggu ya, Ara?"

Ara mengangguk mantap. "Tante Ribka boleh ikutan kok. Kita makan es krim yang banyaaak, sampai perut kita gendut kayak badut."

Aku menatap Ribka sebal. Bukannya membantu mengalihkan perhatian Ara dari imajinasi liarnya, Ribka malah menyemangati.

"Maaf, Mas." Aku kembali mengulagi permintaan maaf pada Jazlan, lalu menuntun Ara ke kamarnya dengan dalih untuk mengikat rambut.

Sambil menyisir rambut Ara, aku mencoba memberikan pengertian dengan kata-kata yang sederhana pada Ara, "Om Jaz dan Mommy nggak bisa menikah karena kami bukan pasangan, Sayang. Orang hanya menikah sekali seumur hidup sama pasangammya."

Ara masih terlalu kecil untuk diberi penjelasan bahwa orang bisa menikah berkali-kali dan berganti pasangan semudah mengganti merek sabun mandi. Perjalanan hiduplah yang kelak akan membuat Ara paham bahwa roman tidak sesimpel konsep dongeng yang dimulai dengan cute meet, proses konflik, dan kemudian berakhir dengan penutup yang bahagia. Aku dan Ara mungkin akan membicarakan tentang hidup yang bisa saja pahit dan memutarbalikkan dunia yang sebelumnya semanis kembang gula, tapi itu nanti. Belasan atau malah puluhan tahun ke depan. Sekarang, aku ingin Ara merasa optimis dengan keindahan dunia yang ada dalam imajinasinya.

"Pasangan itu seperti sepatu ya, Mommy?" tanya Ara. "Eh, sandal juga ada pasangannya. Terus, piama aku juga ada pasangannya. Di sekolah, Bu Guru juga sering nyuruh kita berpasangan kalau mau baris atau main." Dia bertepuk tangan. "Aku tahu, pasangan itu berarti dua ya? Ada temannya!"

Aku memandang Ara melalui cermin dan tersenyum melihat antusiasmenya. "Iya, Sayang. Berpasangan itu berarti ada temannya. Teman yang cocok. Kita nggak bisa pakai sepatu atau sandal yang model dan warnanya berbeda. Biasanya kalau sandal atau sepatu kita rusak atau hilang sebelah, yang masih bagus pun terpaksa harus kita buang. Bisa aja sih kalau kita maksain pakai sandal itu dengan sandal model lain, tapi kelihatannya nggak akan bagus. Rasanya juga nggak nyaman."

"Ooh... Om Jaz sama Mommy itu kayak sandal yang warnanya beda ya?"

Aku senang Ara akhirnya paham dengan kalimatku yang kedengarannya terlalu kompleks untuk anak seumurnya.

"Iya, Sayang. Om Jaz sama Mommy itu seperti sandal yang warnanya beda, yang kelihatan aneh kalau dipakai bersamaan karena bukan pasangan yang cocok."

"Ooh... nanti deh aku bilangin Om Jaz supaya nikahnya sama Tante Ribka aja. Tetap hari Minggu sih biar aku nggak usah bolos sekolah."

Aku hanya bisa menarik napas panjang. Salahku juga karena berharap Ara bisa memahami apa yang aku jelaskan panjang lebar. Logikanya belum menjangkau area pemahaman seperti itu.

**

Aku dan Ribka duduk di gerai kopi, sementara Jazlan bersama Ara di area bermain anak yang tidak jauh dari situ.

"Biar aku aja yang nemenin Ara," kata Jazlan tadi, saat aku bersiap masuk arena bersama Ara. "Pengin flashbackke masa lalu. Sekalian mau lihat model game anak zaman sekarang." Dia menuntun Ara yang melompat-lompat kegirangan sehingga aku terpaksa berbalik untuk bergabung bersama Ribka.

Sebenarnya aku merasa tidak enak membiarkan Jazlan melakukan kewajibanku menemani Ara, tapi dia tampak sama bersemangatnya dengan Ara. Aku tidak mengikuti mereka karena khawatir Jazlan merasa aku tidak percaya dia bisa mengawasi Ara dengan baik.

"Apakah Khalid dulu beneran selingkuh?"

Pertanyaan Ribka yang tanpa basa basi itu membuatku mengalihkan perhatian dari arena bermain yang berisik.

"Setelah ketemu dia secara langsung, kamu jadi meragukan kejujuranku?" Aku tidak bisa menyalahkan Ribka yang tertipu penampilan luar Khalid yang tenang karena aku juga pernah berada di posisinya.

Aku pikir Khalid adalah pilihan paling aman untuk dijadikan suami. Pepatah lama yang mengatakan bahwa air tenang itu menghanyutkan ternyata benar. Permukaan air yang tak menampakkan riak bisa saja menyembunyikan arus yang deras di bawahnya. Jangan pernah percaya pada kemasan yang sengaja diciptakan untuk menarik perhatian. Selama mengenal Khalid, aku tidak pernah punya keraguan tentang kebaikan, ketulusan, kepedulian, dan kesetiaannya sebagai pasangan. Semua kepercayaan yang kusematkan padanya itu runtuh saat aku memergokinya serong di belakangku.

"Bukan begitu." Ribka mencebik. "Hanya saja, apa yang aku bayangkan saat dengerin kamu cerita tentang Khalid berbeda jauh dengan apa yang aku lihat. Biasanya intuisiku tentang kepribadian orang jarang salah."

Aku belum lama berpisah dengan Khalid saat bertemu Ribka lagi. Waktu itu kemarahan dan kekecewaanku karena dicurangi masih sangat kental. Mungkin caraku menggambarkan Khalid memang terlalu berlebihan.

"Khalid memang baik." Kali ini aku berusaha obyektif. "Mungkin aku saja yang sial karena menikah dengan orang yang belum melupakan masa lalunya. Mungkin apa yang orang-orang bilang bahwa cinta bisa membuat seseorang menabrak standar moral itu benar. Aku nggak pernah menduga bahwa Khalid akan selingkuh karena sifat dan karakternya nggak menunjukkan kalau dia bisa menyakiti seseorang dengan sengaja dan sadar. Tapi dia melakukannya padaku ketika mantan tunangannya kembali."

"Khalid mengakui kalau dia selingkuh?" tanya Ribka.

Aku menatapnya bingung. "Aku melihatnya bersama perempuan itu. Aku percaya mataku. Aku nggak perlu pengakuannya."

"Bisa saja itu hanya pertemuan biasa antara dua orang teman lama. Kebetulan itu bukan hal yang mustahil."

Aku tertawa miris tanpa suara. "Aku percaya kebetulan kalau hanya terjadi sekali. Tapi kalau pertemuan itu terjadi setiap hari, aku yakin itu direncanakan. Perempuan itu menjemput Khalid di kantornya. Itu lebih cocok disebut janjian daripada kebetulan." Aku lalu mengibaskan tangan. "Nggak usah dibahas. Udah nggak ada gunanya juga. Fokusku sekarang hanya satu. Menjaga supaya Khalid nggak tahu tentang Ara. Aku masih harus terus deg-degan sampai pembangunan hotel baru selesai karena Khalid nggak akan mendadak datang lagi ke Surabaya seperti sekarang."

**

Aku sedang mengambil camilan di kulkas ketika Mbak Azkia menghambur masuk ruang makan.

"Mbak Misha...." Napasnya memburu. Dia tampak pucat pasi, seperti baru saja berpapasan dengan hantu.

"Ada apa apa, Mbak Kia?" tanyaku penasaran. Nenek sedang berada di kamar Ara, sehingga Mbak Azkia tidak mungkin panik karena terjadi sesuatu pada Nenek.

"Di restoran ada Mas Khalid!"

Piring puding di tanganku pecah berhamburan ketika beradu dengan ubin.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top