Enam

PADA hari keenam berada di Australia, tubuhku terasa tidak enak. Pegal di pundak dan punggung masih bisa kutahan, tapi mualnya benar-benar menyiksa. Minum air putih yang menjadi rutinitasku saat bangun tidur membuatku berakhir di toilet. Aku memuntahkan semua isi perutku. Benar-benar semuanya, karena aku muntah sampai asam lambungku yang kecut terasa naik sampai ke leher. Air mataku ikut keluar. Aku belum pernah merasakan masuk angin sehebat itu.

"Kalau kamu sakit, kita istirahat aja dulu di sini." Nenek tiba-tiba sudah berada di kamar mandi, mengurut tengkukku.

"Hanya masuk angin, Oma. Perjalanan dari Torquay ke Allansford lumayan jauh." Aku dan Nenek memilih rute yang tidak biasa untuk jalan-jalan kali ini. Kami tidak sekadar mengunjungi kota-kota yang besar seperti Sydney atau Melbourne saja untuk menikmati pusat kota dan mal, tetapi juga menyusuri tempat wisata yang menjual pemandangan alam. Beberapa hari ini, aku dan Nenek menjajal berbagai tempat wisata di Victoria. Kemarin kami berkendara di Great Ocean Road. Kami mampir di beberapa tempat ikonik di sepanjang rute itu sehingga memakan waktu lumayan lama.

Aku tidak menduga jika aku kalah kuat dari Nenek. Padahal, awalnya aku menolak ide Nenek saat dia mengusulkan wisata berbau petualangan karena khawatir dengan kondisi fisiknya. Kalau dilihat dari penampilan, Nenek tampak seperti ibu-ibu sosialita berusia pertengahan lima puluhan, tapi usia sebenarnya belasan tahun lebih tua daripada penampilannya. Aku tidak ingin usaha Nenek menghiburku setelah memutuskan berpisah dengan Khalid malah membuat kesehatannya drop. Ternyata aku kalah tangguh.

"Hari ini kita nggak usah ke mana-mana," kata Nenek sambil terus mengurut tengkukku. "Kita istirahat aja di hotel. Kalau kamu udah baikan, kita keliling Melbourne aja, seperti turis Indonesia pada umumnya."

Aku mengangguk. Aku memang hanya ingin berbaring dan bergelung di dalam selimut yang nyaman. Sinar matahari yang ramah tampak terlalu menyilaukan untuk mataku. Setelah tidur selama dua jam, perasaanku jauh lebih baik. Aku dan Nenek kemudian berjalan-jalan, makan di restoran dengan rating dan review bagus yang kami temukan melalui aplikasi, serta berbelanja oleh-oleh untuk teman-teman Nenek di salah satu lembaga bantuan hukum di Surabaya.

Nenek memang sudah pensiun, dalam arti bahwa dia sudah tidak menerima kasus untuk dikerjakan dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan itu, tapi dia tidak benar-benar berhenti menjadi seorang advokat. Dia masih rajin menyambangi lembaga bantuan hukum yang sifatnya nirlaba, yang menyediakan bantuan hukum pada masyarakat kecil yang tidak mampu untuk membayar pengacara ketika terlibat masalah hukum.

Perasaan nyaman yang kurasakan setelah pagi yang buruk bertahan sampai aku akhirnya tidur di malam hari. Tapi keesokan harinya, perasaan mual yang persis seperti kemarin kembali menyerangku.

Nenek yang mengulurkan segelas air hangat menatapku saksama ketika kami sudah keluar dari kamar mandi. Nenek duduk di kursi, sedangkan aku kembali ke tempat tidur dan bersandar pada tumpukan bantal.

"Kapan terakhir kali kamu haid?" tanya Nenek hati-hati.

Aku mengerti arti pertanyaan itu. Gelas di tanganku bergoyang sehingga isinya tertumpah sedikit di lantai. Nenek segera mengambil gelas itu dari tanganku dan meletakkannya di atas nakas. Gerakan tanganku yang tidak terkontrol sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Nenek.

Jadwal menstruasiku biasanya teratur. Kadang-kadang maju atau mundur beberapa hari ketika aku sedang lelah atau sedikit stres saat pekerjaan sedang menumpuk. Tapi maju atau mundurnya jadwal menstruasi itu tidak pernah sampai seminggu. Aku hanya tidak memikirkan kemungkinan seperti yang sekarang ada di kepala Nenek karena dua minggu setelah meninggalkan rumah Khalid, aku sempat melakukan tes saat menyadari aku tidak haid sesuai jadwal. Hasilnya negatif. Aku pikir stresku yang lumayan berat berpengaruh pada produksi hormon-hormon kewanitaanku. Aku memercayai hal itu setelah membaca beberapa artikel kesehatan yang dikelola oleh para dokter.

Sekarang aku menyadari bahwa aku tidak sepintar yang selama ini aku pikir. Artikel itu membahas suatu masalah secara umum. Aku seharusnya melakukan tes ulang setelah beberapa hari kemudian, bukannya percaya bahwa produksi hormon estrogen dan progesteronku kacau karena stres sehingga aku mengalami amenore sekunder dan menstruasiku terhenti sementara. Benar-benar tolol.

"Jangan panik dulu," ujar Nenek menghiburku. Dia pasti bisa membaca sorot ketakutan di mataku. "Mungkin aja memang hanya mual biasa. Kita akan tahu hasilnya setelah kamu tes urine."

Tapi kami berdua tidak kaget lagi saat hasil tes urine menunjukkan bahwa aku positif hamil. Beberapa bulan lalu, ini adalah kabar gembira yang selalu aku tunggu-tunggu. Aku kerap kecewa saat mendapati bahwa aku haid sesuai jadwal.

Tidak lama setelah merayakan hari jadi pertama pernikahan kami, aku mengajak Khalid memeriksakan diri ke dokter obgyn untuk mengetahui kenapa aku belum hamil.

Karena kami memulai hubungan dari pertemanan, kami baru terlibat hubungan fisik yang intim setelah menikah. Awalnya memang sedikit canggung, tapi teori yang mengatakan bahwa gairah bisa terpantik dengan mudah ketika sepasang laki-laki dan perempuan berada di tempat tidur yang sama memang benar adanya. Bercinta kemudian menjadi rutinitas yang menyenangkan. Rasanya aneh saja dengan frekuensi bercinta yang menurutku sering, tetapi aku belum hamil juga.

Dokter yang memeriksa kami mengatakan bahwa kami sama-sama sehat. Tidak ada masalah dengan sistem reproduksiku. Kondisi sperma Khalid juga bagus. Menurut dokter, kami hanya belum diberi kepercayaan sama Tuhan saja.

"Jangan terlalu dipikirin," kata Khalid ketika kami sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Dia melepaskan sebelah tangannya dari setir untuk menggenggam tanganku. "Mungkin Tuhan belum ngasih kita anak biar kita bisa pacaran lebih lama. Kalau kita udah punya anak, waktu untuk beneran berdua seperti sekarang pasti berkurang. Aku bilang begitu bukan karena aku nggak mau punya anak. Tentu aja aku pengin banget punya anak. Tapi kalau belum dikasih, jangan dijadiin beban pikiran. Kalau stres, kamu malah makin susah untuk hamil. Dokter tadi bilang gitu, kan?"

Candaan takdir benar-benar tidak lucu. Aku malah hamil ketika aku tidak menginginkannya.

"Kamu harus ketemu Khalid untuk membicarakan kehamilan kamu." Nenek meraih tanganku dan mengusapnya. "Oma tahu kamu marah dan terluka dengan apa yang sudah dia lakukan. Tapi keadaannya sekarang berbeda. Kalian harus duduk dan berdiskusi dengan kepala dingin untuk menyepakati keputusan yang akan kalian ambil, karena anak yang ada di dalam kandungan kamu adalah anak kalian berdua. Ini bukan saat yang tepat untuk egois, Sha. Kalau ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan, lakukan itu."

Aku menghindari pandangan Nenek, berusaha menahan supaya air mataku tidak keluar, tapi aku gagal.

Nenek mendesah. "Ada yang Oma belum ceritakan sama kamu." Dia terus mengelus punggung tanganku. "Kamu ingat Oma langsung ke Jakarta waktu kamu menelepon dan bilang kalau kamu sudah balik ke rumah setelah meninggalkan rumah Khalid, kan?"

Aku mengangguk. Oma berhasil mendapatkan tiket untuk penerbangan paling cepat dari Surabaya ke Jakarta sehingga dia sudah berada di rumah saat aku terbangun pagi hari, padahal aku menelepon malam.

"Sebenarnya, sebelum kamu menelepon, Khalid sudah lebih dulu menghubungi Oma dan memberi gambaran tentang apa yang terjadi, walaupun nggak mendetail. Dia meminta izin untuk ke Surabaya supaya bisa bicara langsung sama Oma, karena menurutnya lebih mudah menjelaskan apa yang terjadi pada Oma daripada sama kamu yang sedang emosi. Saat dengar kalian ada masalah, Oma memutuskan datang ke Jakarta, jadi melarangnya ke Surabaya. Lebih praktis begitu supaya dia juga nggak perlu repot-repot meninggalkan pekerjaan. Dia juga belum pernah datang ke rumah di Surabaya. Memang nggak akan sulit menemukannya, tapi lebih baik Oma yang ke Jakarta supaya bisa sekalian ketemu kamu juga."

"Oma bertemu Khalid waktu datang ke Jakarta?" Aku menatap Nenek tidak percaya. Bisa-bisanya dia melakukan hal seperti itu di belakangku.

Nenek mengangguk, tidak terpengaruh dengan kemarahanku. "Oma perlu mendengar versi kalian masing-masing. Oma bisa obyektif karena nggak terlibat langsung. Jadi iya, Oma bertemu dia di restoran, tempat netral."

"Dia bilang apa?" Aku ingin tahu kebohongan apa yang sudah Khalid jejalkan pada Nenek.

"Khalid bilang dia nggak mau bercerai. Dia minta Nenek untuk bicara sama kamu setelah kamu tenang. Dia minta maaf karena sudah bertemu perempuan lain di belakangmu, tapi dia bilang kalau pertemuan itu terjadi bukan karena dia berniat selingkuh, Di—"

"Dia memang nggak berniat selingkuh karena dia sudah selingkuh, Oma!" potongku cepat. "Baru berniat dan sudah melakukannya itu berbeda. Dia bertemu mantan tunangannya setiap hari tanpa bilang apa pun sama aku. Kalau aku nggak lihat sendiri, aku mungkin masih akan dibodohi sampai sekarang. Aku akan terus menganggapnya sebagai suami paling baik sedunia, padahal dia dan perempuan itu mungkin menertawakan aku di belakang!"

"Kamu masih emosi, karena itu Oma belum bicara apa-apa sama kamu. Oma pikir, setelah jalan-jalan dan memberi jarak antara kamu dan Khalid, kamu bisa memikirkan kembali keputusanmu untuk bercerai. Khalid bilang, dia nggak akan mengajukan gugatan cerai seperti yang kamu minta karena dia nggak mau berpisah." Nenek pindah ke sisiku. Dia merangkul bahuku dan mencium kepalaku. "Intinya, bicara sama Khalid dulu. Dengarkan alasannya bertemu dengan perempuan lain tanpa setahumu. Kalau setelah bicara baik-baik kalian tetap nggak bisa menemukan titik temu, apa boleh buat. Nenek nggak bisa mendikte kamu tentang bagaimana kamu harus menjalani hidupmu. Itu keputusanmu sendiri. Tapi Khalid harus tahu kondisimu sekarang. Anak kalian adalah tanggung jawabnya juga sebagai ayahnya."

Aku butuh waktu dua minggu mendinginkan kepala sebelum akhirnya memuituskan mengikuti nasihat Nenek untuk menemui Khalid. Aku ke rumahnya pagi-pagi, supaya bisa bicara dengannya sebelum dia ke kantor.

Tapi aku tidak sempat masuk ke sana karena dari pagar yang terbuka, aku melihat ada mobil lain yang sangat kukenal di sana. Aku tidak mungkin salah karena sudah menghafal merek, model, sampai nomor pelatnya. Itu adalah mobil yang beberapa kali menjemput Khalid di kantor. Mobil yang kubuntuti sampai restoran atau mal. Mobil Adiba.

Apa yang dilakukan perempuan itu di pagi buta seperti ini di rumah Khalid? Atau jangan sampai dia malah menginap di sini, di kamarku! Bercinta dengan mantan tunangannya yang belum resmi kuceraikan!

Pikiran itu membuatku marah. Aku pikir aku tidak bisa lebih marah lagi setelah kemarahan yang kutumpahan saat meminta bercerai dari Khalid, tapi dadaku ternyata masih bisa lebih panas dan terbakar.

Saat memacu mobil meninggalkan rumah Khalid, aku sudah membuat keputusan. Aku tidak akan membesarkan anakku bersama seorang pembohong dan pengkhianat. Anak yang aku kandung adalah anakku sendiri. Dia tidak perlu seorang ayah. Aku bisa membesarkannya sendiri dengan baik. Anakku tidak butuh pengaruh jahat dari ayahnya.

Sesampainya di rumah, aku menjelaskan secara singkat apa yang terjadi pada Nenek. Aku meminta Nenek mengganti nomor telepon dan membuat berjanji tidak akan bicara dengan Khalid lagi. Setelah itu, aku meminta Nenek menemaniku menemui salah seorang kolega pengacaranya untuk mendaftarkan gugatan cerai dan mengurus prosesnya sebagai wakilku di pengadilan. Aku tidak perlu mengikuti prosesnya dan memutuskan pergi ke Surabaya bersama Nenek.

Aku sengaja mengajak Nenek segera meninggalkan Jakarta karena tahu Khalid akan menemuiku atau Nenek seandainya sudah mendapat surat panggilan dari pengadilan agama. Aku tidak mau berkompromi lagi. Bagian hidup di mana aku pernah menikah sudah resmi ditutup.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana Udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top