Empat Belas

"MOM, Om Jaz jadi nikah hari Minggu besok?" Ara melepaskan krayonnya saat aku duduk di sisinya. "Aku kan belum beli baru baru. Masa mau ke sana pakai baju lama sih?"

Aku tertawa mendengar pertanyaannya. "Memangnya siapa yang bilang kalau Om Jaz mau nikah hari Minggu besok?"

"Kan aku sudah ngasih tahu Mommy supaya bilang sama Om Jaz untuk nikah hari Minggu ini. Mommy pasti lupa ya?" Mata Ara membulat. Bibirnya cemberut menyalahkanku.

"Nikah itu bukan ditentukan orang lain, Sayang. Kalau Om Jaz nikah, dia sama pasangannya yang nentuin kapan dan hari apa."

"Tapi kalau nikahnya hari sekolah, aku kan harus bolos." Ara makin cemberut.

Agak susah menjelaskan konsep pernikahan pada anak seumur Ara yang menganggap semuanya mudah.

"Kalau hanya mau makan es krim, kita bisa kok makan es krim yang enak banget tanpa harus nunggu Om Jaz nikah," bujukku supaya Ara melupakan khayalannya tentang pernikahan Jazlan.

"Sekarang, Ma?" Tampang cemberut Ara spontan berganti dengan senyuman.

"Ya nggak bisa sekarang dong, Sayang. Udah malam. Besok Ara kan sekolah, jadi nggak boleh tidur telat supaya nggak kesiangan. Hari Minggu aja ya?"

"Oke!" Ara menyetujui usulku dengan cepat. Dia kembali menarik buku mewarnainya mendekat. Sebelum menorehkan krayonnya di atas kertas, dia kembali menatapku. "Kita makan es krim sama Om Jaz ya, Mom? Kan dia nggak jadi nikah hari Minggu. Berarti dia nggak punya es krim. Kita ajakin aja biar kita bisa makan es krim sama-sama."

Imajinasi Ara benar-benar luar biasa. Tidak mungkinlah aku mengajak Jazlan menemani kami makan es krim.

"Om Jaz pasti udah punya acara sendiri hari Minggu besok, Sayang. Kita ajakin Tante Ribka aja, gimana?" Aku berusaha mengalihkan perhatian Ara dari Jazlan. "Kalau nggak sedang melukis, Tante Ribka pasti mau jalan-jalan dan makan es krim sama kita. Kalau ada film bagus, kita sekalian nonton deh."

"Wah... asyik!" seru Ara penuh semangat. "Nanti boleh pesen popcorn kan, Mom?"

"Boleh dong."

"Waah, jadi nggak sabar mau hari Minggu."

Aku menarik napas lega setelah Ara benar-benar kembali fokus pada buku mewarnai dan krayonnya. Aku lalu pergi ke meja makan, di mana Nenek sedang menikmati aneka potongan buah yang disajikan Mbak Lastri.

"Khalid masih ada di Surabaya?" tanya Nenek tanpa intro apa pun.

"Sudah pulang ke Jakarta dua hari lalu. Tapi nanti pasti balik lagi." Aku berharap kantornya akan mengirim orang lain, walaupun aku tahu itu harapan yang muluk. Proyek sebesar hotel tempatku bekerja pasti akan dipantau oleh arsitek senior. Jazlan termasuk arsitek senior di kantor yang didirikan ayah dan pamannya itu.

"Berarti kemungkin untuk kalian sering ketemu lumayan besar ya?"

Aku mengangguk enggan. "Kayaknya gitu."

"Kalian udah pernah ngobrol?"

Aku menggeleng. Percakapan yang kulakukan dengan Khalid tidak termasuk dalam kategori ngobrol. Aku bertemu dia untuk mendiktekan apa yang aku ingin dia lakukan.

"Aku nggak berniat ngobrol sama dia. Menerima perpisahan kami nggak berarti aku mau berteman sama dia lagi. Kalau aku meladeni dia, bisa-bisa dia tahu tentang Ara."

Nenek membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mengatupkan bibir kembali. Dari eskpresinya, aku tahu Nenek tidak puas dengan jawabanku, tapi dia memilih tidak mengatakan apa-apa.

Dulu, sebelum pensiun dan pindah ke Surabaya, Nenek cukup dekat dengan Khalid. Nenek langsung menyukainya sejak pertama kali mereka berkenalan. Mungkin karena Khalid adalah orang yang sabar mendengarkan sehingga cocok untuk Nenek suka bicara. Nenek lebih suka ditemani Khalid saat belanja karena Khalid dengan setia mengikutinya menyusuri lorong yang sama berkali-kali, sedangkan aku adalah tipe yang belanja sesuai daftar. Aku tidak akan pergi ke bagian makanan segar kalau memang tidak akan membeli sesuatu di sana.

Sama seperti Nenek, Khalid juga suka sejarah dunia yang menurutku membosankan. Aku tidak merasa perlu tahu tentang sebab-musabab terjadinya perang dunia I dan II karena tidak hidup di zaman itu lagi. Aku tahu Hitler itu siapa, tapi tidak hafal sejarah hidupnya. Aku juga tidak sepenuhnya paham tentang pendudukan Israel dan pertikaian yang tidak pernah selesai dengan Hamas di Jalur Gaza. Nenek dan Khalid betah menonton film dokumenter tentang hal-hal di atas selama berjam-jam hanya untuk mengomentari apakah film tersebut memang benar-benar sesuai dengan sejarah yang pernah mereka baca atau ada bagian yang ditambahi, dikurangi, atau didramtisir.

Di akhir pekan, ketika aku dan Khalid mengunjungi Nenek, mereka akan menghabiskan banyak waktu di dapur, bahu-membahu memasak sesuatu untuk makan siang kami, sementara aku menonton film di ruang keluarga.

Jadi, aku mengerti jika Nenek akan dengan sangat mudah memaafkan Khalid setelah pengkhianatan yang dilakukannya padaku karena Nenek memang sangat menyukainya. Tidak banyak anak atau cucu yang modelnya seperti Khalid yang bisa mengakomodir kebutuhan orangtua akan perhatian. Aku menyayangi Nenek, tapi sering jatuh tertidur ketika mendengarnya bercerita perjuangan Nelson Mandela melawan rezim aparteid atau kisah hidup Muammar Khadafi yang berkuasa selama puluhan tahun di Libya yang akhirnya dijatuhkan dan dibunuh oleh para penentangnya yang dibekingi oleh Amerika. Aku tidak bisa menandangi Khalid untuk hal itu.

"Kalau ada yang Oma mau katakan, bilang aja." Aku lebih suka Nenek mengutarakan apa yang dia pikirkan daripada menyimpannya sendiri.

"Khalid mungkin memang sudah mengkhianati kamu dan keputusan bercerai yang kamu ambil sudah tepat karena itu membuktikan kalau dia bukan suami yang baik. Tapi nggak berarti dia juga bukan ayah yang baik, Sha."

Nenek masih menggunakan kata "mungkin" untuk sesuatu yang sudah pasti, tapi aku tidak ingin mengoreksi bagian itu.

"Ara nggak butuh ayah. Dia akan tumbuh dengan baik tanpa seorang ayah."

"Itu menurut kamu, Sha," bantah Nenek. "Semua anak menginginkan dan berhak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Kalau Ara bisa mendapatkan cinta dari kamu dan Khalid, kondisi kejiwaannya pasti akan lebih baik. Memberikan cinta pada Ara nggak berarti kalian harus bersama, kan? Khalid juga pasti sudah punya kehidupan sendiri sekarang." Nenek melanjutkan penuh semangat saat melihatku tidak membantah. "Kamu pasti masih ingat gimana perasaanmu ketika merasa ayah dan ibumu lebih menyayangi adik-adik kamu ketimbang kamu. Meskipun kamu nggak pernah bilang, tapi kamu pasti merasa diabaikan. Nggak dianggap."

"Kondisi kejiwaan Ara belum tentu akan lebih baik kalau tahu orangtuanya masih ada, tapi sudah berpisah dan tinggal di kota yang berbeda." Kali ini aku membantah Nenek. "Kenapa harus mengubah kebiasaan? Toh Ara nyaman dan nggak terganggu dengan kehidupannya tanpa ayah seperti sekarang."

"Mungkin kamu benar." Nenek mengalah dan mengalihkan percakapan pada kebun buah yang akan dikunjunginya di akhir pekan nanti.

**

Yang pengin baca lebih cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top