Dua Puluh Tujuh

NENEK dan Ribka pamit keluar kamar perawatan Ara tidak lama setelah Khalid datang. Aku hanya bisa menatap punggung mereka pasrah. Ara baru saja tertidur sehingga aku tidak punya alasan untuk menghindar ketika Khalid memintaku duduk di sofa.

"Ada yang mau aku omongin sama kamu," katanya.

Nadanya tenang, tapi aku sudah bisa menebak topik yang akan diangkatnya. Apalagi kalau bukan hendak meminta jawaban untuk pertanyaan yang pasti sudah menghantui pikirannya sejak tahu kalau dia sudah punya anak.

"Kenapa kamu menyembunyikan Ara dari aku?" tanya Khalid, persis seperti yang aku bayangkan. Kali ini suaranya terdengar getir.

Itu pertanyaan yang sudah aku antisipasi sejak semalam, saat dia masuk ruang rawat Ara. Namun walaupun aku sudah tahu dia akan menanyakannya, memberi jawaban tidak semudah yang kubayangkan. Rasanya seperti mengorek koreng baru dari luka yang belum sepenuhnya kering.

"Apa kamu segitu marah dan dendamnya sama aku, Sha?" lanjut Khalid ketika aku tidak segera menjawab. "Aku juga punya hak untuk melihat Ara tumbuh. Seharusnya aku jadi orang pertama yang menggendong Ara waktu dia lahir. Kamu keterlaluan karena merampas hakku jadi ayahnya. Kamu pasti sudah tahu kalau kamu hamil saat mengajukan gugatan cerai, kan?"

Seandainya percakapan ini terjadi bulan lalu, aku akan menanggapinya dengan berapi-api. Namun sekarang aku merasa kehilangan banyak energi sehingga emosiku ikut redup.

"Aku sedang berada di Australia saat tahu kalau aku hamil," kataku jujur, berusaha mempertahankan nadaku tetap konstan. "Waktu sadar aku hamil, aku berpikir ulang tentang perceraian kita. Aku marah karena kamu bertemu sama mantan tunanganmu di belakangku, tapi aku percaya kamu nggak tidur sama dia. Kamu nggak mungkin seberengsek itu dengan tidur sama dua orang perempuan di hari yang sama. Aku pikir, kalau kamu mau berjanji untuk nggak ketemu dia lagi, aku akan memberi kesempatan kedua pada pernikahan kita. Demi calon anak kita. Jadi sepulang dari Australia, aku ke rumah kamu."

"Kamu nggak pernah pulang, Sha," sela Khalid saat aku mengambil jeda di antara kalimat. "Begitu keluar dari rumah, kamu langsung menghilang seperti hantu. Kamu bahkan bikin aku percaya kalau kamu dan Nenek pindah ke Australi karena Nenek yang biasanya netral nggak bisa aku hubungi lagi."

Aku tertawa miris tanpa suara. Peristiwa itu terbayang lagi. "Aku datang pag-pagi buta ke rumah kamu supaya kita bicara sebelum kamu ke kantor. Tebak apa yang aku lihat di sana? Kamu bahkan sudah membawa perempuan itu ke rumah kamu sebelum kita resmi bercerai. Kalau kamu mau tidur sama dia, kenapa nggak di hotel aja? Kamu punya uang. Harus banget ya kalian melakukannya di rumah? Apa bercinta sama dia di tempat tidur yang aku pilih sebagai ranjang kita adalah perwujudan fantasi kalian?" Aku mendengus, mencoba tetap tenang. "Aku salah karena sempat berpikir bahwa kamu nggak berengsek. Aku rasa aku nggak mengenal kamu sebaik yang aku kira. Waktu itu aku lantas tahu kalau kamu juga ingin lepas dari aku. Dari pernikahan kita. Membawa perempuan itu ke rumahmu adalah bukti dan pernyataan yang tak terbantahkan. Jadi aku kemudian meminta pengacara untuk mengurus perceraian kita. Aku membatalkan rencana memberi tahu tentang kehamilanku karena nggak mau terlibat drama. Saat kamu tahu aku hamil, kamu mungkin akan memilihku daripada perempuan itu. Tapi untuk apa mempertahankan pernikahan dengan laki-laki yang masih mencintai perempuan lain? Laki-laki yang seenaknya mengajak perempuan lain ke rumahnya, padahal istrinya masih punya hak di situ sebelum akta cerai terbit." Rasanya lega setelah mengeluarkan kalimat-kalimat panjang itu. Aku sudah menahan unek-unek itu selama bertahun-tahun.

Khalid terdiam cukup lama sebelum akhirnya bicara, "Dilihat dari sudut pandang kamu, aku memang kelihatan berengsek banget. Tapi semua yang kamu tuduhkan itu nggak benar, Sha. Aku salah karena bertemu Adiba di belakang kamu, tapi aku nggak pernah selingkuh dari kamu. Aku nggak pernah punya niat menduakan kamu, apalagi sampai tidur sama orang lain. Hubunganku sama Adiba sudah lama berakhir. Jauh sebelum kita dekat. Aku nggak punya perasaan apa-apa lagi padanya. Aku nggak akan dekatin kamu kalau masih punya hati sama orang lain."

Aku melengos. Aku tidak perlu mendengarkan pembelaan dirinya. Tidak relevan lagi. Mau dia selingkuh atau tidak, kami toh sudah bercerai. Hubungan kami di masa lalu bukanlah inti dari percakapan ini. Khalid ingin mendengarkan alasanku menyembunyikan Ara, dan aku memberi tahu. Titik.

"Kamu nggak perlu menceritakan alasan kenapa kamu harus bertemu mantan tunanganmu tiap hari dan mengapa dia ada di rumahmu pagi-pagi buta, atau mungkin dia menginap di sana, karena aku nggak mau dengar."

"Aku nggak ketemu dia setiap hari, Sha. Kami hanya bertemu selama empat hari saat makan siang karena itu adalah rangkaian dari pekerjaan. Ka—"

"Aku bilang aku nggak butuh penjelasan!" sentakku menghentikan kalimat Khalid.

"Kenapa? Karena kamu nggak mau mengakui kalau penyebab perceraian kita adalah kesalahpahaman kamu? Karena kamu ingin tetap merasa telah mengambil keputusan yang benar setelah yakin sudah menangkap basah aku selingkuh?"

Mungkin. Kalau aku mendengarkan penjelasan Khalid dan percaya dia tidak selingkuh, aku akan menyesali keputusanku yang terkesan impulsif saat meminta cerai tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri. Aku akan merasa bersalah karena telah merampas kesempatan Ara dibesarkan bersama ayahnya.

"Aku hanya merasa kalau membahasnya sekarang nggak akan mengubah apa pun," kataku lirih.

"Akan mengubah cara Ara melihatku saat dia besar nanti, Sha. Ketika dia bertanya kenapa aku nggak hadir di tahun-tahun awal kehidupannya, dia akan mendengar sudut pandangku. Aku nggak mau dianggap sudah mengkhianati ibunya karena kejadiannya memang nggak seperti yang kamu pikirkan. Kalau aku nggak bisa meyakinkan kamu, bagaimana aku akan membuatAra percaya padaku? Seorang anak perempuan akan selalu berada di sisi ibunya ketika mendengar ibunya dikhianati. Jadi penting untuk aku menjelaskan kejadian sebenarnya, karena prasangka kamu, sekecil apa pun akan memengaruhi kepercayaan Ara padaku."

"Aku nggak pernah mengatakan hal buruk tentang kamu pada Ara!"

"Karena Ara masih kecil. Aku yakin kamu mau dia tumbuh menjadi anak yang positif. Tapi ketika dia sudah besar, jawaban sekadarnya nggak akan memuaskan Ara lagi. Dan kita harus menceritakan alasan sebenarnya dari perpisahan kita. Kalau itu terjadi, aku yakin Ara akan lebih percaya pada versimu daripada versiku."

"Kenapa kita harus membahas hal yang belum pasti terjadi sih?" gerutuku. "Ara masih balita. Saat dia besar nanti, belum tentu dia tertarik mendengar kisah masa lalu kedua orangtuanya. Kalaupun dia memang menanyakannya, kita bisa mengatakan kalau kita bercerai karena kita tidak cocok."

Khalid mendesah. "Kenapa kamu keras kepala banget sih? Aku ingin menjelaskan bukan untuk menyalahkan kamu, Sha. Toh penjelasanku nggak akan mengubah apa yang sudah terjadi pada pernikahan kita. Aku juga salah karena nggak cerita punya hubungan kerja sama dengan perusahaan tempat Adiba bekerja. Aku salah karena nggak menolak ajakannya makan siang bersama. Seharusnya aku lebih tegas dan membatasi interaksi dengan orang yang pernah punya masalah lalu denganku. Ak—"

"Mommy...." rengekan Ara menyelamatku dari keharusan melanjutkan percakapan dengan Khalid. Aku melompat dari tempat duduk.

"Mommy ada di sini, Sayang!"

**

Dering telepon menyambutku saat keluar dari kamar mandi.

"Dari Jazlan." Nenek mengulurkan ponsel padaku. "Kayaknya penting banget sampai dia nelepon berulang-ulang gitu."

Aku meraih ponsel dan menjauhi Nenek yang sedang ngobrol dengan Khalid di sofa.

"Ada apa, Mas?" tanyaku setelah mengucap salam.

"Aku baru keluar dari hotel, mau langsung ke rumah sakit nengokin Ara. Dia bisa makan, kan? Mau aku bawain apa?"

"Nggak usah, Mas," jawabku sungkan. "Ara dapat jatah makanan dari rumah sakit kok. Nggak enak kalau ketahuan sama perawat dikasih makanan dari luar."

"Atau mau dibawain mainan biar dia nggak bosan?"

"Nggak perlu, Mas. Kalau dibawain mainan, nanti dia kurang istirahat."

"Oh, gitu ya? Terus kamu mau makan apa?"

"Terima kasih, tapi Mbak Kia udah bawain makanan dari rumah, Mas."

"Kalau gitu, aku bawa martabak aja ya. Buat camilan sambil ngobrol." Hubungan telepon ditutup sebelum aku sempat menolak.

Setelah menurunkan ponsel dari telinga, aku menyadari bahwa keempat pasang mata yang ada di dalam ruang itu tertuju padaku.

"Jazlan mau ke sini?" tanya Ribka.

"Beneran Om Jaz mau ke sini, Mom?" sambut Ara antusias. "Asyik. Nanti aku mau tanyain apa dia pernah ketemu dinosaurus."

Sebelum aku sempat menjawab, Nenek berdiri. "Kamu mau nginap di sini atau pulang ke kontrakanmu?" tanyanya pada Khalid.

"Saya nginap di sini."

"Kalau gitu, Oma pulang ya. Udah sore banget."

Ribka ikut berdiri. "Biar aku antar, Oma."

Aku menatap Ribka cemberut. Aku lebih suka dia ada di sini saat Jazlan datang. Tidak ada orang yang bisa mencairkan suasana sejago Ribka. Aku belum mengatakan pada Jazlan kalau aku sudah memberi tahu Khalid tentang Ara. Aku memang tidak harus melakukannya. Namun, tidak enak saja melihat mereka bertemu di sini. Rasanya seperti memblokir Jazlan dari informasi yang seharusnya dia tahu. Apalagi selama ini aku menampilkan kesan akan menjauhkan Ara selamanya dari Khalid. Aku akan kelihat seperti pembual nomor wahid di mata Jazlan. Bos sebaik dia tidak pantas diperlakukan seperti itu.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana Utah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top