Dua Puluh Satu
WALAUPUN sudah berusaha seprofesional mungkin saat berhadapan dengan Jazlan di kantor, sulit menghilangkan rasa canggung setelah mendengarnya mengungkapkan perasaan padaku. Mungkin hal-hal seperti inilah yang melatarbelakangi alasan beberapa kantor yang melarang karyawannya menjalin hubungan asmara. Sulit memisahkan masalah pribadi dan urusan kantor ketika ada perasaan yang terlbat di dalamnya.
Jazlan bersikap biasa, sama seperti sebelum percakapan kami di rooftop, tapi aku tetap merasa terbebani. Aku bersyukur karena tidak bersikap impulsif dengan memanfaatkan kebaikannya untuk mengantisipasi kemunculan Khalid.
Aku yakin Khalid tidak bermaksud masuk kembali ke dalam hidupku, tapi karena dia sekarang ada di Surabaya dan berusaha menjalin hubungan baik dengan Nenek, aku khawatir dia akan mengetahui keberadaan Ara. Jazlan bisa kumanfaatkan sebagai tameng yang akan menjauhkan Khalid dan Nenek.
Khalid punya cacat yang tak termaafkan di masa lalu, tapi aku tahu dia bukan orang jahat. Ketika mencintai seseorang, kontrol diri seseorang cenderung renggang dan akhirnya lepas. Itu yang terjadi ketika dia bertemu kembali dengan Adiba, cinta dalam hidupnya. Dia dibutakan cinta dan melukaiku. Tapi kenyataan itu tidak bisa menghapus fakta bahwa Khalid tetap seorang yang baik. Khalid pasti akan menurut saat aku memintanya menjauh dari Nenek dengan alasan Jazlan yang menjadi pasanganku tidak suka jika anggota keluargaku masih berhubungan dengan mantan suamiku. Itu alasan yang sangat masuk akal, kan?
Tapi, syukurlah aku tidak sampai pada keputusan untuk memanfaatkan Jazlan, walaupun pernah tergoda mempertimbangkan opsi itu. Aku tidak ingin dihajar karma. Khalid menyakitiku padahal aku tidak melakukan apa pun yang membuatku pantas mendapatkan perlakukan seperti itu. Entah karma apa yang menungguku di ujung jalan kalau sampai mempermainkan perasaan orang sebaik Jazlan.
Ponselku berdering ketika aku mengangkat tas, bersiap pulang.
"Aku baru keluar dari studio nih," kata Ribka tanpa basa basi saat mengangkat teleponnya. "Cari makan yuk! Tapi jangan di hotel. Aku lagi pengin makan mi ayam abang-abang pinggir jalan yang rasanya autentik. Mi ayam superpedas."
Aku tidak bisa menahan senyum. Ribka bisa mendapatkan meja di restoran fine dining mana pun tanpa reservasi. Dia hanya perlu menyebutkan nama ayahnya. Tapi pilihannya lebih sering jatuh pada tempat yang kebersihannya tidak bisa dijamin. Selera memang aneh.
"Nggak mau rawon Mbak Kia aja?" tawarku. Aku lebih suka langsung pulang ke rumah setelah seharian di kantor. "Levelnya bisa jadi sepedas omongan netizen kalau kamu ngasih sambal sampai lima sendok."
"Aku kan maunya mi ayam, Sha. Mbak Kia nggak punya mi ayam di menu. Kamu tunggu di hotel ya. Nggak nyampe dua puluh menit lagi aku udah di situ."
"Aku bawa mobil. Kita ketemu di warung mi ayam aja." Kalau dia datang pakai mobil, kami toh tetap akan jalan masing-masing juga. Lebih baik bertemu di tempat mi ayam langganan kami. Tempat yang diperkenalkan Ribka padaku sebagai warung bakso dan mi ayam favoritnya.
"Aku ke situ diantar sopir. Nanti dia ngambil mobil kamu untuk dibawa ke rumahmu. Kita jalan pakai mobilku aja. Nanti aku antar pulang."
Untuk Ribka, semua memang mudah. Aku dibesarkan dalam kondisi sangat berkecukupan, tapi levelnya berbeda dengan Ribka. Aset keluarganya ada di mana-mana di seluruh penjuru tanah Jawa, tidak hanya terbatas di Surabaya. Status yang tidak tergambar dari penampilan Ribka sehari-hari. Dia baru akan terlihat seperti putri dari negeri dongeng saat hadir dalam acara spesial.
Aku turun ke lobi setelah memperkirakan Ribka sudah dekat hotel. Saat keluar dari lift, aku melihat Jazlan ada di sana, sedang bicara dengan salah seorang staf hotel.
Sebenarnya aku agak enggan bertemu dengannya setelah jam kantor selesai, khawatir dia akan mengajakku melanjutkan percakapan tanpa keputusan di kafe rooftop. Aku belum siap dengan jawaban diplomatis untuk menolaknya. Tapi tidak mungkin menghindari Jazlan ketika dia sudah melihatku. Percakapan Jazlan dengan staf itu berakhir ketika aku mendekat. Jazlan masih berdiri di tempatnya, menungguku, saat staf yang bicara dengannya pamit dan pergi.
"Belum pulang, Mas?" tegurku berbasa basi.
Jazlan mengangkat tas di tangannya. "Ini udah mau pulang. Kamu juga telat."
"Aku nunggu Ribka, Mas. Dia mau jemput," jelasku. "Katanya, dia udah dekat." Aku menambahkan sebelum Jazlan mengajakku ke kafe sambil menunggu Ribka. Kalau aku sampai ikut ke sana, percakapan kami bisa panjang dan menyerempet hal yang tidak ingin aku bicarakan.
"Mau jalan ke mana?" tanya Jazlan.
"Ribka bilang dia mau makan mi ayam, Mas."
Jazlan tersenyum. "Dulu, aku pernah mikir kalau suatu saat dia akan enek sama mi ayam karena waktu kecil, hampir tiap hari dia makan mi ayam. Ternyata aku salah. Walaupun frekuensinya nggak sesering dulu lagi, makanan favorit Ribka tetap aja mi ayam. Tinggal lama di Eropa nggak bikin seleranya berubah."
Aku ikut tersenyum dan mengalihkan perhatian pada ponselku yang berbunyi. Pesan dari Ribka.
Ada pohon tumbang di jalan, jadi harus mutar lewat jalan alternatif. Tunggu ya.
Aku mendesah pasrah. Kalau ditakdirkan sial, ya sial aja. Aku mengangkat kepala menatap Jazlan. "Silakan pulang duluan, Mas." Dalam situasi seperti sekarang, aku lebih suka menunggu Ribka sendirian daripada ditemani Jazlan.
Kenapa juga dia harus tertarik padaku sih? Laki-laki seperti Jazlan sangat mudah menemukan pasangan. Dia hanya tinggal menunjuk. Perempuan adalah makhluk realistis ketika dihadapkan pada keputusan untuk memilih pasangan. Laki-laki dengan kepribadian baik, dompet tebal, dan tampang rupawan seperti Jazlan sulit untuk ditolak.
Aku adalah contoh perempuan realistis itu. Aku tidak perlu cinta untuk menikah. Ya, walaupun akhirnya pernikahanku kandas karena cinta yang belum kelar dari pasanganku. Seandainya Jazlan hadir dalam hidupku sebelum aku menikah, dan dialah orang yang mengajakku berumah tangga, aku pasti akan menerimanya, sama seperti aku menerima Khalid karena pertimbangan yang kugunakan untuk menilai calon pendamping lengkap ada pada dirinya.
Tapi setelah kegagalan yang pahit, aku sudah memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup tanpa pendamping. Lebih aman untuk kesehatan hati dan jiwa. Aku menutup kesempatan untuk disakiti kembali. Aku tidak akan kesepian di hari tua nanti. Aku toh sudah punya anak. Kelak, aku akan menjadi nenek dari anak-anak Ara. Kami mungkin tidak akan tinggal bersama, tapi bisa saling mengunjungi. Tekonologi sudah sangat canggih sehingga kami bisa berkomunikasi kapan saja tanpa khawatir dengan batasan jarak. Yang perlu aku lakukan hanyalah mencintai Ara dan anak-anaknya, sama seperti Nenek menyayangiku karena sekadar hubungan darah saja tidak akan cukup untuk menjalin ikatan erat dengan anak-cucu. Aku sudah membuktikan teori itu melalui pengalamanku sendiri yang asing dengan ayah dan ibuku.
"Biar aku temenin nunggu Ribka," jawab Jazlan. "Kalau udah dekat, nggak lama lagi dia pasti sampai."
Aku tidak mungkin membiarkan Jazlan menemaniku berdiri di tengah lobi seperti sekarang, jadi terpaksa harus jujur. "Masih agak lama, Mas. Dia harus mutar karena terhalang pohon tumbang. Mas pulang duluan aja," kataku setengah membujuk.
"Kalau gitu, kita nunggu di kafe aja sambil ngopi." Jazlan menunjuk ke arah kafe dan mengarahkan langkahnya ke sana tanpa menunggu persetujuanku.
Apa yang aku khawatirkan dan hindari terbukti. Tapi aku tidak punya pilihan selain mengikuti Jazlan. Seorang bawahan seperti aku tidak boleh menolak maksud baik bosnya, walaupun aku tahu jika kepedulian yang ditunjukkan Jazlan berkaitan dengan perasaannya padaku. Dia tidak akan bersikap sebaik itu kalau statusku di matanya hanya sekadar bawahan dan hubungan kami profesional.
Kami lantas duduk di kafe. Di hadapan kami ada dua cangkir yang mengepul. Jazlan memesan kopi sedangkan aku memilih cokelat panas. Aroma kopinya menggugah selera, tapi aku sudah minum dua cangkir kopi hari ini. Sudah cukup.
"Kemarin kamu sempat ketemu Khalid waktu dia datang untuk mengecek progres pengerjaan hotel?"
Pertanyaan itu mengejutkanku. Aku pikir Jazlan akan tetap menjaga percakapan kami tetap ringan dan berada di area netral. Ternyata dia tidak menyembunyikan rasa penasaran.
Aku mengangguk. "Iya, sempat ketemu sekali, Mas."
"Di mana?" tanya Jazlan lagi. "Nggak kebetulan ketemu di hotel, kan? Kantornya udah mengontrak rumah untuk tempat tinggal pegawai mereka yang akan mengawasi pekerjaan proyek, jadi Khalid udah nggak nginap di hotel lagi saat ke Surabaya."
"Kami ketemu restoran Nenek," jawabku jujur. "Dia kebetulan datang makan di sana." Aku tidak percaya itu kebetulan, tapi tidak bisa menuduh Khalid menguntitku tanpa bukti.
Alis Jazlan terangkat. Dahinya berkerut. "Dia datang ke rumahmu? Jadi dia sudah tahu tentang Ara?" tanyanya beruntun. "Sepertinya aku ketinggalan banyak informasi."
"Bukan di rumah," ralatku. "Di restoran aja." Meskipun berada di lokasi yang sama, tapi gedungnya berbeda. Batas Khalid hanya di tempat makan umum itu saja. Dia tidak akan menginjak teras, apalagi sampai masuk ke rumah. "Dia juga nggak tahu tentang Ara."
"Dia akan tahu kalau sering bolak-balik ke restoran kamu. Kenapa dia kayaknya ngotot banget mau berhubungan baik sama kamu setelah bercerai?"
"Dia nggak bermaksud menjalin hubungan baik sama aku." Aku tidak bisa menyalahkan pikiran Jazlan karena dia tidak tahu masa laluku dan bagaimana hubungan antara Nenek dengan Khalid. "Dia berusaha menjaga hubungan baik sama Nenek. Perceraian kami beneran mendadak dan Khalid nggak sempat bicara sama Nenek karena kami waktu itu sedang berada di Australia. Aku meminta Nenek memutus hubungan sama dia saat memutuskan bercerai sehingga komunikasi mereka terputus. Pertemuan mereka sekarang semacam reuni, dan aku yakin, setelah ngobrol panjang lebar, mereka nggak akan sering ketemu lagi. Ara aman." Aku tidak yakin dengan kalimatku yang terakhir, tapi mengucapkannya secara verbal terasa seperti memberi keyakinan pada diriku sendiri.
"Kalian beneran bercerai karena dia selingkuh?"
Jazlan tahu aku janda cerai, tapi aku tidak pernah menceritakan alasan perceraianku padanya. Hubungan kami tidak sedekat itu. Aku yakin dia mendapatkan informasi itu dari Ribka. Aku tidak masalah. Toh aku tidak pernah meminta Ribka merahasiakannya. Aku juga percaya Ribka tidak mengumbar detail curhatanku. Dia pasti mengambil sudut pandangku ketika bercerita.
Aku mengangguk lalu mengalihkan pandangan pada dinding kaca kafe. Matahari sudah kehilangan daya. "Minum cokelat panas sore-sore begini memang enak." Aku sengaja mengalihkan percakapan.
Jazlan mengerti. Dia tersenyum. "Kopi selalu enak, kapan pun dan gimanapun suasananya."
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top